“Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah...” Qatâdah, Tafsîr al-Qurthûbî

Rabu, 28 Desember 2011

Resolusi Juara 2012



Memantabkan hati, membulatkan tekad, dan dengan sendirinya raga pun merespon apa keinginan saya. Hingga seluruh saraf  berteriak "selamat datang resolusi 2012!!". Segenggam asa yang  telah tergantung di langit biru siap tercapai ketika matahari mengepakkan sinarnya, yakni dalam waktu yang telah dijanjikan, tahun 2012. Sekali lagi dengan lantang saya katakan "inilah Resolusi Juara tahun 2012".

Jari-jemariku terlalu bersemangat menekan tombol-tombol keyboard, menyulam kata demi kata sampai tercipta sebuah karya, sungguh saya tak percaya, tulisan saya akan siap dikirim ke penerbit. Dan inilah resolusiku ditahun 2012, menerbitkan sebuah buku yang nantinya dapat bermanfaat bagi orang banyak, di samping itu tentu menjadi sumber penghasilan karena tak selamanya saya akan terus hidup bergantung orang tua. Dari sinilah resolusi kedua muncul, sebelum usia 19 tahun saya harus bisa membiayai kebutuhan pribadi dengan hasil usaha sendiri. Ini menyenangkan sekali.

Saya yang masih duduk di bangku SMA sudah tentu memiliki bekal yang kurang tentang dunia kepenulisan. Maklum saja, SMA bagi saya hanya mengarahkan siswa-siswanya menuju perguruan tinggi, bukan mendalami  apa yang menjadi keahlian atau potensi siswanya seperti menulis, menggambar, menyanyi dan lain sebagainya. Maka tak tanggung-tanggung saya memilih sekolah yang lebih mendukung impian saya, memberi informasi lebih luas, berbagi dan berkumpul bersama orang-orang di seluruh dunia sepemikiran, dialah internet, sekolah kehidupan yang tak kenal lelah menjawab segala ketidaktahuan saya. Selain itu, internet juga membantu saya mengetahui seberapa jauh kemampuan saya dalam menulis lewat komentar-komentar pembaca. Bertahap namun pasti, saya mulai lihai merangkai kata menjadi kalimat, menyatukan kalimat menjadi paragraf indah dan lahirlah karya.


Sudah 3 tahun ini ibu saya berlangganan internet dengan Telkom speedy, saya semakin nyaman, tak perlu repot berjam-jam di warnet dengan biaya yang relatif mahal. Ini membuktikan Telkom speedy memberikan pelayanan yang extra terhadap pelanggannya. Bahkan suatu hari ketika saya sedang mengirim file penting lewat email, tiba-tiba internet di rumah mengalami kerusakan, entah bagian mana yang error, namun setelah saya hubungi tak sampai setengah jam pegawai Telkom yang bersangkutan tiba dan segera memperbaiki kerusakan. Hah, untunglah.

Kembali ke resolusi juara 2012, awalnya tak terbesit keinginan menerbitkan tulisan yang selama ini tergeletak di laptop, namun lagi-lagi internet mensupport saya. Saya search di internet tentang proses penerbitan buku dan segala tetek bengeknya, dan hati ini pun semakin mantab untuk menciptakan sebuah buku di tahun 2012. Dengan bantuan internet pula, saya belajar mengedit, mengatur kata, hingga menata hati bagaimana menulis yang benar, karena sesuatu yang disampaikan dari hati maka ia akan sampai ke hati pula. Segudang ilmu yang mungkin tak kudapat di sekolah umum, dan segalanya dapat kutangkap dari sekolah kehidupan, internet.

Efek jangka panjang juga sudah saya pikirkan, bagaimana jika tulisan saya tidak diterima penerbit, bagaimana jika tulisan saya diterima oleh penerbit namun buku saya tidak dikenal masyarakat, dan berbagai pertanyaan bagaimana lainnya. Tanpa hitungan waktu, hati kecil saya telah menjawabnya, "tenang, Tuhan akan membantumu dengan perantara internet, jika naskahmu tak diterima penerbit engkau dapat belajar lewat penulis-penulis terkenal dengan internet, jika bukumu tak dikenal masyarakat engkau dapat mengenalkannya bahkan kepenjuru dunia lewat internet, dan optimislah, tunjukkan pada semua makhluk bumi bahwa engkau adalah manusia hebat". Seketika semangat kembali teguh mengalahkan gunung yang tinggi.

Beruntunglah engkau yang membaca tulisan ini, saya hanya ingin berbagi dan memotivasi. Dan secuil pesan saya, jangan berhenti menggali potensi, jangan malu dalam berkarya, jangan putus asa menggapai mimpi, sebab apapun yang engkau citakan kan tercapai sesuai usaha tanganmu... Lets fighting for Resolution 2012!!

Sabtu, 17 Desember 2011

Wahai Kematian, Mendekatlah !!



ketika malaikat bernama Isroil menggenggam titah dari Tuhan
menjemput nyawa setiap makhluk yang dikehendaki-Nya
hatiku pun benyanyi
 "kematian, mendekatlah... kematian mendekatlah..."
peluk setiap insan yang beriman
agar mereka tak henti beriman
agar sinar hidayah tak henti berkilau dalam ruang kalbu mereka
dan hati mereka pun bernyanyi "kematian mendekatlah..."

Pengalaman jiwaku begitu saja berhenti dalam sebuah ruang, ruang gelap nan penuh ibroh. Otakku pun bertanya, benarkah Mas Nanang kini tlah tiada? Ya Allah dia hanya seorang anak yang ingin senantiasa menemani seorang emak selama sisa hidupnya. Namun mengapa kau suruh Isroil panggil nyawanya? Lantas, siapa yang akan menemani emaknya? Siapa yang akan mengantar Bude Mi ke pasar? Ya, begitulah aku biasa memanggil emak Mas Nanag, Bude Mi. 

Dhuhur itu aku mendengar perbincangan serius ibuku lewat telepon genggamnya. Terlihat raut mukayag bingung dan khawatir. Matanya berkaca dan dahinya mengkerut mengikuti suasana hati. Setelah telepon ditutup, ibu mengumpulkan anak-anaknya. Akan ada perbincangan serius. "Dek tolong do'akan Mas Nanang, sekarang lagi kritis di rumah sakit Caruban". "Innalillahi ! kritis?", aku shock bukan main. Bagaimana bisa seorang laki-laki berusia 23 tahun itu kritis. Kupikir penyakit jantung yang dideritanya beberapa tahun lalu itu telah hilang dari raganya, namun kali ini kembali mampir ke organ dalamnya.

Sehari setelah perbincangan duka itu, tepatnya Jum'ah sore, 9 Desember 2011, tepelon rumah tiba-tiba berdering. Saudaraku dari Caruban mengabarkan bahwa jantung Mas Nanang melemah. Yang hanya bisa kami lakukan adalah berdo'a. Seperti biasa, usai sholat do'a kupanjangkan, khusus untuk saudara jauhku itu. "Ya Robbi, berikanlah yang terbaik untuk Mas Nanang, bila engkau berkehendak memanggilnya, maka panggillah dalam keadaan khusnul khotimah. Namun jika engkau berkeinginan ia tetap hidup, maka sembuhkanlah penyakitnya. Robbana atina fiddunnya hasanah wa fil akhiroti hasanah waqina 'adzabannar". Bersamaan dengan usainya do'aku tadi, telepon berdering kembali. Terdengar informasi bahwa Mas Nanang telah meninggal. Pergi ke alam barah bersama dengan amal-amalnya. "Innalillahi wa inna ilaihi roji'un, Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu".

                                                                              ***

Ahad pagi yang mempesona, aku bersama sepupu kecilku bernama Ifti mengendarai sepeda menuju Pasar Gemblung. Pasar tradisional yang terletak tepat di bawah bukit dekat rumah nenekku Caruban. Kupancal sepeda unta milik Mbah Kung sewajarnya, menikmati pemandangan yang super indah. "Mbak, buruan!" kulihat Ifti yang berada di depanku berteriak ingin cepat sampai di penjual roti bakar Pasar Gemblung. "Napa sih buru-buru! Sek to! mbak menikmati perjalanan nih, di Magetan nggak ada kayak gini", sahutku. "Ah, yaudah", Ifti mengalah. 1 km perjalanan kami melewati makamyang cukup luas, entah tiba-tiba hati ini terasa dingin ketika memandang salah satu rumah masa depan itu. Dunia menjadi teduh, seteduh sore dan bayanganku semakin tak karuan. Bukan kuntilanak atau pocong yang kubayangkan, tapi bagaimana jika detik ini aku dipanggil sang Khalik, dan datanglah seorang malaikat berpenampilan seram mencuri nyawaku. Sungguh! cara yang tidak sopan!. " Hoe mbak! kenapa berhenti di kuburan? ayo, nanti roti bakarnya habis". Teriakan adik sepupuku itu membuat lamunanku pecah. "Eh, ngapain aku berhenti di sini??" aku sendiri kebingungan. Perjalanan kulanjutkan. 

Setelah melewati luasnya permadani, akhirnya kami tiba di Pasar gemblung. Kuparkirkan sepeda di depan bengkel yang nampaknya masih tutup. Derap langkah menuju pintu utama pasar membuat si unta dan sepeda sport Ifti tak terlihat. Pertama kami membeli jenang grendhul untuk oleh-oleh orang rumah dan terkhir roti bakar idaman Ifti. Suasana pasar yang begitu rumit menyebabkan aku tak betah lama-lama di sana. Kami segera kembali ke rumah mbah. Menuruti saraf sensorik, langkah sedikit kulambatkan. Tak sengaja kulihat sebuah warung kopi pinggir jalan yang di depannya duduk seorang lelaki kurus yang sangat kukenal wajahnya, Mas Nanang. "If, itu Mas Nanang". "Iya mbak, sama temennya" Ifti menjawab seadanya. Aku ingin menyapanya, namun banyak sekali kaum adam di warung itu yang membuatku malu.

Mas Nanang sebenarnya bukan saudara sedarahku. Namun keluarganya sudah begitu dekat dengan keluarga mbahku, hingga kami menganggap mereka adalah saudara dekat. Dulu semasa aku kecil, laki-laki periang itu sering sekali mengerjai aku dan saudara-saudaraku, entah dengan bertambahnya usia kami semakin jarang berbicara bahkan tak pernah berbicara. Mungkin kami sama-sama malu.

Rok kucincingkan sedikit, sepeda unta siap kupancal. Semakin jauhlah kami meninggalkan pasar Gemblung, kembali melewati permadani lukisan Ilahi. Perjalanan pulang ini sedikit berbeda saat aku dan Ifti berangkat tadi, jalanan lebih ramai dan sang surya lebih semangat mengepakkan sinarnya. Beberapa kali sepedaku oleng     diselip truk bersopir gadungan. Pingin deh rasanya teriak, "Woyyy! ini bukan jalanan mbah lo!" #astaghfirullah

Melewati makam imajinasi tadi, pertigaan, warnet, kami belok kanan memilih jalan yang lebih aman, gang nangka. Jalan ini lebih aman walaupun jaraknya sedikt lebih jauh. Ku minta Ifti yang berjalan di belakangku  mengambil foto anak kambing yang sedang asyik bermain pasir, lucu sekali. Dan inilah kerugian menyuruh anak kelas 5 SD, bukan foto anak kambing yang diambil, tapi malah fotoku. "Ya nggak papa, mbak kan mirip kambing hahahaha" gadis kecil itu menyalipku sambil tertawa jahil.

Dan tak sautupun makhluk yang mengetahui kehendak Tuhannya, 6 hari setelah pertemuan tak sengajaku dengan Mas Nanang, ia dipanggil oleh pemiliknya, Allah azza wajalla. "Ya Robb, jika di pasar Gemblung kemarin aku tak bisa menyapa Mas Nanang, maka ijinkan aku menyapanya dalam pertemuan yang Engkau ridhoi, pertemuan yang lebih indah dari bulan dan bintang di malam hari".

Minggu, 11 Desember 2011 

Jumat, 09 Desember 2011

I'm Waiting



Kusandarkan kepala di atas kapuk putih
di balut kain corak bunga nan merah delima
berharap muadzin II segera mengumandangkan seruan sholat

tak lama...
dhuhur datang berteriak
lewat corong diantara rumah Tuhan
namun, bukan ini yang menjadi harapan dalam benak
ini bukan muadzin II ! ini suara muadzin I !

ah, tenggelamnya sang surya ternyata masih begitu lama
raga ini tak berdaya karena menahan asa
sekali lagi tenggelamnya sang surya ternyata masih begitu lama
tak disengaja aku pergi
pergi ke alam lelap
menanti muadzin II segera mengumandangkan seruan sholat

inilah diri,
seoggok insan yang ingin berbakti
menjalani syari'at Ilahi
hingga isroil memaksa nyawanya pergi
memelas setiap hembusnya di ruang fana mendapat jannah yang abadi

-imanku di rabu siang-