“Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah...” Qatâdah, Tafsîr al-Qurthûbî

Kamis, 18 Desember 2014

Pentingnya Bepikir Positif bagi Kehidupan Manusia



Disusun oleh : Fatkhul Sani Rohana          

Berpikir positif adalah suatu sikap atau perilaku yang melahirkan cara pandang manusia untuk senantiasa positif dalam menghadapi kondisi kehidupan. Berpikir positif di sini merupakan salah satu dasar atau tahap awal dalam mencapai keberhasilan. Dan yang terpenting setelah kita memiliki pikiran yang positif adalah melakukan usaha-usaha. Sebuah usaha akan terhenti sia-sia jika pada awalnya tidak memiliki pikiran yang positif. Maka betapa pentingnya berpikir positif dalam tahap mencapai keberhasilan.

Manfaat berpikir positif antara lain mengatasi stres, menjaga kesehatan, karena dengan berpikir positif tubuh kita akan lebih banyak menerima sinyal positif yang akhirnya otot tidak mengalami ketegangan, tidak timbul kecemasan bahkan keletihan, sehingga tidur menjadi nyenyak dan tidak mudah mengalami depresi. Manfaat berpikir positif lainnya adalah memberi rasa nyaman pada orang lain, membentuk karakter percaya diri dan hidup lebih bahagia sebab yang ada dalam hidup hanya ceria, sehat, dan sukses. 

Untuk memperkuat pernyataan besarnya peran berpikir positif bagi kehidupan manusia, berikut akan saya tunjukkan hasil pengamatan saya tentang air dan energi positif yang mampu diterimanya. Pada konsep terbentuknya manusia, telur yang dibuahi 96%-nya adalah air. Setelah lahir, 80% tubuh seorang bayi adalah air. Semakin tubuh manusia berkembang, presentase air berkurang dan menetap sampai batas 70% ketika manusia mencapai usia dewasa. Dengan kata lain, selama ini kita hidup sebagai air. Jadi, sebenarnya manusia adalah air. Kemudian dalam bukunya berjudul The True Power of Water, Masaru Emoto mengatakan bahwa kualitas air bergantung pada informasi yang diterimanya, konsekuensi logisnya adalah manusia – sebagai makhluk yang sebagian besarnya terbentuk dari air – sudah seharusnya diberikan informasi yang baik. Jika kita melakukan hal ini, pikiran dan tubuh kita akan menjadi sehat. Di pihak lain, jika kita menerima informasi yang buruk, kita akan merasakan sakit.[1] Dari pernyataan tersebut kemudian saya melakukan penelitian terhadap nasi yang sama-sama memiliki kandungan air di dalamnya sebagaimana juga manusia.


Pada tanggal 15 Oktober 2013 saya meletakkan 4 sendok nasi dengan kondisi yang sama di dalam dua toples berbeda. Toples dengan tutup berwarna biru saya beri tulisan berbahasa arab “jamilah” yang memiliki arti positif yakni cantik, indah, menyenangkan. Sedangkan tutup berwarna merah muda saya beri tulisan “majnun” yang memiliki arti negatif yaitu gila, bodoh, sakit pikiran, dungu.



 
Sekitar dua minggu kemudian, tepatnya pada tanggal 27 Oktober 2013 saya membuka kedua tutup toples yang sama-sama terisi nasi tersebut. Sebuah hasil menunjukkan bahwa toples yang diberi tulisan jamilah memiliki jamur yang indah dengan warna dasar adalah putih. Sedangkan toples dengan tulisan majnun di dalamnya, memberikan pemandangan buruk di mana seluruh lapisan nasi ditumbuhi jamur berwarna hitam pekat.

Dari korelasi antara beberapa teori dengan hasil percobaan saya tentang pentingnya berpikir positif, dapat disimpulkan bahwa sebagaimana nasi yang terdiri dari 50% lebih kadar air, tubuh manusia juga memerlukan energi baik berupa pikiran yang positif untuk membantu memberi semangat dan asupan tenaga dalam proses mencapai keberhasilan di kehidupan nyata sehari-hari. Merujuk pada perkataan seorang penyair bernama Ralph Waldo Emerson bahwa tanpa semangat tak ada pekerjaan besar yang dapat diciptakan. Dari kata-kata mutiara tersebut dapat kita pastikan betapa tidak produktifnya seseorang  ketika energi positif sebagai embrio semangat tidak ada dalam dirinya.
           

Daftar Pustaka

Emoto, Masaru. 2006. The True Power of  Water. Bandung: MQ Publishing.
Wibisono, Koento. 1990. Renungan Pribadi dalam Rangkuman 5000 Mutiara Hikmah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Gunawan, Adi W. 2009. Quantum Life Transformation. Jakarta: PT. Gramedia      Pustaka Utama.



[1]  Masaru Emoto, The True Power of Water, (Bandung: MQ Publishing, 2006) hal. 19

Kamis, 04 Desember 2014

Reflection

 Saya belajar dari nasihat seseorang. Kemudian saya renungkan, dan hasilnya semakin dewasa usia seseorang, maka semakin Ia merasa bertambahnya beban hidup atau masalah yang dihadapi. Hal ini terjadi di saat pikiran negatif lebih menguasai daripada pikiran positif. Andaikan saja segalanya dapat dilihat dari sudut pandang yang positif, maka musibah menjadi ni'mat, benci menjadi cinta, amarah menjadi rindu.

1. Di saat raga merasa letih dan penat, maka sadarlah ternyata kita memiliki tenaga lebih untuk bekerja keras
2. Ketika perjuangan terasa tak dihargai, maka ingatlah bahwa setiap kebaikan bernilai sedekah
3. Kala tubuh sedang tak enak karena sakit, maka berpikirlah bahwa Tuhan masih memberi kita hidup sehingga kita merasakan ni'matnya sakit
4. Di waktu kesal menanti seseorang, maka sadarlah bahwa Tuhan telah memberi sifat penyabar pada diri kita
5. Saat saudara kandungmu menjahilimu hingga kalian bertengkar dan merasa jengkel, maka ingatlah bahwa mereka telah memilih bermain bersamamu ketimbang dengan orang lain
6. Kala tugas kuliah atau sekolah atau rumah tangga terasa menumpuk dan tak tau darimana harus memulai, maka ketauhilah bahwa segala usaha yang kau lakukan itu bukan hanya untuk dirimu, namun untuk kebahagiaan orang tuamu, masa depan orang-orang yang paling kau sayangi
7. Ketika orang yang lebih tua menasihati atau bahkan memarahi kita, maka sadarlah bahwa mereka masih sayang dan peduli terhadap kita
8. Saat makanan terasa hambar, maka ingatlah bahwa kita masih punya mulut, lidah, gigi untuk merasakan kecapakan
9. Kala dosa terasa melumuri seluruh jiwa, maka tak sadarkah kita? bahwa Allah masih membuka hati kita untuk sadar dan bertaubat

Selasa, 25 November 2014

International Library

Dulu usai melihat film dengan nuansa luar negeri, saya selalu punya impian dapat menikmati pemandangan langit dari balik jendela perpustakaan di Inggris atau salah satu kota di negara Eropa. Namun 3 atau 4 tahun kemudian keinginan menggebu itu terjawab. Tanpa pergi ke luar negeri saya dapat menikmatinya, I really get the feeling, the sense!!!

Sebuah sudut di perpustakaan salah satu Fakultas UIN Jogja menyulap keinginan saya menjadi nyata. Entahlah apa karena saya yang selalu berimajinasi, namun semuanya terasa begitu jelas dan indah. Langit gagah seluruh arah, gedung menjulang setinggi kepakan elang, pesawat manusia hilir mudik begitu asyik. Semuanya tak kutemukan di kampung halaman, semuanya tak kutemukan di kampus orang. Perpustakaan minimalis yang hanya terdiri dari satu pintu itu kini menjelma menjadi perpustakaan internasional.








Senin, 24 November 2014

Special Giving

Sewaktu buka-buka file di laptop, saya tak sengaja menemukan satu folder dengan nama "gift", beberapa foto hadiah hari lahir bulan Januari lalu (2014), meski sudah kadaluarsa, kenangan itu masih indah terasa :* Jazakumullaah khoir untuk orang-orang terkasihku...

Diand's giving :*


Kaos kaki dari Mbak Intin


black forest from Mbak Nisa

Many small gifts here, from Ayu and Iin

etcetera...

Dompet Boneka







DOMPET BONEKA dengan bahan lembut dan design lucu, cocok untuk anda yang suka bergaya ^^b

Sabtu, 08 November 2014

Cinta



Imam Syafii pernah ditanya oleh istrinya, "Suamiku, apakah engkau mencintaiku?" Beliau menjawab, "Ya tentu saja, dirimu bagian dalam hidupku." Mendengar itu istrinya bertanya, "Apakah engkau juga mencintai Allah? Bagaimana mungkin dua cinta menyatu dalam hati seorang mukmin, Cinta kepada Allah dan juga mencintaiku?" Beliau tersenyum dan mengatakan kepada istrinya dengan pandangan mata yang lembut penuh kasih sayang. "Karena cintaku kepada Allah, maka aku mencintai makhlukNya, memperlakukan dengan hormat dan penuh kasih sayang istriku, anak-anakku dan sesama. Aku mencintaimu karena cintaku kepada Allah."

Kamis, 06 November 2014

Firasat Ibu

 


Tepat Rabu kemarin merupakan hari paling menyedihkan dalam hidupku. Beberapa kejadian membuatku serasa tertampar hebat. Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya, mataku tak dapat menahan tangis penuh kecewa. Aku berjalan dengan kedua kaki bergetar mencoba mencari kebahagiaan, mencari penghapus air mata dan pendengar keluh lara. Aku berjalan namun tak ada, akhirnya aku berlari, tapi tetap saja tak kutemukan. Oh Tuhan mengapa salahku begitu luputya, mengapa dosaku begitu besarnya, mengapa hukumanku begitu beratnya. Saat aku dalam keadaan jatuh sedalam-dalamnya, saat aku dalam keadaan kalut sekalut-kalutnya tak ada lagi yang sekedar menanyakan kabarku, tak ada lagi yang memberikan bahu untuk menopang beratnya pikiran di kepalaku, tak ada lagi jari yang tulus menyeka air mataku. Bahkan aku tlah memohon belas kasih namun tangisanku, kepedihanku, semua ditolaknya. 

Petang pun tiba, semenjak pagi hingga sore aku tak makan apa-apa, tangis itu akhirnya mengantarkan lelapku di sebuah tempat di perpustakaan pusat universitas. Tak perduli anggapan lain kepala lain mata, aku hanya menangis lalu tertidur juga. Tiga amanah menimba ilmu hari itu kubuang sia-sia. Meronta memohon pelipur duka. Sesaat setelah aku terbangun dari tidur, telepon genggamku berbunyi, tak biasanya Ibu menelponku. Segera kuatur nafas dan suara, memberi keceriaan bahwa di tanah rantau aku baik-baik saja. Usai percakapan utama, wanita mulia itu berkali-kali bertanya "gak enek opo-opo to neng kono?" (gak ada apa-apa to di situ?), "mboten Buk" (tidak Buk), lirihku. Suatu pertanyaan yang jarang bahkan tak pernah Ibu lontarkan padaku. Tiga kali Ibu mengulang pertanyaan itu, tiga kali pula kujawab dengan pernyataan yang sama. Setelah kututup telepon, aku hanya mampu menghela nafas, berusaha tegar. Beberapa menit kemudian telepon genggamku kembali berdering, Ibu menghubungiku lagi, "Rahma piye neng pondok?" (Rahma {saudara kembarku} gimana di pondok), "sae.." (baik..), jawabku singkat. Tak kuduga Ibu kembali menanyakan hal yang sama, "tenan yo, gak enek opo-opo neng kono?" (benar ya, nggak ada apa-apa di sana?), "mboteen.." (nggaak..), aku kembali meyakinkan jawaban. Sejenak kami saling terdiam, kemudian Ibu mengucap salam dan telepon terputus. "Ibu, aku sakit di sini, nggak ada temen, tolong do'akan sore ini ada yang menemaniku, minimal membahagiaanku menanyakan keadaan piluku. Ibu, maaf hari ini aku tak amanah padamu, beberapa tugas menuntut ilmu tak kukerjakan tepat waktu, tapi Ibu, andai Kau tau...", tangisku.

Sejenak pikiranku menerawang, di saat raga dan hatiku benar-benar pilu, bahkan sekedar mengangkat kepala pun aku tak mampu, aku tak mau bercerita pada Ibu, aku tak ingin menambah beban yang lalu, namun tanpa kuberi tahu, Ibu tiba-tiba menelponku, bertanya sesuatu yang jarang berlaku, Ibu berkali-kali bertanya tentang keadaanku. Inikah firasat Ibu?


Yogyakarta, 6 November 2014

With tears

Pelangi di Hari Jum'at

Jum'at minggu lalu hari bagaikan pelangi, merah kuning hijau berpadu indah menghiasi langit. Layaknya warga bumi, aku merayakannya dengan senyuman dan syukur.

Merah. Jum'at pagi terasa merah menyala ketika aku mengetahui di rumah tiada satupun menyapa. Perjuanganku meminta ijin dari keamanan pondok dan perjalanan kereta yang melelahkan terasa sia-sia, ini kedua kalinya pulang kampungku tak ada siapa-siapa. Bapak, jelas pergi ke kantor hingga sore, mungkin mampir ke rumah hanya numpang mandi setelah itu pergi lagi bergelut dengan grup hadrah anak-anak desa. Dek Nisa, semenjak Kamis kemarin mengikuti acara dari madrasahnya selama tiga hari. Ibu, ada acara mendaadak menjadi pengisi seminar di salah satu Universitas Negeri di Semarang. Usai menonton televisi sejenak, kuputuskan pergi mandi lantas beres-beres rumah. Pukul 10.00 pagi perutku mulai terasa lapar, setelah melihat ada tiga potong ayam di meja makan, aku menggorengnya kembali dan kulahap semuanya, sebab bisa dipastikan itu adalah lauk sisa kemarin dan tak mungkin akan dimakan kembali, melihat tidak ada orang di rumah. Jum'at pagi bagai permaisuri, makan ayam tanpa nasi.

Semburat kuning cahaya matahari sore hari agaknya memberi perinagtan padaku dan Bapak. Semua berawal setelah waktu Ashar Bapak menjemputku dari kantor menuju tempat perkemahan Dek Nisa untuk mengantar air mineral. Belum sampai tempat yang kami tuju, tiba-tiba mobil bagian belakang mengeluarkan suara aneh, klothek-klothek, seperti ada yang lepas. Saat itu radio dan AC masih kami nyalakan, beberapa ratus meter kemudian aku dan Bapak mencium bau terbakar. Bapak lantas mengecek suhu pada temperatur mobil, more than normal!!! Akhirnya Bapak memutuskan berhenti di tengah jalan tepat di tepi sawah, dan buub! Saat bagasi mesin dibuka keluar asap tebal dari dalam. Aku menjauh sambil komat-kamit banyak membaca shalawat berharap semuanya baik-baik saja. Permasalahannya ternyata sepele, air radiator habis. Jika tidak segera diisi maka mesin akan panas, semakin panas akan memicu terbakarnya seluruh komponen. Setelah radiator diisi dengan air cadangan, dari kejauhan kulihat dengan panik Bapak melepas kabel penghubung aki dan mesin agar saat mesin radiator mengalami panas di atas normal, tidak merambat ke seluruh mesin atau komponen lainnya. Akhirnya masa-masa panik itu terlalui, sesaat setelah menanti mesin dingin kembali, Bapak kemudian memasang kabel penghubung aki dan mesin agar mobil dapat dioperasikan kembali. Takdir berkata lain, saking kuatmya Bapak memutar obeng pengait aki, pengait yang sudah rapuh itupun patah. Langit sudah mulai gelap, lantas kami putuskan berjalan kaki mencari masjid untuk menunaikan shalat maghrib. Cek radiator mobil adalah sebuah keniscayaan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di tengah berkendara. Kuning...


                                                       mobil sesaat setelah asap mengepul


                                                       suasana jalan setelah mencari masjid

Hijaau. akhirnya hijau. Ini bukan karena hijau warna kesukaan saya. Hijau sepertinya menjadi simbol keberhasilan, kemakmuran dan kebahagiaan. Usai menyusuri jalan di antara persawahan, menanti bala bantuan, pukul 20.00 aku dan Bapak segera meneruskan perjalanan ke tujuan utama, bumi perkemahan MIN Tawanganom, Magetan. Sesampainya di sana terlihat tenda berdiri rapi mengelilingi lapangan. Dek Nisa dan seluruh teman-temannya berada di tengah lapangan melaksanakan apel malam. Api unggun semakin menambah kekentalan suasana pramuka. Setelah mengumandangkan Dasa Dharma Pramuka, anak-anak kelas 5 Madrasah Ibtidaiyyah itu berhamburan mengelilingi api unggun, tertawa, bertepuk tangan bernyanyi bersama, "api unggunnya sudah menyala... api unggunnya sudah menyala...", begitulah liriknya seingatku. Bapak saat itu menuju belakang tenda bergabung bersama para wali murid lainnya, dan aku lebih memilih menyendiri mencoba mengingat kembali kenangan berkemah semasa menjadi bantara saat SMA dahulu. Lelah seharian tadi akhirnya terbayar sudah, di tengah pandanganku menerawang langit menyorot rembulan, kembang api terpancar indah dari berbagai sudut, "Subhanallah, walhamdulillah, bumi-Mu begitu indahnya, bagaimana dengan jannah-Mu nanti Yaa Rabb...". Hijau!!

                                                                                           Bapak dan Dek Nisa










 

Rabu, 05 November 2014

Sorry

Nafasku tersengal. 
Menahan gejolak hati yang tak sesuai keinginan. 
Akhirnya hujan pun turun, sebuah tangis kesedihan.


Jumat, 04 Juli 2014

Awas! Benci jadi Cinta




Denting waktu tlah merayap mendekati tengah malam, suara bacaan Al-Qur’an orang-orang yang sedang tadarus mulai sepi dan perlahan menghilang. Mungkin mereka kembali ke rumah masing-masing untuk istirahat mempersiapkan ibadah terbaiknya di bulan penuh rahmah dan berkah ini. 

Sebelum membuka dan menulis diary ini (red: ini adalah tulisan yang saya ambil dari buku diary pribadi saya), Saya berkesempatan menyaksikan konser musik religi di salah satu stasiun televisi dengan penyanyi tunggal Maher Zain. Perpaduan musik, lirik dan background Sang Penyanyi membuat Saya selalu menikmati setiap lagu yang dibawakan. Bukan hanya itu, secara mendadak iman saya serasa naik beberapa tingkat. Great songs ^^.

Namun kali ini Saya tidak akan berbicara mengenai Maher Zain atau musiknya secara mendalam, Saya hanya ingin berbagi mengenai apa yang Saya rasakan ketika menikmati konser tersebut walaupun hanya di depan layar televisi. Tak menyangka ternyata dalam konser religi itu kursi penonton dipenuhi oleh Capres Prabowo beserta pendukungnya. Terlihat di barisan paling depan yakni kursi kelas VIP diisi oleh Prabowo, Anis Matta (Ketum PKS), Abu Rizal Bakrie, pengusaha sekaligus owner RCTI dan MNC TV, dan para pejabat pendukung Prabowo lainnya. Seluruh hadirin sangat antusias dan menikmati setiap lagu yang disuguhkan. Dengan mengangkat satu jari telunjuk, mereka bernyanyi mengikuti irama Sang Vokalis, bahkan ketika lagu “Number One for Me” dinyanyikan, seluruh penonton berdiri dan tetap dengan gaya khas mereka mengangkat satu jari telunjuk, tak terkecuali Prabowo sendiri. Seolah-olah lagu “Number One for Me” ini bukan lagi dipersembahkan untuk ibu seluruh dunia, melainkan untuk mengajak masyarakat Indonesia memilih No. 1 pada Pemilu 9 Juli nanti. Tak berhenti sampai disitu, di saat Maher Zain membawakan lagu populernya berjudul “Insya Allah”, para penonton begitu getol dan menjawab lagu tersebut dengan nama idola mereka. Kurang lebih beginilah bunyinya, “Insyaa Allaah”, Maher Zain menyanyikannya dengan apik, kemudian disusul jawaban dari para penonton dengan kompak dan semangat, “Prabowo !”. Jadilah sebuah yel-yel dadakan “Insyaa Allaah…” (Maher Zain), “Prabowo!!” (penonton), “insyaa Allaah…”, “Prabowo!!”, insyaa Allaah…”, “Prabowo!!”, “You’ll find your way…”, begitu seterusnya.

Saya jadi teringat ketika dulu semasa benci-bencinya dengan Prabowo, “kenapa Prabowo yang harus jadi capres?!” Geramku. Dan masih teringat betul dalam ingatan Saya, pukul 12 malam lebih Bapak menjemput Saya dari stasiun, di tengah perjalanan kami membicarakan calon presiden yang kedua kandidat tersebut sama sekali bukan menjadi pilihan Saya dan Bapak. Sampai-sampai dengan syahdu hingga terlihat mata Bapak berkaca-kaca ingin menangis. Beliau bercerita bagaimana kepemimpinan Gus Dur, sebab menurut Bapak saya, satu-satunya presiden terbaik adalah Gus Dur, tak ada gantinya. Ibarat kata, keadaan sekarang ini dapat kita gambarkan bagaikan seorang pekerja yang kehausan, kemudian disuguhkan dua pilihan air minum yang sama-sama pahit. Dari kedua pilihan tersebut, mau tidak mau salah satunya harus diminum, sebab jika tidak, pilihannya hanya ada dua, dehidrasi panjang atau mati. Artinya, dari kedua calon presiden yang menurut Saya berat untuk memilihnya, mau tidak mau Saya harus memilih salah satu, mau tidak mau Saya harus menyeleksi mana yang terbaik, jika tidak, pilihannya hanya ada dua, Indonesia bisa jadi dipimpin oleh presiden yang tidak sesuai atau Saya berdosa karena tidak andil dalam Pemilu esok. Namun pulang kampung yang kedua Saya, telah memberikan kemantaban bahwa Prabowo adalah pilihan Saya. Semenjak saat itu, keadaan berbalik 180 derajat, seorang Hana yang benci dengan Prabowo kini koar-koar mengajak orang disekelilingnya memilih Prabowo, Hana yang saat ini bak Tim Sukses Prabowo yang rela tak dibayar namun tetap ikhlas menebar. Lagi-lagi ini masalah keyakinan dan masa depan.

Bersyukurlah Allah memberikan Anda kebebasan untuk memilih pemimpin melalui pemerintah Indonesia dalam program Pemilunya. Hanya orang-orang yang tak bersyukurlahlah yang menyia-nyiakan kesempatan besar ini. Bila anda tak mau kufur, segera gunakan hak pilih anda pada 9 Juli nanti. Black campaign, negative campaign dan semacamnya bukanlah jalan yang benar, di sini saya tidak sedikitpun menyinggung keburukan kedua capres sekaligus putera bangsa tersebut. Prabowo dan Jokowi sama-sama baik, but life is still a choice

Sekian cerita Maher Zain dan capres kali ini. Saya bismillah pilih Prabowo, Anda?

Magetan, 4 Juli 2015, 00.20 WIB

Hadiah Cinta dari Allah

 

Panatskah Hamba yang hina ini mendapat ni’mat sebesar ini Yaa Rabb…

Ramadhan tahun ini kuawali di kampung halaman, di sebuah desa nan asri, Banjarmlati, Magetan. Saut-sautan pujian anak-anak kecil meramaikan suasana Desa yang sebenarnya sepi. Bukan hanya itu, diam-diam Aku meresapi setiap bait pujian yang terdengar jelas dari masjid yang terletak dekat dari rumahku. Serasa kembali ke masa penyebaran Islam jamannya Mbah Hasyim Asy’ari.

Setiap perjalanan menuju masjid, sesekali kupandangi langit yang begitu megah penuh gemintang. Ya Allah, betapa indah langit Ramadhan-Mu. Suasana bertambah haru dan khusyu’ ketika shalat jama’ah dimulai. Suara imam seorang hafidz Qur’an itu begitu menyejukkan, Aku pun menangis.

Sama spesialnya seperti Ramadhan hari pertama dan kedua, Ramadhan hari ketiga ini kulalui penuh khusyu’ pula. Namun ada sedikit perbedaan ketika shalat tarawih dengan malam sebelumnya, jika malam sebelumnya setelah bacaan Al-Fatihah Aku membaca surah sesuai yang dilafadzkan Sang Imam, pada malam ketiga tarowih ini Aku membaca surah Al-Qadr. Tiap rakaatnya kupejamkan mata, kubaca surah mulia ini penuh penghayatan, kubayangkan langit malam yang indah, lebih indah dari seribu bulan. Tak terasa shalat tarawih pun usai. Setelah berjabat tangan dengan jama’ah putri, Aku dan Mbak Nur (saudara jauh yang sekarang menemani adikku di rumah) tinggal di masjid untuk tadarus. Tadarus merupakan budaya islam di Indonesia ketika bulan Ramadhan tiba. Usai shalat sunnah tarawih dan witir, masyarakat saling bersaut-sautan antar masjid untuk membaca Al-Qur’an secara bergilir dengan pengeras suara. Dari usia balita hingga dewasa ada di sana. Tujuannya untuk menghidupkan malam Ramadhan dengan kebaikan sekaligus mengajak umat muslim untuk merauk pahala lewat bacaan Al-Qur’an mulia. Sebab terkadang ada yang malas membaca Al-Qur’an ketika di rumah, namun setelah di masjid dan memiliki banyak teman, semangat itu muncul seketika. Biasanya ini dialami oleh usia kanak-kanak.

Sebuah meja berbentuk bulat, lengkap Al-Qur’an dan mic telah siap, Mbak Nur mendapat giliran pertama, kemudian si kecil dengan mukena hijaunya (Aku belum tau siapa namanya), kemudian setelah itu giliranku. Beberapa menit kemudian kuhentikan bacaan Qur’anku dari speaker yang terdengar hingga penjuru desa itu, lantas kuberikan mic pada peserta lainnya dengan tujuan memberi kesempatan yang lain umtuk membaca. Biasanya setelah Aku dan Mbak Nur mendapat giliran, kami langsung pulang ke rumah, namun malam itu(usai giliranku membaca) kulihat Mbak Nur masih khusyu’ membaca amalan Dala’il dari Abahnya semasa mondok dulu. Sambil menunggu, akhirnya kuputuskan untuk membuka mushaf pribadiku dan membaca lanjutan ayat yang telah kumulai dari tanggal 1 Ramadhan kemarin. Sekitar lima lembar aku membaca Al-Qur’an, Mbak Nur mengajakku pulang, “De kayo balik”. Beberapa menit kemudian, usai merampungkan ayat yang kubaca, aku menjawab “Ayo mbak”.

Sampai rumah terlihat sepi taka da orang, hanya ada ibuku yang sedari tadi di depan televisi merasa kesepian karena tak bias ikut shalat jama’ah. Ternyata adikku Nisa sedang keluar bersama Bapak mencari bakso, sebab sedari kemarin cita-citanya makan bakso belum tercapai.

Sekitar pukul 23.00 lebih, akhirnya rumah benar-benar sepi. Semua tidur di kamar masing-masing. Aku sendiri kemudian menuju kamar Dek Nisa dekat dengan ruang shalat, saat kubuka pintu, kulihat Mbak Nur sudah tertidur pulas. Kubaringkan tubuhku di sampingnya, sebelum kupejamkan mata, kusempatkan berdo’a kepada Allah memohon beberapa hajat untukku dan untuk orang-orang yang kucinta. Ramadhan kali ini memberiku kekuatan untuk selalu berdo’a dan meminta segala keinginan hati. 

Tiba-tiba aku telah berada di sebuah jalan yang taka sing, hamper mirip jalan yang terletak di depan rumahku yang biasa kulalui saat akan pergi ke masjid, saat itu terjadi pada malam hari, lalu kudongakkan kepalaku, berkali-kali kuucap kalimah thayyibah, kulihat langit malam saat itu dipenuhi lafadz Allah bercahaya putih tersebar di seluruh sudut langit. Saat itu lafadz Allah bagaikan pengganti bintang, langit hanya di penuhi oleh asma-Nya. Aku terharu, senang, bahagia, bersyukur, hanya ada Aku dan Allah, serasa Allah sedang mengajakku berbicara lewat kekuasaan-Nya di langit itu. Aku mondar-mandir sambil terus melihat ke arah langit. Aku tak ingin melewati peristiwa besar ini. Lafadz yang tersusun dari huruf alif, lam jalalah dan ha’ itu jelas terbingkai dalam rangkaian cahaya berlian yang tersebar di seluruh penjuru langit. Ya Allaaah….

“Han, tangi Nduk, sahur” (Han, bangun nduk, sahur), suara ibuku membangunkanku. Segera kumenuju kamar mandi untuk bersih-bersih dan wudhu. Kemudian kulaksanakan shalat tahajjud 3x salam dan pergi ke ruang makan untuk sahur.

Waktu terasa cepat berjalan, beberapa menit kurebahkan tubuh di atas kasur sembari mengunggu adzan, adzan shubuh yang ditunggu pun berkumandang. “Nduuuk, wes adzan, ndang neng masjid” (Nduuuk, sudah adzan, cepat ke masjid), meskipun ibuku tidak berpuasa, Beliau tetap bangun dan memastikan anak-anaknya khusunya untuk adikku paling kecil, Si Nisa pergi ke masjid. Setelah siap, kulangkahkan kaki menuju masjid, seperti biasa kulihat langit gelap yang ternyata masih dihiasi bintang. Tetiba kuteringat sesuatu, mimpiku semalam! Warna biru kehitam-hitaman langit shubuh tadi, sama persis dengan yang ada di mimpi, yang membedakan hanyalah lafadz Allah yang tersebar dengan sinar tak biasa, lafadz tersebut memiliki sinar seperti berlian yang tersusun kecil-kecil membentuk asma Allah.

Rabb… segala puji bagi-Mu atas ni’mat yang besar ini. Ramadhan-Mu benar-benar merangkul hati.

Magetan, 1 Juli 2014