“Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah...” Qatâdah, Tafsîr al-Qurthûbî

Selasa, 25 November 2014

International Library

Dulu usai melihat film dengan nuansa luar negeri, saya selalu punya impian dapat menikmati pemandangan langit dari balik jendela perpustakaan di Inggris atau salah satu kota di negara Eropa. Namun 3 atau 4 tahun kemudian keinginan menggebu itu terjawab. Tanpa pergi ke luar negeri saya dapat menikmatinya, I really get the feeling, the sense!!!

Sebuah sudut di perpustakaan salah satu Fakultas UIN Jogja menyulap keinginan saya menjadi nyata. Entahlah apa karena saya yang selalu berimajinasi, namun semuanya terasa begitu jelas dan indah. Langit gagah seluruh arah, gedung menjulang setinggi kepakan elang, pesawat manusia hilir mudik begitu asyik. Semuanya tak kutemukan di kampung halaman, semuanya tak kutemukan di kampus orang. Perpustakaan minimalis yang hanya terdiri dari satu pintu itu kini menjelma menjadi perpustakaan internasional.








Senin, 24 November 2014

Special Giving

Sewaktu buka-buka file di laptop, saya tak sengaja menemukan satu folder dengan nama "gift", beberapa foto hadiah hari lahir bulan Januari lalu (2014), meski sudah kadaluarsa, kenangan itu masih indah terasa :* Jazakumullaah khoir untuk orang-orang terkasihku...

Diand's giving :*


Kaos kaki dari Mbak Intin


black forest from Mbak Nisa

Many small gifts here, from Ayu and Iin

etcetera...

Dompet Boneka







DOMPET BONEKA dengan bahan lembut dan design lucu, cocok untuk anda yang suka bergaya ^^b

Sabtu, 08 November 2014

Cinta



Imam Syafii pernah ditanya oleh istrinya, "Suamiku, apakah engkau mencintaiku?" Beliau menjawab, "Ya tentu saja, dirimu bagian dalam hidupku." Mendengar itu istrinya bertanya, "Apakah engkau juga mencintai Allah? Bagaimana mungkin dua cinta menyatu dalam hati seorang mukmin, Cinta kepada Allah dan juga mencintaiku?" Beliau tersenyum dan mengatakan kepada istrinya dengan pandangan mata yang lembut penuh kasih sayang. "Karena cintaku kepada Allah, maka aku mencintai makhlukNya, memperlakukan dengan hormat dan penuh kasih sayang istriku, anak-anakku dan sesama. Aku mencintaimu karena cintaku kepada Allah."

Kamis, 06 November 2014

Firasat Ibu

 


Tepat Rabu kemarin merupakan hari paling menyedihkan dalam hidupku. Beberapa kejadian membuatku serasa tertampar hebat. Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya, mataku tak dapat menahan tangis penuh kecewa. Aku berjalan dengan kedua kaki bergetar mencoba mencari kebahagiaan, mencari penghapus air mata dan pendengar keluh lara. Aku berjalan namun tak ada, akhirnya aku berlari, tapi tetap saja tak kutemukan. Oh Tuhan mengapa salahku begitu luputya, mengapa dosaku begitu besarnya, mengapa hukumanku begitu beratnya. Saat aku dalam keadaan jatuh sedalam-dalamnya, saat aku dalam keadaan kalut sekalut-kalutnya tak ada lagi yang sekedar menanyakan kabarku, tak ada lagi yang memberikan bahu untuk menopang beratnya pikiran di kepalaku, tak ada lagi jari yang tulus menyeka air mataku. Bahkan aku tlah memohon belas kasih namun tangisanku, kepedihanku, semua ditolaknya. 

Petang pun tiba, semenjak pagi hingga sore aku tak makan apa-apa, tangis itu akhirnya mengantarkan lelapku di sebuah tempat di perpustakaan pusat universitas. Tak perduli anggapan lain kepala lain mata, aku hanya menangis lalu tertidur juga. Tiga amanah menimba ilmu hari itu kubuang sia-sia. Meronta memohon pelipur duka. Sesaat setelah aku terbangun dari tidur, telepon genggamku berbunyi, tak biasanya Ibu menelponku. Segera kuatur nafas dan suara, memberi keceriaan bahwa di tanah rantau aku baik-baik saja. Usai percakapan utama, wanita mulia itu berkali-kali bertanya "gak enek opo-opo to neng kono?" (gak ada apa-apa to di situ?), "mboten Buk" (tidak Buk), lirihku. Suatu pertanyaan yang jarang bahkan tak pernah Ibu lontarkan padaku. Tiga kali Ibu mengulang pertanyaan itu, tiga kali pula kujawab dengan pernyataan yang sama. Setelah kututup telepon, aku hanya mampu menghela nafas, berusaha tegar. Beberapa menit kemudian telepon genggamku kembali berdering, Ibu menghubungiku lagi, "Rahma piye neng pondok?" (Rahma {saudara kembarku} gimana di pondok), "sae.." (baik..), jawabku singkat. Tak kuduga Ibu kembali menanyakan hal yang sama, "tenan yo, gak enek opo-opo neng kono?" (benar ya, nggak ada apa-apa di sana?), "mboteen.." (nggaak..), aku kembali meyakinkan jawaban. Sejenak kami saling terdiam, kemudian Ibu mengucap salam dan telepon terputus. "Ibu, aku sakit di sini, nggak ada temen, tolong do'akan sore ini ada yang menemaniku, minimal membahagiaanku menanyakan keadaan piluku. Ibu, maaf hari ini aku tak amanah padamu, beberapa tugas menuntut ilmu tak kukerjakan tepat waktu, tapi Ibu, andai Kau tau...", tangisku.

Sejenak pikiranku menerawang, di saat raga dan hatiku benar-benar pilu, bahkan sekedar mengangkat kepala pun aku tak mampu, aku tak mau bercerita pada Ibu, aku tak ingin menambah beban yang lalu, namun tanpa kuberi tahu, Ibu tiba-tiba menelponku, bertanya sesuatu yang jarang berlaku, Ibu berkali-kali bertanya tentang keadaanku. Inikah firasat Ibu?


Yogyakarta, 6 November 2014

With tears

Pelangi di Hari Jum'at

Jum'at minggu lalu hari bagaikan pelangi, merah kuning hijau berpadu indah menghiasi langit. Layaknya warga bumi, aku merayakannya dengan senyuman dan syukur.

Merah. Jum'at pagi terasa merah menyala ketika aku mengetahui di rumah tiada satupun menyapa. Perjuanganku meminta ijin dari keamanan pondok dan perjalanan kereta yang melelahkan terasa sia-sia, ini kedua kalinya pulang kampungku tak ada siapa-siapa. Bapak, jelas pergi ke kantor hingga sore, mungkin mampir ke rumah hanya numpang mandi setelah itu pergi lagi bergelut dengan grup hadrah anak-anak desa. Dek Nisa, semenjak Kamis kemarin mengikuti acara dari madrasahnya selama tiga hari. Ibu, ada acara mendaadak menjadi pengisi seminar di salah satu Universitas Negeri di Semarang. Usai menonton televisi sejenak, kuputuskan pergi mandi lantas beres-beres rumah. Pukul 10.00 pagi perutku mulai terasa lapar, setelah melihat ada tiga potong ayam di meja makan, aku menggorengnya kembali dan kulahap semuanya, sebab bisa dipastikan itu adalah lauk sisa kemarin dan tak mungkin akan dimakan kembali, melihat tidak ada orang di rumah. Jum'at pagi bagai permaisuri, makan ayam tanpa nasi.

Semburat kuning cahaya matahari sore hari agaknya memberi perinagtan padaku dan Bapak. Semua berawal setelah waktu Ashar Bapak menjemputku dari kantor menuju tempat perkemahan Dek Nisa untuk mengantar air mineral. Belum sampai tempat yang kami tuju, tiba-tiba mobil bagian belakang mengeluarkan suara aneh, klothek-klothek, seperti ada yang lepas. Saat itu radio dan AC masih kami nyalakan, beberapa ratus meter kemudian aku dan Bapak mencium bau terbakar. Bapak lantas mengecek suhu pada temperatur mobil, more than normal!!! Akhirnya Bapak memutuskan berhenti di tengah jalan tepat di tepi sawah, dan buub! Saat bagasi mesin dibuka keluar asap tebal dari dalam. Aku menjauh sambil komat-kamit banyak membaca shalawat berharap semuanya baik-baik saja. Permasalahannya ternyata sepele, air radiator habis. Jika tidak segera diisi maka mesin akan panas, semakin panas akan memicu terbakarnya seluruh komponen. Setelah radiator diisi dengan air cadangan, dari kejauhan kulihat dengan panik Bapak melepas kabel penghubung aki dan mesin agar saat mesin radiator mengalami panas di atas normal, tidak merambat ke seluruh mesin atau komponen lainnya. Akhirnya masa-masa panik itu terlalui, sesaat setelah menanti mesin dingin kembali, Bapak kemudian memasang kabel penghubung aki dan mesin agar mobil dapat dioperasikan kembali. Takdir berkata lain, saking kuatmya Bapak memutar obeng pengait aki, pengait yang sudah rapuh itupun patah. Langit sudah mulai gelap, lantas kami putuskan berjalan kaki mencari masjid untuk menunaikan shalat maghrib. Cek radiator mobil adalah sebuah keniscayaan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di tengah berkendara. Kuning...


                                                       mobil sesaat setelah asap mengepul


                                                       suasana jalan setelah mencari masjid

Hijaau. akhirnya hijau. Ini bukan karena hijau warna kesukaan saya. Hijau sepertinya menjadi simbol keberhasilan, kemakmuran dan kebahagiaan. Usai menyusuri jalan di antara persawahan, menanti bala bantuan, pukul 20.00 aku dan Bapak segera meneruskan perjalanan ke tujuan utama, bumi perkemahan MIN Tawanganom, Magetan. Sesampainya di sana terlihat tenda berdiri rapi mengelilingi lapangan. Dek Nisa dan seluruh teman-temannya berada di tengah lapangan melaksanakan apel malam. Api unggun semakin menambah kekentalan suasana pramuka. Setelah mengumandangkan Dasa Dharma Pramuka, anak-anak kelas 5 Madrasah Ibtidaiyyah itu berhamburan mengelilingi api unggun, tertawa, bertepuk tangan bernyanyi bersama, "api unggunnya sudah menyala... api unggunnya sudah menyala...", begitulah liriknya seingatku. Bapak saat itu menuju belakang tenda bergabung bersama para wali murid lainnya, dan aku lebih memilih menyendiri mencoba mengingat kembali kenangan berkemah semasa menjadi bantara saat SMA dahulu. Lelah seharian tadi akhirnya terbayar sudah, di tengah pandanganku menerawang langit menyorot rembulan, kembang api terpancar indah dari berbagai sudut, "Subhanallah, walhamdulillah, bumi-Mu begitu indahnya, bagaimana dengan jannah-Mu nanti Yaa Rabb...". Hijau!!

                                                                                           Bapak dan Dek Nisa










 

Rabu, 05 November 2014

Sorry

Nafasku tersengal. 
Menahan gejolak hati yang tak sesuai keinginan. 
Akhirnya hujan pun turun, sebuah tangis kesedihan.