“Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah...” Qatâdah, Tafsîr al-Qurthûbî

Selasa, 25 Agustus 2015

Buah Pengganti Jambu

Siang ini aku menangis, bukan tersebab berita duka atau hilangnya orang tercinta. Namun karena ni’mat Allah yang terlalu besarnya. Sangat besar. Sungguh besar. Tak tau lagi bagaimana mengungkapkannya. It so very hard to explain.

Beberapa hari yang lalu pagi sekali aku ke pasar dengan seorang adek pondok mengambil pesanan kerupuk satu ball untuk lauk sekamar. Kami anggota el-Cholil patungan tiga ribu guna membeli kerupuk itu, tentu sangat efisien cara ini, yang biasanya keluar sore beli lauk, sekarang tidak pernah karena sudah tersedia teman makan kriuk-kriuk. Tujuan lain ke pasar Prawirotaman (nama pasar tsb) adalah mencari buah favorit aku jambu biji. Bukan karena rasanya paling enak di antara buah-buah lainnya, tapi karena termasuk buah yang mudah di dapat (bukan buah musiman), harganya sesuai kantong dan tidak cepat busuk. Ya setidaknya dapat asupan vitamin meski hanya jambu. 

Belum rejeki aku, dua penjaja buah masing-masing memiliki stok jambu namun tak secantik biasanya. Aku pun mengurungkan niat.

Alhamdulillah esoknya diberi dua tomat Ibu Lotek langganan tiap hari. 

“iki di gowo tomat e”, sambil memasukkan dalam kantong plastik beserta sebungkus lotek dan kerupuk.
 
“mboten Buuuk, sampuuun, lah laah”, aku ngeyel. 

Pembelaanku tak berhasil, dua buah tomat segar nan ranum harus kubawa pulang.

“alhamdulillaah hahaha”, batinku.



Keesokan harinya aku kembali lagi membeli lotek, hampir tiap siang jika tak ada jadwal kuliah pasti aku ke sana. Bukan hanya ramuan bumbunya yang ni’mat, Ibu Lotek selalu ramah padaku, terasa Sang Ibu telah sukses berjualan syari’ah hingga membuat langganannya datang kembali. Teori marketing dan semacamnya berhasil Ibu aplikasikan meski tanpa belajar teori muluk-muluk. Aarrgh aku kalah, mahasiswi keuangan islam kalah jauuh.

Karena mengejar jama’ah dzuhur di masjid, aku hanya memesan dan mengambilnya usai sholat. Namanya juga perempuan, pasti mampir-mampir, selepas dari masjid aku masih menyempatkan diri ngobrol dengan teman selantai dahulu. Setelah itu aku keluar mengambil motor menjemput pesanan lotek yang pasti sudah jadi sedari tadi. 

“Buuuk, taksih? Nambah tigo kagem rencang kulo”, belum sempat turun dari motor aku sudah membuka percakapan ala orang-orang di kampungku.

“walaah telas e nduk. Ki lho resik”, aku menuju lemari kaca memeriksa sebuah baskom yang ternyata memang tinggal beberapa potong kecambah. 

“nggih pun, kalih welas nggih, niki”, aku membayarnya kontan.

“nggowo tomat maneh ya, ki”, lagi-lagi Ibu memindahkan 2 persediaan tomat dari lemari kacanya ke dalam kantong plastik lotek tanpa “iya” ku.

“mpuun, setunggal mawon Buk”, aku menawar.

“halah wes to, nyoh”, untuk kesekian kalinya Ibu ngueyel.

“nggih pun matur suwun, monggo Buk”, aku berbalik arah mengambil motor.

“Yo nduuk, makasih yaa”, jawab Ibu.

“Monggo Buk”, inilah orang jawa, berpamitan kurang afdhol kalau belum lebih dari sekali. Aku hilang di telan jalanan. 

 Sorenya usai dari jama’ah ashar di masjid aku mendapat pesan dari salah seorang Mas-mas sesama asal Magetan yang sedari pagi meminjam sepeda motorku untuk takziyah di Bantul. Kebetulan Masnya dulu pernah jadi pimred buletin Madani dan aku bersama kedua kembaranku adalah salah tiga tim redaksinya. Selain itu ternyata Ibunya adalah murid Ibuku semasa kuliah di poltekes Akbid Magetan, jadilah Ia tak asing dalam keluarga kita. Si Mas bermaksud mengembalikan motorku, ia menunggu di depan Bank BRI pinggir jalan sesuai instruksiku. Sampainya di tempat janjian, bersama soerang lelaki tak kukenal ia menanti di sebrang jalan. 

“makasih yaa, stnk ne tak dekek neng jok motor”, katanya.

“halah santai”, jawabku.

Langsung setelah memberikan kunci motor padaku, ia meneruskan perjalanan kembali (mungkin) ke Magetan bersama temannya itu.

Aku sendiri berencana menuju kantor pos nol km Malioboro untuk mengirim pesanan majalah al-Munawwir salah satu pelanggan dari Malang. Setelah itu mampir ke toko Joly membeli kado untuk adik sekamar, Frida panggilannya.

Usainya jalan-jalan sore, sampai di parkiran depan ndalem Bu Nyai kuperiksa bagasi motor, aku baru sadar ada kresek hitam di dalamnya, Ya Allaah isinya jeruk dan buah naga. 

Aku tak menyangka, dari bulan puasa lalu ingin beli buah naga sendiri namun belum kesampaian, melalui hambaNya Allah memberiku tanpa biaya dan usaha. Alhamdulillaah. 

Sedikit terbesit juga sehari sebelumnya ingin makan buah jeruk, karena bibir sudah mulai kering dan perih pertanda akan pecah-pecah. Masyaa Allah, lagi-lagi Allah kabulkan.

Aku bahagia bukan main, sampai pondok kubagikan pada cucu-cucuku, eh pada teman-temanku, anak kamar dapat jatah satu-satu, lainnya tiap kamar kujatah satu. Pas, satu kantong buah jeruk habis. 

Paginya (hari ini), aku tetiba ingin makan jeruk lagi, tapi jeruk saja aku sudah tak punya. Dua jam kemudian melalui Mami Nadia (tetangga kamar) Allah beri lagi satu jeruk untukku.

“Mbak Hanaa, nih Mami kasih jeruk satu buatmu”, sembari senyum renyah Mami memberikannya padaku.
Sedikit tidak enak rasanya karena di hadapan dua adek kamar, hanya aku yang di beri. Ya mau bagaimana lagi. 

Siang sebelum dhuhur Si Frida dan tetangga kamar pergi belanja ke swalayan, maka sebelum berangkat kuamanahi memesan lotek terlebih dahulu.

“hoee siapa yang mau titip suket lagi, tuh ke frida”, tawarku. Jadilah empat bungkus lotek minta diracikkan.
Ketika usai wudhu menuju kamar untuk siap-siap sholat dhuhur, terdengar suara pintu terbuka, Frida teriak dari kejauhan, “Mbaaak kambi Ibu’e diwenehi tomat maning, ki nggo mbak Hana, jare Ibu’e ngono hahaha”.

“Ya Allaah, tenane?! alhamdulillaah”, jawabku.

Sesaat setelah itu jantungku berdegub kencang, “Duh Gustii, sakkabehanipun puji kagem Panjenengan”. Beberapa hari berturut-turut Allah beri buah pengganti jambu. 

Aku buru ke masjid karena sudah iqomah, usai makmum mabuk, dan tiba saatnya wirid bersama, 

“Ilaahi yaa Robbi… subhanallah, subhanallaah… dst”, mata ku terpejam, mengingat betapa Maha Sucinya Allah dengan segalaa keagunganNya.

“Alhamdulillah, Alhamdulillah, alhamdulillaah… dst”, terbayang-bayang ni’mat Allah yang sungguh-sungguh besar selama ini. Setetes air keluar dari kelopak mataku. Aku mulai seseunggukan menangis. Tak sabar kudo’akan Ibu Lotek yang sudi mengasihi wanita berlumur hina ini.

Allahu akbar, Allahu akbar, Allaahu Akbar… dst”, tak dapat kuungkapkan apa-apa. Aku tenggelam dalam syukur bersamaNya.

Usai Imam menuntaskan do’a jahrnya, seperti biasa kulayangkan fatihah untuk Kanjeng Nabi Muhammad, para Kyai, guru, dosen dan ustadz yang telah mengajariku banyak hal yang manfaatnya terasa hingga saat ini, lalu kelompok ketiga adalah keluarga besar, anak cucuku beserta suamiku kelak, lantas untuk beberapa hajatku dan spesial untuk Ibu Lotek. Kubayangkan wajahnya dalam-dalam, tanpa kata kuungkapkan pada Allah lewat bahasa batin, memohon Allah senantiasa menjaganya, memberi barokah dalam usianya dan selalu dilancarkan rizqinya. 

Aku pun berjalan kembali ke gedung pondok dengan mata basah menahan senggukan tangis tiada kira.



With tears,

Krapyak, 25th August, 2015, 14.49 WIB

Lara


segumpal daging lara rasa...
sang pemilik membawanya pergi beribadah ke rumah Tuhan...
tak kunjung reda malah tubuh bergidik dingin menyerpa...
mulut gemetar, seluruh bulu kuduk tegap tak seperti biasa...
apa ini Ya Allaah?
segumpal daging lara rasa...



Krapyak, 9.16 WIB

Kamis, 13 Agustus 2015

Dua Devi

Wajah-wajah itu tak pernah lupa dari ingatan. Si Tembem Devi dan Si Tukang Takjub Devi. Dua Devi. Kami jarang bertemu, kami tak sering mengirim pesan atau telepon untuk melepas rindu. Hampir semua kehangatan dalam pertemuan Allah yang menjadi penentu. Tak tau, sendiri di tengah terik matahari, atau melamun sejenak usai kuliah pagi, atau sore saat lelah melanda diri tiba-tiba saja dengan episode-Nya yang begitu indah, Allah pertemukan kami. Makan, bercanda, hingga mengutarakan ikhtiyar bersama demi menggapai mimpi, biasanya itu yang kami lakukan saat berkumpul.

Baik, kuperkenalkan dulu Devi Tembem, dia adalah anak paling manja dalam keluarga kecil ini. Kami sepakat memanggil tembem karena memang pipinya empuk bak kue bakpao. Ini juga memudahkan kami dalam membedakan dua sosok yang memiliki nama sama, Devi. Dan yang paling penting, Devi Tembem sangat legowo dan bahagia mendapat julukan seperti ini. Oya, mengapa Ia paling manja? Sebab selalu saja meminta tolong disertai rengekan, kurang percaya diri kalo sudah di hadapan dosen atau petugas administrasi. Sudah beberapa kali Devi Tembem mengutarakan keinginannya perihal masalah internalnya, “Mamiii, aku pokoknya harus dewasa, harus pemberani!”. Dia memiliki panggilan khusus untuk saya, Mami. Mungkin saya terlalu sering menempa hidupnya agar lebih dewasa, bahkan melebihi ibu kandungnya sendiri haha. “Udah ah nggak usah sok-sok’an”, jawabku canda. “Iiihh mami jahat”, aku pun tertawa bahagiaa. Tak jarang juga setiap gadis asli Jogja ini curhat atau bercerita suatu hal, selalu saya respon dengan ledekan atau sesuatu yang menjatuhkan (tentu tanpa menyakiti hatinya), berharap psikis dan emosinya semakin kuat dan tak mudah rapuh. Sebab indahnya suatu alam tak tercipta dari air yang tenang, pasti banyak tempaan yang ia terima sebelumnya. Selain itu saya rasa sikap yang seperti ini malah menjadi kenangan dan bumbu terbaik dalam sebuah hubungan (khususnya pertemanan).

Eits jangan salah, dibalik sifat kekanak-kanakannya Devi Tembem memiliki potensi luar biasa, Ia sering membawa nama baik Provinsi DIY dalam ajang MTQ melalui bakat suaranya. Di pondok pesantren komplek tahfidz Hindun, Krapyak, Jogjakarta, ia juga dikenal santriwati yang baik, tak jarang Bu Nyai nya sering mengajak Devi untuk sekedar nderekke dalam berbagai acara. Sebagai vokalis hadroh juga, Devi Tembem sudah mengisi puluhan acara dari khitan hingga walimahan. Bahkan sempat dia mengajak saya membuat grup music positive dengan salah satu pemegang alat music (piano) Teh Icha, salah satu putri Aa’ Gim yang kebetulan sama-sama mondok di Hindun. Konsep sudah matang, beberapa hari sebelum rencana meet up dengan Teh Icha, Devi Tembem lagi-lagi merengek, “Mamiiii, kabar buruk. Teh Icha udah boyong, dia mau nikah”. “Oya?! Alhamdulillah dong”, jawabku. “iiih Mamii, kita nggak jadi bikin grup musik dong”, gayanya persis anak kelas 3 SD, bikin gemes.

Lain lagi dengan Devi yang satunya, Devi bukan tembem. Dia anak yang suka takjub dan nggumunan. Tapi bukan sembarang nggumunan. Karena setiap yang ia dengar atau lihat, jika itu adalah cerita atau kabar yang membahagiakan, kalimat yang pertama kali ia lontarkan adalah kalimat thoyyibah, sekalipun itu bagi orang awam biasa saja, menurut Ia semua ni’mat adalah luar biasa. Devi paling senang jika saya berhasil mengerjai Devi Tembem, dia akan tertawa terbahak-bahak dan berkata “kalian itu Masya Allaah, lucu bangeet hahaha. Lagi Han, lagi..”.

Gadis kelahiran Brebes ini adalah anak Muhammadyah tulen, sekarang Ia tinggal di mu’allimat (salah satu lembaga tahfidz milik Muhammadyah) sebagai musyrifah. Namun dari awal bertemu hingga saat ini tak pernah kami risau atau berdebat kecil untuk masalah-masalah seperti ini. Karena memang persaudaraan ini terbentuk murni karena atas izin Allah, atas nama cinta *ciyee. Bahkan pernah Devi mendesak ingin sekali tidur bergiliran di pondokku dan di pondok Devi Tembem. Karena kebetulan pula pondok saya dan Devi Tembem hanya berjarak 3-4 rumah. Padahal ia tahu betul pondok kami adalah pondok NU yang didirikan oleh almarhum Kyai Munawwir –semoga Allah merohmatinya- dan menantu beliau, almarhum Kyai Ali Maksum –semoga Allah merohmatinya- jadi antara NU maupun Muhammadyah, kami saling mengisi saling menguatkan. Masya Allah.

Dari ketiga keluarga kecil kami, Devi ini yang paling sibuk. Ngajar sana-sini, pengurus kopma (koperasi mahasiswa) sejati, hingga bisnis mudhorobah atau usaha milik sendiri. Dan sekali lagi, di tengah kesibukan masing-masing selalu saja Allah pertemukan kami tanpa rencana dan tak terduga.

Dalam pertemuan tak terduga, makan atau sekedar minum es, biasanya kami saling menasihati, tapi bukan dengan bahasa orang tua masa kini, tentu dengan logat dan gaya anak muda, menggebu-gebu disertai tawa canda. Sekilas terlihat hanya sebuah percakapan biasa, namun jika mau menghadirkan hati, pertemuan ini bisa jadi bentuk amaliyyah ayat wa ta’awanu ‘alal birri wat taqwa.

Semoga Allah senantiasa menjaga kalian, Devi Astriyani dan Devi Kiki. 
 
Devi kiki - Devi Astriyani - Kanjeng Mami


Persahabatan itu sangat berharga
Tak terganti dengan banyaknya harta
Persahabatan tak kan terwujud tanpa kasih dan rasa cinta
Ketika tangan melingkar di pundak, terasa kasih sayang seorang teman
Ketika tangan tergenggam, jalinan kasih melangkah bersama
Oh temanku jangan lupakan aku
Islam telah mengajarkan umatnya tentang arti seorang sahabat, saling menolong dalam kebaikan

Persahabatan-Song special for "Dua Devi"
https://soundcloud.com/fatkhul-tsani-rohana/persahabatan 



With love,


Krapyak, Yogyakarta, Kamis, 13 Agustus, 2015. 12.19 WIB

Jumat, 07 Agustus 2015

Air Ajaib


Bismillaah..

Ini kisah air ajaib dari Allah tentunya. Suatu hari seorang adek pondok mendekatiku meminta ridho atau bahasa jawanya pangestu karena esok harinya Ia akan melaksanakan ujian nasional kelulusan MAN. Mungkin karena saya terlampau cerewet selalu mengingatkannya belajar, di samping itu tiada orang tua sebagai tempat curahan (maklum di pondok), jadilah orang yang lebih tua di pondok menjadi ganti sosok ayah dan ibunya. 

Malam setelah shalat ‘isya, aku bertanya pada gadis dari tanah Ngapak itu siapa nama panjangnya berapa nomor ujiannya, dan apa mata pelajaran yang besok Ia ujiankan. Lantas Ia tuliskan pada secarik kertas mungil dan memberikannya padaku “Besok ujianku IPS mbak, makasih yaa, love you, love youuu”, tuturnya genit. “Hoe! Biasa aja keleus”, jawabku dengan nada meledek. Yaa... menurutku hal semacam inilah yang malah menambah bumbu kedekatan kita, tidak ada sakit hati di dalamnya. Jika saya pura-pura feminim terkadang malah diledekin bahkan ada yang sedih karena lantai satu jadi terasa sepi. Ah entahlah.

Mukena terusan yang masih kugunakan selepas shalat ‘isya tadi sengaja tak kulepas langsung kugunakan untuk membaca do’a khusus untuk Zakiya. Dengan alas sajadah aku menemukan satu sudut yang lumayan untuk mujahadah, depan pintu masuk gedung. Sebab namanya hidup di pondok, tidak ada satu pun ruangan pribadi, hampir semuanya berisik dan penuh gerumulan, kecuali kamar mandi di atas jam delapan malam, pasti kosong, tapi tak mungkinlah aku berdoa di atas jamban.

Tepat di depanku, sudah kusedikan seperempat air gelas berserta tutupnya, mushaf Al-Qur’an dan tak lupa kertas bertuliskan nama dan nomor ujian Zakiya. Tak jarang pemandangan manusia berseliweran lewat di sampingku, sesekali terdengar suara aneh santriwati yang asik diskusi, ada juga yang sedang mengaji atau teriakan ajakan nongkrong di koperasi. Awalnya sedikit mengganggu, tapi kucoba hadirkan hati dalam mujahadah ini. Kubuka dengan bacaan ta’awudz berharap setan tak ikut campur dalam do’a-do’aku. Lanjut kubaca suroh al-Fatihah, lantas satu per satu ku kirim kemuliaan bacaan suroh pertama dalam Al-Qur’an ini. Pertama Kanjeng Nabi Muhammad saw, Syaikh ‘Abdul Qodir Al-Jailani, Kyai-Kyai yang telah menuntunku, Mbah Zainal Abidin Munawwir (Krapyak, Jogja), Bu Nyai Ida Fatimah Zainal (Krapyak, Jogja), Kyai Najib Abdul Qodir sekalian (Krapyak, Jogja), Kyai Wahid (Panekan, Magetan), dan Kyai sekaligus Mursyid Thoriqoh, Kyai Syaifuddin Muhammad (Sumursongo, Magetan). Kedua adalah kedua orang tua Zakiya. Ketiga adalah guru-guru Zakiya, dari TK hingga MA, ustadz-ustadzah yang telah mengajarkan ‘ilmu agama padanya. Tak lupa pengawas ujian Zakiya khusus mata pelajaran IPS. Dan yang terakhir, Fatihah untuk Zakiya sendiri, kusebut nama panjangnya, nomor ujiannya. Jidatku mengkerut, mataku tertutup rapat, terlihat wajah Zakiya dalam bayangan, memohon pada Allah semoga Ia lancar, diberi petunjuk dan ketenangan saat mengerjakan. Saat-saat inilah dunia terasa sunyi, hanya ada aku yang lemah dan Dia Sang Maha Segalanya. Aku menangis, berkali-kali kumohon pada Allah agar esok Zakiya mudah dalam melewati ujian IPSnya. “Ya Allaah njenengan paringi kelancara, ketenangan, kemudahan lan petunjuk kagem saudari kulo Zakiya”, berkali-kali kumengemis. Lalu kubaca fatihah lagi untuk mengawali bacaan suroh Yasin. 

Usai membaca suroh Yasin, aku kembali berdo’a untuk bocah berkulit kuning itu. Kembali menambah kekhusyu’an diri, benar-benar memohon pada Ilahi sebab saya sadar diri hanya seonggok manusia yang berlumur dosa di sana-sini. “Ya Allah bantu Zakiya dalam ujian IPSnya besok, hamba memohon kepadamu , beri kelancaran pada dirinya, beri ketenangan saat mengerjakan, berilah petunjuk dalam menjawab seluruh soal. Berikan pula hasil yang terbaik untuk masa depannya, Al-Fatihah”. Kemudian kutiupkan dalam air mineral yang telah tersedia di hadapanku, ku tutup rapat gelas tersebut, lalu mengusap muka dengan kedua tanganku sebagaimana layaknya orang yang selesai berdo’a, selain muka kuusapkan pula ke kedua lengan tanganku, menuju perut dan punggung. Berharap barokah bacaan kalimat thoyyibah tadi juga menempel pada diriku. Ini bukan ritual klenik, apalagi bid’ah dholalah, sekedar simbol dan kebiasaan santri. Sama halnya ketika anda berdo’a sebelum tidur dan mengusapkannya ke seluruh tubuh. Memang tidak bisa dilogikan, karena ini benar-benar hanya hubungan hamba dengan Tuhan, tak terhitung, tak terdefinisi.

“Jek, ki sesuk diombe pas arep mangkat ujian, jo lali moco Fatihah disik”, nama aslinya memang Zakiya, tapi saya memiliki panggilan sayang tersendiri, Jekicen. Dia bahagia dan tidak pernah marah saat saya panggil seperti itu,so why not?

“Ya Allaah, Mbak Hana baik tenan’e. Oke, oke. Love yoouu muaach”, genitnya kumat.

“Iiih, a to the lay, alay haha”, kita berdua tertawa bersama.

***

Terik matahari Jogja siang itu begitu menyengat, sepanjang perjalanan dari kampus ke pondok rasanya ingin cepat nyungsep di pojokan kamar. Setelah melewati 30 menit perjalanan, akhirnya saya tiba, masuk pondok sudah di sambut Si Jekicen, “Mbak Haaan reneo aku arep ceritoo”, wajahnya merah penuh minyak terlihat pulang dari ujian sekolah langsung mampir ke kamar saya El-Choliel tanpa ganti baju, tanpa lepas tas, bahkan jilbabnya masih terpakai meski sudah mencong sana mencong sini. Aku masuk kamar untuk menaruh tas dan keluar lagi untuk cuci muka dan kaki.

“Mbak reneoo too”, Jekicen tak sabar ingin menyampaikan sesuatu.

“Sek to, tak  cuci muka dilut”, jawabku.

Selepas itu, saya ndoprok di depan kamar sembari menuang segelas air mineral dari galon. “Mbak Han, aku mau pas ujian enek siji tok, siji ndil sing isik ragu. Aku buingung antara C utowo D jawabanne. Trus wes bismillah ae aku jawab D. Pas metu ko kelas tak cek neng LKSku ternyata jawaban sing bener D, aku seneng jaaaan, seneeeng puoolll!!! hahaha”, wajahnya begitu sumringah bak Si Cebol berhasil pergi ke bulan. “makasih ya mbaak, ngko bengi dongakke maneh pokoke, titik!”, lanjutnya.

“hemmm” sengaja saya menjawab dengan ekspresi datar. Jekicen tau saya sedang berpura-pura lalu Ia berteriak semakin kencang “Mbak Han! Dongakke tenan lhoo”.

“iyo, iyoo”, mulutku menyonyo berharap Jekicen puas. “Saiki ndang ganti klambi trus sinau, nek perlu ra sah mangan, ra sah turu!! Buahahaha”, saya pun pergi meninggalkannya.

***

Jujur saya belajar mendo’akan seperti ini dari ayah saya. Semenjak kecil, setiap kali akan ujian kenaikan kelas atau ujian nasional selalu membuatkan air ajaib untuk anak-anaknya. Bahkan sampai saat ini pun ketika sudah tidak tinggal satu rumah, ayah selalu menasihati kami anak-anaknya jika ada ujian Beliau harus diberi tahu. Hingga pernah suatu ketika saya lupa tidak memberi tahu satu ujian saat kuliah, dan yang membuat saya menyesal dan sedih adalah betapa ‘gelo’nya ayah saya tidak dapat mendo’akan ujian anaknya. Tak heran pula dulu jika pagi sebelum berangkat ulangan atau ujian di sekolah saya dan kedua saudara kembar saya sering berebut minum air paling banyak. Entah bagaimana ayah mengajarkannya pada kami, tapi setelah minum air itu terasa lebih dekat dengan Allah, bukan merasa minum air jampi-jampian. Di samping itu sebelum meminumnya kita membaca suroh Fatihah, pagi petang setelah sholat shubuh kami anak-anaknya melihat Sang Ayah di sudut ruang sholat membaca suroh pilihan dan do’a-do’a tertentu dengan segelas air di dekatnya, proses-proses religius itu mungkin yang menambah nilai ketauhidan kami. Semua ikhtiyar adalah perantara, yang menentukan tetaplah Allah, hanya Allah. Selain itu, dengan diberikannya do’a khusus untuk seseorang yang dituju, maka akan memberi kebahagiaan tersendiri bagi yang dituju, kebahagiaan itulah yang menambah semangat serta percaya diri dalam mengerjakan sebuah ujian atau pencapaian hajat tertentu. Hal ini juga yang saya harapkan pada Zakiya, memberi kebahagiaan dan semangat secara personal, dari saya untuk Zakiya. Apalagi di tanah rantau Ia jauh dari keluarga, kalau bukan dari sesama santri, lantas darimana lagi?

Alhamdulillah, jauh sebelum tes perguruan tinggi berlangsung, Zakiya telah diterima di Jurusan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) tanpa tes. Melalui ikhtiyarnya berupa do’a, sholat malam, belajar dan lainnya, Allah memberikan karunia berupa ni’mat kelulusan ini. Qul ! hadza min fadhli Robbiy !


Magetan, 7 Agustus 2015, 13.47 WIB