“Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah...” Qatâdah, Tafsîr al-Qurthûbî

Selasa, 13 Desember 2016

Being Part of Beswan Djarum

Salah satu yg memberi warna kehidupan saya adalah Djarum Foundation. Mengajarkan begitu banyak hal tentang toleransi, menghargai, berbagi, serta saling mencintai.

Di balik semua itu,  kami semakin digodok untuk total mencintai negeri!

Hal sepele yang sebenarnya bagian dari perjuangan membela NKRI adalah tidak menunda-nunda waktu walau sehari, membangun kokohnya percaya diri dan luasnya relasi, yang paling penting semua dibalut oleh masing-masing unsur religi.

Harapannya tumbuhlah generasi yg berdikari,  tidak mudah terombang-ambing carut marut identitas dan kondisi.

Terima kasih atas kenangan syahdu melantunkan lagu Indonesia Raya di bumi pertiwi, di tengah hutan pinus ditemani biji-biji kenari. Lalu berbagai kenangan menantang mengarungi ketinggian dg seutas tali, meneguk cairan lumpur demi terasahnya ketangguhan diri. Ada lagi setiap detik waktu yg senantiasa dihitungi agar kebiasaan terlambat dpat dihindari. Kmudian berperan bersama menyatu dg berbagai sahabat dari seluruh penjuru negeri. Tak kalah pentingnya pelajaran bagaimana menjadi pembicara dan pendengar yg baik agar audience tak tersakiti. And all of touching memories that I can't tell one by one here.

Apa kabar kabar beswan Djarum hari inii?
LUAR BIASA, FANTASTIS, YESS 3x, Beswan Beswan Djarum YESS!!

Bermaulid dengan Kisah

Setahun silam betapa beruntungnya saya menjadi satu dari empat Beswan terpilih regional @uinsunankalijaga .. Pasalnya dari sekitar 500 peserta ujian tulis UIN Jogja dengan segudang prestasi mereka, tak dinyana saya lolos tahap demi tahap dan diterima.

Namun dibalik keberhasilan tentu ada perjuangan atau bahasa temen2 pndok,  tirakat (yaa meski amat sangat tdk bisa dibandingkan dg tirakat sekelas jundi-jundinya Gusti Allah).

Malam sebelum tes tulis, saya menangis di sudut kamar, maksud hati ingin belajar mempersiapkan TPA namun namanya hidup bersama di pesantren, tak ada ruangan pribadi, kbetulan saat itu smua ruang ramai karena kbetulan banyak santri baru, alhasil saya tidak bisa konsentrasi dan ujung2nya mewek.

Alat tulis pun saya tak punya, mendadak masuk dari satu kamar ke kamar lainnya utk meminjam penghapus dan dua buah pensil sbg cadangan.

Belum berhenti sampai di situ, paginya saya harus putar ke area kampus dulu menghampiri teman karena saya belum tau dimana tempat tes berada sekaligus meminjam almamater. Na'asnya ditengah jalan (mantan) hp saya kambuh. Tiba2 mati dan dipastikan tidak bisa nyala dlm waktu ckup lama. Waktu semakin mepet, saya menusuri gang2 mencari2 kberadaan teman saya dan masih saja tak ketemu. Saya sudah hampir putus asa, sepertinya memang belum ditakdirkan utk mengikuti tes @beasiswadjarum . Bagaimana tidak,  tempat tak tau,  almamater tak punya. Akhirnya saya putuskan kembali pulang. Eh ndilalah saya berpapasan dg teman yg saya cari. Senangnyaa bukan main! Lantas kami ngebut, segera menuju venue.

Tibanya di sana, ribuan mahasiswa dr berbagai universitas di Jogja terlihat riuh berbincang, ada yg foto2, ada yg nongkrong di atas mobilnya, ada yg blajar, dsb. Nyali saya menciut duluan. Tapi saya teringat pesan Bapak bhwa tak ada yg bisa mengalahkan do'a dan sholawat. Maka di tengah kesibukan mreka menanti tes di mulai, saya memilih duduk jongkok sembari menunduk membisikkan sholawat.

Sampai pd akhirnya kami dipersilahkan memasuki ruangan. Saya memilih duduk paling depan, sejenak kutengok ke belakang, barisan UIN sungguh luar biasa banyak.

Ada Si Ketua BEM,  ada Si Ahli Matematika,  ada Si Rajin, dan Si Tukang Bantai di kelas.  Semua semakin membuat saya berdebar dan turun nyali. Sholawat tambah semangat saya lakoni. Tahap demi tahap kemudian terlalui,  sekitar 3 jam dan tentu setiap selang waktu tak pernah henti Sholawat pd Kanjeng Nabi. Kmudian kami diberi waktu satu jam utk menanti pengumuman tahap interview. Saya memutuskan utk manut gerombolan teman, menanti di mall tak jauh dari lokasi. Slama di pusat perbelanjaan itu hati saya tak tenang, meski saya yakin tak lolos,  tapi Sholawat tetap lirih di hati.

Waktu yg dinanti tiba, pengumuman tahap interview. Dari UIN sendiri diambil skitar 16 peserta.  Dan ternyata salah satunya adl saya.  Serta merta saya lari keluar ruangan utk sujud syukur

Hingga sampai pd waktu interview,  smua teman2 saya latihan berbicara, saya berdiri diam di depan pintu sambil tak putus mengharap syafa'at dari Rosulillah. Seluruh interviewer pula tak lupa saya tawassuli.

Satu stengah jam kmudian giliran saya masuk. Awalnya suasana terlihat mencekam,  namun lama kelamaan mencair dg berjalannya alur interview saya. Bapak berpakaian necis dg rambut rapi di hadapan saya ternyata tertarik tntg kehidupan saya sbg mahasiswa dan santri. Dan tiba pd satu pertanyaan yg entah membuat saya menangis sendu seketika. He asked me about children in Indonesia. Saya hanya merasa belum ada yg bisa saya perbuat utk generasi ini, namun setidaknya memperkenalkan mreka dg Tamatu (karakter bonek yg saya ciptakan sndiri) mnjdi upaya membangkitkan semangat dan motivasi sejak dini. Inti dari interview ini pokoknya saya pengen lagi!  Haha

Beberapa minggu kemudian pengumuman beasiswa bergengsi pertama yg saya alami. Saya dan tiga teman lainnya dari UIN Jogja dinyatakan lolos.

Itu mengapa saya bisa berdiri, berbicara dihadapan para intelektual negeri, menyampaikan gagasan dan mimpi. Aaah semua ini benar2 membuat saya bersholawat lagi, lagi dan lagi.

Shollu 'alanNabi Muhammad!

Senin, 24 Oktober 2016

Kisah Sebuah Cangkir



Awalnya aku di pukul-pukul, dikoyak, lalu dibanting sekuat tenaga. Tubuhku remuk! Hancur berkeping! Begitu seterusnya berkali-kali.

Lantas aku di diamkan selama beberapa waktu. Aku lega, aku dapat bernafas, dan ternyata tangan beringas itu kembali mendekatiku, kupejamkan mata erat, siap-siap kubayangkan bertubi tempaan menghajarku.

Ujianku belum usai, aku diletakkan pada sebuah alat, kemudian aku diputar-putar tiada ampun. Pusing hebat menusuk kepalaku.  Aku tak lagi mampu menangis, aku tak lagi bisa berteriak. Aku benar-benar telah tiada daya, tak dapat berlari ataupun melawan.

Namun untuk sejenak aku terheran, kesakitan itu perlahan menghilang. Aku bersyukur dan menyokong harap tiada lagi ada siksaan. Rupanya hanya sementara kawan, beberapa menit keheningan itu adalah waktu ketika aku dibawa ke sebuah pekarangan, berpadu dengan rumput kering dan kotoran ayam,  aku diletakkan begitu saja di bawah terik mentari sendirian. Aku mulai merasakan panas menyengat tak karuan. Hingga lama kelamaan tubuhku menjadi kaku,  kering dan berubah warna.

"Tuhan, apa yg sedang kau rencanakan untukku?, " batinku lirih.

Tak puas berhari-hari memanggangku di bawah sengat mentari, tangan kejam itu lantas memasukkanku ke dalam kobaran api. Panas bukan main, kawan!! Nafasku pun juga sesak!  Asap pekat telah menutup seluruh celah. Aku tak tahan, tapi apa yang bisa kulakukan selain berpasrah pada Tuhan. Benda merah menyala itu telah membuat tubuhku hangus berantakan. Untung saja ini tak selama saat aku dijemur kemarin.

Selanjutnya aku diletakkan disudut pintu, dihadapkan dengan kipas angin ruangan. Nyaaman sekali rasanya, panas yang sempat menusuk itu perlahan menghilang. Semilir jiwa datang tak dinyana. Harapanku semoga setelah ini tak akan terjadi apa-apa. Namun bagai Fir'aun yang mendamba menjadi Tuhan, keinginanku tak terkabulkan. Lagi-lagi aku mendapat siksaan. Sungguh!  Aku letih kawan!!  Dengan selembar kertas poles kasar, ia menggosok-gosokkannya pada tubuh tak berdayaku. Perlahan hitam hangus yang menempel raga memudar. Tapi jika engkau tau, periiih yang kurasa sudah tidak lagi dapat tersiratkan.

Setelah itu dengan semena-mena kulitku dilumuri cat berwarna. Semakin bertambah perih yang kurasa. Luka yang belum sempat mengering, kini kembali ditempeli cairan pekat. Bau campuran bahan kimia pun menyengat hebat pernafasanku. Pada akhirnya aku tak kuat lagi. Sepertinya aku akan mati!  Mati! Dan slappp!  Sekejab semuanya menjadi gelap.

Tuhan masih menghendakiku bertahan hidup,  rupanya aku belum mati. Sedikit rasa pusing dan pegal disekujur tubuh perlahan memudar. Aku terkejut bukan main, dulu aku adalah tanah liat tak berdaya, kini menjadi sosok yang indah dipandang mata,  sosok yang ni'mat jika dirasa, sosok yang jauh merekah dibanding sebelumnya.

Inilah aku sekarang, sebuah cangkir anggun nan istimewa.


Krapyak,  24 Agustus 2016, 08.54

Rabu, 12 Oktober 2016

Memilih

         

Jasad yg dikaruniai ruh oleh Tuhannya maka akan dihadapkan oleh pilihan. Berat ringannya pilihan tsb sudah barang tentu tergantung 'jatah'nya masing-masing. Seorang ustadz pastilah kadar kesulitan dalam memilihnya berbeda dengan seorang maling. Hamba yg satu berkutat pda pilihan mengajar atau menjadi pegawai demi menghidupi keluarga,  hamba yg satu lagi berkeruh pda pilihan tetap menjadi maling atau terancam mati kelaparan. Keduanya tak bisa dibandingkan karena sekali lagi masing-masing hamba berbeda 'jatah'nya.

Nah,  usia sepantaran saya seperti saat ini merupakan 'jatah' yg logis utk memilih pasangan hidup. Jika lebih dikerucutkan lagi pilihan itu adalah menerima atau menolak (Melihat usia wajar di tembung oleh lawan jenis). Hal ini juga dibuktikan dengan semakin meratanya teman-teman perempuan sepantaran yg mulai terbuka mengemukakan kriteria calon pasangannya, dengan kata lain mereka mulai memikirkan perihal pernikahan.  Ada yg menggebu harus dapat pengusaha sukses,  ada yg mewek-mewek kepingin dilamar vokalis sholawat, atau ada lagi yg kesemsem disunting pegawai bank syari'ah, dan masih banyak lainnya.

Sepertinya dari berbagai nasihat ibu yg hanya keluar masuk telinga,  kali ini saya mengakui salah satu wejangan beliau ada berliannya. Memilih pasangan hidup itu yang terpenting bertanggung jawab dan berakhlak. Dua poin penting yang benar-benar tidak bisa diganggu gugat.

Bertanggung jawab bukan berarti harus memiliki kerja mapan atau kerja tetap namun lebih kepada implementasi rasa kasih sayang kepada keluarga kecilnya sehingga memberikan dampak senantiasa berusaha dan berjuang demi keseimbangan kehidupan sebuah keluarga. Mengapa keseimbangan?  Bukan kebahagiaan? Sebab dalam suatu keseimbangan terkadang kebahagiaan tak dibutuhkan, musibah lebih dikucurkan,  terserah apapun keadaan yg Allah berikan.  Lagi-lagi tergantung 'jatah' masing-masing hamba dan semua ini tak lain untuk mencapai keseimbangan kehidupan tsb.

Syarat kedua adalah berakhlak. Jangan dibayangkan pria berakhlak adalah yang  selalu lemah lembut,  tak pernah marah atau senantiasa memuji pasangannya. Dia yang mampu memposisikan diri kapan saatnya lemah lembut atas kebaikan dan marah atas ketidakpantasan adalah imam berakhlak. Carilah imam keluarga yg dapat seimbang dalam bertindak, maksudnya sesuai dg porsinya,  tidak condong ke kiri atau condong ke kanan,  tidak condong ke lemah lembut atau condong ke pemarah.

Maka segera buang jauh-jauh kriteria utama pengusaha sukses, atau si pemilik suara emas para vokalis sholawat atau si tampan pegawai bank syari'ah atau semacamnya. Sebab sejatinya hidup adalah berkelakuan dengan nilai (value of life) bukan value of prestige. Perihal nantinya ternyata engkau mendapat pasangan pengusaha sukses atau pemilik suara emas atau pegawai setampan aktor,  itu semua adalah bonus.

Realistisnya adalah seorang yg ingin melangsungkan kehidupan memiliki tiga kebutuhan yg terdiri dari dhoruriyyah (primer), hajiyyah (sekunder),  tahsiniyyah (tersier). Ketiganya sudah pasti tidak dapat terpenuhi hanya dengan bermodal pengusaha saja,  atau penyanyi saja, atau ketampanan semata. Apalagi mengingat kembali adanya pemeliharaan lima unsur dari kebutuhan dhoruriyyah untuk mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat, yakni agama,  jiwa,  akal,  keturunan,  dan harta. Maka tentu memilih seorang laki-laki muslim yg bertanggung jawab dan berakhlak mutlak diperlukan.

Sebagaimana pengamatan saya secara langsung kehidupan rumah tangga ibu saya sendiri. Kebetulan bapak saya adalah seorang qori', namun seumur-umur tinggal bersama mereka,  tak pernah sekalipun saya melihat bapak memperlihatkan suara merdunya di hadapan ibu atau merayu dengan suara beliau. Hal ini semakin memberi keyakinan pd saya bahwa nasihat ibu tidak main-main. Ibu benar-benar mengimplementasikannya. "Mempunyai suami yang bertanggung jawab dan berakhlak adl keharusan,  mendapat pasangan yg memiliki kelebihan (suara atau hafalan atau pendidikan atau apapun itu) adalah bonus dari Tuhan. Tidak akan bertahan hidup seorang istri hanya dg melahap satu kelebihan suami," batinnya dlm bahasa jawa.




Krapyak, 12 Oct 2016 | 08.37 am

Selasa, 14 Juni 2016

Dongeng Rindu



Pertemuan pertama kita sungguh mengesankan. Engkau tertawa renyah melihat kenyataan ada kembar tiga ternyata di dunia. Itu aku dan kedua saudara kembarku.

Gaya bahasamu sungguh cerdik, hingga kami tak canggung berbicara blak-blakan kala itu sampai seterusnya. Sepertinya memang tak pantas kita di anggap sperti ibu dan anak, kita adalah teman sepermainan, Mah.

Mamah, begitu biasa aku dan kedua saudara kembarku memanggil Beliau. Ia adalah wanita periang yang sungguh penuh semangat. Kami adalah saksi ketika Mamah masih awal terkena kanker, kami adalah saksi ketika Mamah masih sehat, bugar raganya. Kami adalah saksi ketika Mamah berjuang sekuat tenaga melawan penyakitnya. Kami adalah saksi bahwa setelah pernikahannya, Mamah merelakan harta, tenaga, waktu dan kasih sayangnya untuk sesama. Dua gadis Jawa, Mamah bawa ke rumah, mereke disekolahkan dari TK hingga sarjana. Kami adalah saksi bahwa Mamah sangat bahagia hidup sederhana hanya untuk orang lain lega dan bisa tertawa. 

Kebiasaan Mamah setiap aku dan kedua kembaranku pamit pulang adalah mencium mesra pipi kiri dan kanan kami bak anak kandungnya sendiri. Semua makanan kesukaan kami, tanpa diminta Mamah  selalu beri. Ketika lama tak sowan kesinggasananya, Mamah akan menelpon kami satu per satu. Sampai satu waktu, Ibuku (kandung) pernah cemburu karena hal ini. Bukan hanya itu, putri semata wayang Mamah juga pernah ikut cemburu tanpa alasan. 

Tak terasa lepas kau tunaikan ibadah Haji, lepas kau ditinggal Papah pergi, kondisimu semakin memburuk. Tapi heranku, shodaqoh dan keceriaanmu tak pernah padam meski dalam keadaan terpuruk.

Berkali-kali kau minta maaf karena aku pernah membuang air kencing di pispotmu, berkali-kali kau minta maaf karena aku telah menyeka mulut bekas muntah yang tak henti itu, berkali-kali kau minta maaf karena aku memijatimu, berkali-kali kau minta maaf saat kubawa teman-teman dekatku berkunjung menjengukmu sambil tawassul bersama mendoakanmu. Aah, rupanya sakit telah melunturkan sedikit ketidaksetiakawananmu. Kita kan friend, tak perlu lah kau minta maaf. Kami bungah sekali bisa seperti ini, Mah.

Lantas Rabu menjelang siang aku bagai disambar petir, waktu di saat aku harus menyeka air mataku, waktu di saat aku harus lemas tak nafsu, waktu di saat Malaikat Pencabut Nyawa dengan lembut menjemputmu, waktu di saat akhirnya aku rela karena ada senyuman lebar di akhir hayatmu, waktu di saat aku tak tega melihat tubuh kurus ktika memandikan jasadmu lalu kualihkan dengan senantiasa melihat wajah sumringahmu.

Mamah, sungguh aku banyak belajar kehidupan darimu. Beragama yang sederhana namun memberi kebermanfaatan kepada lainnya adalah wujud kemilau Islam yang sejatinya tlah diajarkan Rosul sejak dahulu.



Krapyak, 12 Juni 2015, 01.51 WIB

Sabtu, 11 Juni 2016

Pertemuan Cinta



Dua bulan yang lalu tepatnya Rojab 1437 H saat mendengar kabar bahwa engkau akan hadir, hatiku sungguh berdebar. Sosok terkasih yang puluhan tahun senantiasa menjadi dambaan akhirnya akan kembali lagi. Rasanya benar-benar sungguh tak sabar. Mulai detik itu pula do'a pinta pertemuan denganmu terus tercurah pada Sang Maha Bertitah.

Entah, diri ini sampai salah tingkah, berdendang, bertutur lagu dengan bumbuan lirik namamu berkali-kali, percis laku ceria seorang bocah. Bibir tak hentinya tersenyum, tertawa mengenang bayangan indah. Aku akan segera melepas rindu yang selama ini terus membuncah.

Ah apalah... Apalah... Gelora rasa tak dapat terobati kecuali dapat bersua dengan yang ditunggu. Ya, tak ada azimat rindu kecuali dengan bertemu. Aku yakin engkau pun juga merasa begitu. Hanya saja Allah mengajarkan kita untuk bersabar dahulu, aku harus rela menunggu tersingkap nyata cintamu. Tak apa sayang, ini hanya masalah waktu.

Mentari silih berganti terbit tenggelam. Rembulan masih saja selalu genit muncul merayu malam. Akhirnya Sya'ban pun datang bagai sumber cahaya dalam temaram. Begitu menentramkan, membawa sirat sebulan lagi rinduku terobati dengan kekasih hati.

Alamajaang, pintar sekali engkau menggodaku dalam pikiran. Menghantui setiap hembus dan kedipan. Terkadang lembayung rasa memuncak tak tertahan. I really miss you.

Lantas hari yang dinanti tiba. Maghrib sebelum aku menemuimu, kurelakan menusuri lorong-lorong pesantren berharap ada kamar mandi kosong untukku. Sengaja waktu mandi kuakhirkan, supaya segar kulitku, semerbak wangi tubuh dari sabun yang kukenakan tetap awet hingga tibanya bersua denganmu. Tak ketinggalan rambut yang baru saja kupotong beberapa hari lalu kucuci bersih, minyak wangi merk Posh tersemprot di sela-sela sudut pakaianku yang sudah rapih. Aku telah siap wahai Kekasih.

Sesuai perjanjian, kita bertemu di masjid pusat selatan pondok sebelum sholat isya'. Engkau bilang padaku akan ada seseorang yang memberitahuku jika kau datang.

Dengan rasa hati yang tak karuan, aku berjalan menuju tempat pertemuan. Kupilih duduk di shof kedua jama'ah putri, menunggumu sembari memandangi lampu kristal megah dekat ruang Sang Imam. Kemilau anggun serta kerlip cahayanya seolah-olah menggambarkan bahagia jiwaku sungguh tak karuan. Beberapa menit kemudian, lepas dua roka'at sholat kulaksanakan, seseorang membawa berita bahwa engkau tlah datang.

Benar saja, jantungku terasa berhenti berdegup. Hadirmu sungguh mencerahkan sanubariku yang sempat redup. Akhirnya Allah mempertemukan kita agar bunga hidup mekar lagi setelah sebelumnya sempat kuncup.

Selamat datang cahayaku yang penuh kemuliaan.
Selamat datang sosok yang penuh ampunan serta dekat dengan Al-Qur'an.

Oh Romadhon, engkau telah erat dalam pelukan. :'(


Krapyak, 7 Romadhon 1437 H

Sabtu, 04 Juni 2016

Skak Mat !

Malam itu gelap menderu pekat seakan sirna oleh lampu berputar sebuah panggung salah satu majlis diba'iyyah barat pesantren. Akhirus sanah menjadi momen istimewa sehingga acara lebih meriah dari biasanya.

Kebetulan sekali hari itu juga diniyyah sudah mulai libur, maka serta merta lepas jama'ah sholat isya' di masjid, santriwati sudah ribut berangkat lebih awal. Iming-iming penampilan grup qosidah Nida Ria dari Semarang pun semakin membakar semangat.

Aku sendiri bersama teman-teman satu kamar sepakat untuk berangkat setelah makan malam. Kami tidak sesemangat santriwati lainnya, yang penting dapat kursi. Sebab jika datang lebih awal, takutnya acara belum mulai dan perut masih kosong terbengkalai.

Sedari sore sudah kukenakan rok jin biru pemberian Ibu oleh-oleh dari Bandung satu tahun yang lalu, kaos lapangan dengan warna senada jaman jadi Bantara Pramuka saat SMA lalu. Agar lebih sopan, maka ku cover dengan jas coklat, kemudian kupilih paduan jilbab warna hitam. Tas kecil berisi kitab Diba' masyhur gubahan Imam Wajihuddin ‘Abdur Rahman, note book biru gelap beserta pulpennya dan tak ketinggalan kipas kain pemberian salah seorang teman menjadi bekal setiap kali pergi ke majlis tersebut.

Sampainya di sana, kami disambut dengan suguhan roti sederhana khas pesantren yang biasa dijual di pasar kisaran harga seribu rupiah. Untuk sekedar menyejukkan kerongkongan, segelas air mineral kemasan juga ikut disuguhkan.

Sesuai dugaan, tamu membludak, perkiraaanku, baris depan adalah hadirin dari kalangan dzurriyyah Pesantren Krapyak, kursi agak tengah adalah Ibu-Ibu yang didominasi oleh kalangan santri, paling belakang jelas campuran warga sekitar, santri korban antri, dan tamu dari luar daerah. Akhirnya barisan kursi depan layar LCD menjadi pilihan kami. 


Memang panggung tak begitu terlihat jelas, namun video yang ditayangkan lewat proyektor ditambah kemegahan suara dari sound system itu sudah cukup memuaskan hati. 

Agak aneh rasanya, sebab biasanya ada saudara kembarku Rahma di sana. Baru kali ini absen tak hadir, mungkin ia sedang ada target rahasia. Tibalah satu waktu saat aku memandang lamat layar pantulan LCD, ada seorang wanita tak asing terpampang di sana, yang terlihat hanya bagian separuh kepala, dari atas hingga hidung saja. Aku jawil Si Atun adik sekamar paling imajiner, "Tun, Tun, itu Rahma, itu Rahma, berarti dia datang ke sini." Lantas kudongakkan pandangan mencari gadis jilbab hitam sesuai tayangan di baris agak depan. 

"Kok nggak ada ya Tun," bingungku.

Masih seperti orang penasaran, kupandang lagi layar, dan dugaan gadis itu adalah Rahma masih tershoot jelas di sudut paling bawah. Wajahnya sama sepertiku, kebingungan. Serta merta segalanya sirna bak petir menyambar di tengah cuaca cerah. Baru kusadari tak jauh di depanku seorang laki-laki membawa camera video mengarahkan bidikannya padaku. Saat kulihat layar kembali, tayangan semakin jelas, tergambar utuh wajah gadis berjilbab hitam yang slama ini membuatku penasaran. Ternyata bukan Rahma, bukan saudara kembarku yang kucari selama beberapa menit lalu, ternyata dia adalah aku!!

Yaa Bashiiir, Engkaulah sebaik-baik Penglihat, banyak insan yang keliru membedakan hamba dengan kedua saudara kembar hamba, mulai dari teman-teman bahkan diri hamba sendiri, hingga keluarga dekat. Sungguh Engkaulah sebaik-baik Penglihat.


Krapyak, June 4th, 2016, 6.40 am

Kamis, 02 Juni 2016

Terima kasih tlah mengajariku senyum, bahagia apa adanya, menerima kehidupan yang sesungguhnya, serta menyulam ketulusan tiada kira.

Pertemuan singkat itu benar-benar telah mengubah hidupku. Semoga ada takdir kita dapat menikmati ketinggian bersama.

Aku rindu ~

Senin, 30 Mei 2016

Bekal

Malam ini aku ingin menyeka kantuk sebentar. Sebelum melanjutkan berkendara dari stasiun menuju pesantren.

Lepas mengabari Ibu bahwa anaknya sampai dengan selamat di tanah rantau Jogja, aku duduk sejenak di salah satu jejeran kursi tunggu penumpang kereta. Suasana tak seramai ketika sore, kupilih kursi yang tak jauh dari pintu keluar. Sebuah tas kecil merah bercorak Bobo yg kubeli saat kepincut di swalayan tak jauh dari ruangan di mana Mamah Cacik dirawat semasa sakit di Rs.Sardjito berisi penuh brem asli Madiun khusus oleh-oleh kerabat dekat di Jogja.

Aku kembali terpikir sesuatu setelah sebelumnya pernah terbesit saat kaki pertama kali menginjak plataran stasiun. Ya Robb, perasaan baru kemarin hamba dengan antusias membeli tiket pulang, sampainya di stasiun Madiun bertemu ayah yang kebingungan dengan wajah anaknya sendiri, bertengkar kecil dengan Si Nisa layaknya adik dan kakak. Sampai di rumah bak team cleaning service hotel berbintang, aku dan Nisa membagi tugas membersihkan rumah. Mulai dari mencuci, merapikan buku-buku yang posisinya mulai miring hingga mengepel lantai. Benar-benar Jum'at bersih. Lalu sorenya kita bersama ke rumah mbah di Caruban, bercanda dengan Erdha sepupu kecil yang tidak bisa diam, saling ejek handphone siapa lagi kalau bukan dengan Ifti yang telepon genggamnya masih berusia seminggu. Pagi buta sebelum shubuh, ayah membangunkanku dan Nisa untuk bersiap perjalanan ke Jombang. Tepat pukul 4 lebih sedikit, kami meluncur. Suasana sedikit serius, tak ada konser karaokean Habib Syech seperti biasa, sebab Ayah ingin menyetir lebih cepat mengejar waktu tes Si Gembrut masuk di  Tebuireng, aku sendiri terus mengingatkan dan menuntun Nisa menghafal dan belajar beberapa bidang keilmuan yang akan diteskan. Hingga pada kisah, sampai di lokasi adik paling kecilku itu masuk kelas mengerjakan seluruh soal-soal dan rangkaian tes, ayah menyuruhku menjaga barang-barang bawaan (sebagaimana menggantikan tugas ibu) karena beliau akan sholat sunnah beberapa rokaat mendoakan anak bungsunya. Kebetulan aku sedang udzur, jadi kuputuskan duduk di salah satu sudut pelataran. Satu jam kemudian ayah mendatangiku, kami membaca sholawat nariyyah bersama. Berharap semoga saja tirakat kecil ini menjadi washilah dimudahkannya Nisa dalam mengerjakan.

Siangnya usai adzan dhuhur berkumandang, kami bertiga menyempatkan diri ziaroh ke maqom Syaikh Hasyim Asy'ari, Gus Dur dan keluarga. Sebelum itu, sarapan merangkap makan siang kami lakukan di warung makan tepat sisi kanan pintu belakang maqom. Semua urusan perbendaharaan dan barang-barang tetek-bengek ayah serahkan padaku, meskipun bukan pertama kali, tapi rasanya selalu ada sesuatu berbeda "oh begini ternyata tugas Ibu", sampai hal terkecil memilih tempat makan, untunglah salah satu teman di grup WA memberikan saran warung makan favoritnya di Tebuireng, aku tak perlu susah payah kebingungan memilih. 

Urusan perut kelar, kami menuju masjid pusat untuk sholat dzuhur, kebetulan masjid pesantren belum Iqomah, bungah sekali ayahku dapat jama'ah bersama dengan suasana kental pesantren.

Sekitar pukul setengah dua siang akhirnya kami kembali pulang ke Caruban. Barulah kali ini menikmati perjalanan, santai, membuka obrolan kecil sambil menikmati makanan ringan yang kubeli sebelumnya di Magetan. Ada juga insiden kecil terjadi, ban depan sisi penumpang pecah gegara melewati kubangan yang terlalu dalam. Aku dan Si Nisa menjaga mobil tentu sembari begejesan tak karuan, sedang ayah mencari tukang ganti ban. Ni'mat sekali rasanya hari itu.

Keesokan harinya kami kembali ke Magetan. Ibu selepas dari Jakarta kemudian Balikpapan, langsung mendarat di Solo, sampainya di Solo meluncur ke Madiun mengisi sebuah workshop yang entahlah aku tak paham. Itu mengapa dari seminggu sebelumnya Ibu mewanti-wantiku untuk pulang menemani Nisa tes. Sore Ibu lalu menghubungiku meminta di jemput, tawanya sungguh lepas melihat salah satu putri kembarnya datang. "Hahaa Naa, badan ibu rasanya kayak melayang". "Alhamdulillah Ibu tak keliru dengan wajahku," batinku. hihihi

Entah, seperti cepat berlalu dan tiba-tiba saja aku sudah kembali di Jogja. Ya Allah seperti inikah kebahagian dunia sebenarnya. Sungguh singkat tak terasa. Takdir nantinya memaksa perpisahan antara hamba dengan insan-insan tercinta. 

Lalu kupandangi sebentar tas berisi makanan kecil di sampingku. Ternyata hanya bekal yang dapat kubawa dari kampung, hanya bekal yang dapat kupersembahkan di kehidupan selanjutnya. 



Kawan, dunia hanya sementara, segera kumpulkan bekal sebanyak-banyaknya jika kau ingin bertemu yang tercinta di Surga.


With Tears,
Lempuyangan, May 30th, 2016, 21.00 WIB

Sabtu, 28 Mei 2016

TIPS PARKIRAN PONDOK AGAR SELALU RAPI

A. Buat garis pembatas antara shof/baris motor agar ketika diparkir lurus dan sejajar.
B. Gunakan peraturan yang jelas, mengikat dan tegas. Berikut contoh peraturan parkir Komplek R2 sesuai dg kondisi tempat yg terbilang sempit:

1. wajib rapi, menghadap satu arah yang sama
2. Dilarang parkir di luar batas putih
3. Kemiringan tidak boleh lebih dari 20°
4. Jarak antara motor 2 hasta/ 2 jengkal (agar mudah keluar)
5. Bagi yang memindahkan motor lain, wajib ditata kembali (cara mengeluarkan motor bisa dilihat di tutorial keamanan)

6. Baris pertama di isi dahulu
7. Peraturan sudah di tempel di dinding parkiran, tidak alasan untuk melanggar.
8. BAGI MOTOR YANG TERLIHAT MELANGGAR PERATURAN AKAN DIGEMBOS OLEH PENGURUS. (Pada poin ke 8, minta kerja sama sluruh pengurus dlm menggembos ban pelanggar)



C. Kunci dari sebuah peraturan adalah konsistensi pemangku kepentingan dlm memberlakukan sanksi. Jika sanksi benar2 diterapkan, maka tingkat melanggar seseorang akan rendah. (Di komplek R2 sendiri, meski hanya melewati sedikit garis putih, tetap digembos, posisi miring juga digembos apalagi salah hadap atau posisi, dan kerjasama yg baik dg pengurus lain semakin membantu jalannya peraturan. Jadi tukang gembos bukan hanya Mbah HANsip, melainkan sluruh pengurus).

Semenjak diberlakukannya peraturan tersebut (smenjak Februari, 2016) hingga sekarang parkiran tidak pernah berantakan dan santriwati mulai terbiasa hidup tertib.



TIPS UTK PENGURUS SEBELUM MENGGEMBOS BAN PELANGGAR :

1. Niatkan untuk menegakkan peraturan (maka jika ada rasa tidak tega, akan terbayang lebih besar madhorot yg timbul, sehingga mau tidak mau harus menggembos)
2. Awali dg bismillaah
3. Slama proses Gembos senantiasa lafadzkan sholawat

Mbah HANSip, R2

Minggu, 01 Mei 2016

Bertemu dengan Sang Maha Guru



Bulan ini benar-benar menguras segalanya bagiku. Terasa semester tua dengan tugas ini itu. Puncaknya minggu ini masing-masing menagih pertanggung jawabannya.

Seperti tepat kemarin, untuk pertama kalinya aku membolos mata kuliah SKI (Sejarah Kebudayaan Islam) Sabtu pagi. Alasannya mungkin tak masuk akal, mencuci. Selain sumber air di pondok sedang bermasalah (harus ngungsi dulu), rasanya memang hari Sabtulah kesempatan terbaik melakukan pekerjaa  ini. Usai dua ember pakaian kotor dipenuhi haknya, langsung bergegas persiapan ke kampus kuliah jam ke dua. Selesainya perkuliahan dah sholat dhuhur kusempatkan isi perut di warung mi ayam depan kampus. Lantas tancap gas menuju daerah Palagan untuk meet up di rumah dosen. Kebetulan aku dimintai tolong membantu penelitian anaknya yang sedang nggarap thesis Kedokteran UGM. Ahamdulillah, pulang disangoni seabrek data. Meskipun saya terkadang sanksi untuk menolak atau menerima permintaan ini (mengingat berbagai kesibukan kuliah dan mondok), tapi saya selalu berpikir, kesempatan tidak datang dua kali. Bukan masalah penelitian atau apa, ada nilai penting yang mungkin tidak saya dapat dikehidupan formal pesantren atau perkuliahan. Yakni kesempatan berbagi pengalaman lewat obrolan ringan di sela pembahasan penelitian, do'a-do'a singkat yang tak sering dosen lakukan terhadap mahasiswanya. Semisal seperti yang sering dilakukan dosenku yang satu ini, setiap melakukan percakapan lewat whatsapp Beliau selalu menyisipkan do'a kesehatan, limpahan barokah dan harapan kemudahan dalam segala urusanku. Tak hanya itu, dulu ketika dua mata kuliah diampu oleh Beliau, selain ilmu Ibu Widyarini begitu biasanya para mahasiswa memanggil, aku juga mendapat hadiah-hadiah kecil sebagai reward dan motivasi. Kalau bukan sekarang, kapan lagi kesempatan mengabdi dan membalas budi. Apalagi semenjak sistem memaksa jurusan perkuliahanku pindah fakultas, besar kemungkinan tidak diajar oleh Beliau.

Lepas pertemuan menyenangkan di Palagan, mengantar teman ke daerah Timoho (belakang kampus UIN), langsung menuju daerah ISI Jogja menjemput kembaranku yang sedang shilaturrohim di kost mbak sepupu. Kemarin rasanyaa seperti sopir Gojek yang kebanjiran orderan, wira wiri di jalan.

Tepat adzan maghrib akhirnya sampai pondok, kemudian bergegas ke masjid karena sudah tertinggal satu roka'at ternyata, sholat usai, paling ni'mat setelah wirid adalah duduk tertunduk menata semua limpahan amanah. Pikiran mulai melayang kemana-mana, proposal skripsi baru 30% padahal Senin pagi harus presentasi di mata kuliah Metopen, mengedit latar belakang proposal teman, tabulasi ratusan data penelitian, booklet beasiswa Djarum yang harus diambil, dan lain sebagainya. Malam tak mungkin ku kerjakan, ekspektasiku jadwal Sabtu malam usai diniyyah jam setengah 10, setelah itu  makan malam dari jatah pondok kemudian menyelesaikan urusan-urusan kecil.

Dan benar adanya, semua berjalan sesuai angan, akhirnya pukul setengah dua belas malam baru bisa me time. Kusempatkan me'recite' kalam ayat-ayat langit. Entahlah, mungkin hampir jam 2 dini hari aku baru terlelap.

Singkat cerita usai sholat shubuh dilaksanakan, aku kembali me time dengan The Holy Book. tak tau berapa jam kemudian, ngantuk benar-benar menyerang, sekitar pukul tujuh pagi selama setengah jam lebih aku akhirnya tidur lagi.

Tiba-tiba aku berada di ruang tamu rumah Mbah (dari Bapak) di Ngawi. Ramai sekali di sana. Tersadar sedang ada acara semacam majlisan yang diadakan oleh Bapak. Semakin dalam aku memasuki ruangan, saat kutengokkan pandangan ke kiri terlihat Habib Umar bin Hafidz sedang berbicang sembari tertawa lepas dengan Bapak. Serta merta kubungkukkan badan dan mundur ke belakang. Aku tak percaya ada tamu mulia di situ. Belum lama kekagumanku, semua pandangan tamu tetiba mengarah ke mulut pintu, datang seorang Habib Luthfi bin Yahya pada jamuan itu. Ya Robb, kedua wajah teduh nan menentramkan itu tak pernah aku lupa. Lalu pada satu kesempatan, Sang Habib berpesan padaku, hendaknya sebesar apapun amanah hidup, tugas-tugas, tetap harus dilakukan, harus dijalani. Yang terpenting telah berikhtiyar, masalah hasil Allah lah penentunya.

Semua serasa begitu nyata, di saat hati ragu terhadap kemampuan diri, Allah beri penguat lewat mimpi.

Lagi-lagi teriakan anak-anak kamar membangunkanku. Mimpi bersama Sang Maha Guru terputus hingga di situ.

Tak pikir panjang lagi, pengawal semangat saat pagi adalah mandi, maka bergegas kumenuju lantai tiga mengungsi kamar mandi, selesai tidak selesai tanggungan kukerjakan satu per satu.

Shollu 'alannabi Muhammad! :)

Krapyak, 1 Mei 2016, 11.37 WIB

Rabu, 20 April 2016

Mimpi Umroh



Hari ini sebelum terbangun oleh teriak guyonan adek-adek kamar, satu mimpi terasa amat nyata dalam tidur. Bahagia tak terbendung, semangat antusias tak terhitung, bayang Kakbah suci dan ibadah indah sungguh merekah. 

Sebuah film mimpi meperlihatkan perjalananku menuju ibadah Úmroh. Mulai dari menata pakaian dalam koper, mempesiapkan dokumen hingga perjalanan mobil menuju bandara. Bahkan bekas kerut senyuman bibir yang tak hentinya jelas teringat mengembang.

Allahumma yassirli liziarotil makkah wal madinah :'(


Senin, 04 April 2016

Mimpi Purnama



Suatu malam aku bermimpi tentang sebuah pertemuan. Hingga pagi menjelang, beberapa rekan satu kamar berkisah bahwa di tengah lelap itu aku berteriak, memanggil manggil Sang Purnama, berkali-kali..

''Purnama, Purnamaa, Purnama", sembari tanganku terangkat ke atas seperti meminta sesuatu..

Lantas kalimat berikutnya kupohon pertolong pada Sang Purnama dengan tetap terus menyebutnya, "Wahai Purnama tolong, tolong"

😢😢...ﻳﺎ ﺑﺪﺭ ﺗﻢ من ﺣﺎﺯ ﻛﻞّ ﻛﻤﻞ

Sabtu, 12 Maret 2016

Mimpi Tahlil

Kala itu tiba-tiba saja aku ditempatkan di sebuah desa nan asri. Hingar bingar kota agaknya belum tersentuh di sana. Para orang tua adalah petani yang bahagia dan sejahtera. Anak-anak kecilnya tak kalah gembira bermain kesana-kemari merayakan usia muda. Hingga suatu hari, muncul sebuah cerita misteri dari mulut ke mulut bahwa goa di sudut desa angker dan telah melenyapkan banyak korban jiwa. Hampir seluruh penduduk desa ketakutan, kecuali si bocah-bocah mungil yang terlanjur kecanduan bermain. Tak punya rasa letih, takut dan lapar. Yang penting kumpul dengan sebaya, berlari-lari, berteriak dan tertawa.

Hal yang dikhawatirkan pun tiba, segerombol bocah membawa semangat dan sumnringah menuju goa hendak petak umpet di sana. Tanpa sepengetahuan orang tua mereka, dengan suasana riang permainan dimulai. Teriakan emosi semangat penuh gelora meledak menyeruap. 

“Hoeee tangkap akuu, aku di siniii”, teriak salah seorang bocah dengan nafas terengah-engah di balik batu goa, kaos oblongnya basah kuyub akibat keringat, celana selutut yang dikenakan sudah benar-benar lusuh akibat terlalu banyak gelimpungan di tanah.

Tak disangka pintu kelam mulai terbuka, petaka menyapa, suasana serta merta berbeda dengan semula, gelap dan menakutkan! Bahak tawa dengan binaran air mata berganti luap tangisan jiwa. Sekencang mungkin anak - anak kecil berlari berhampuran keluar goa menyelamatkan diri. Sosok jin ganas terlihat ingin menangkap dan memakan mereka. 

“Ibuuuuu, bapaaaak, tolooong!!!!”

“aaaaa tolooong-toolong!!!!”

“Allaaah, astaghfirullaaah, astaghfirullaaah!!!!!”

“Bismillaaaah bismilllllaaaaah bismillaaaaah!!!!!”

“jangan makan akuuuuuuu, Ya Allaaaaah!!!!”

Spontan mulut-mulut mungil itu melontarkan semua apa yang ada di dalam pikiran.

Naas ada satu bocah laki-laki berambut cepak tertinggal di goa. Ia tak bisa melarikan diri karena kedua kakinya kadung lemas ketakutan. Menangis sekencang mungkin adalah usaha yang bisa dilakukan.

Usai berhasil melapor pada orang tua, mereka bersama buah hatinya mendatangi rumahku. Entah bagaimana asal muasalnya aku didapuk menjadi orang pintar semacam Bu Nyai kampung, tak jarang penduduk meminta saran dan do’a padaku kala ada hajat tertentu. Seperti halnya hari itu, mereka dengan tergopoh-gopoh sampai ke kediamanku dan mengutarakan permintaan do’a agar salah satu anaknya dapat selamat dari makhluk penunggu goa. Lantas aku memulai tawassul kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW, mataku terpejam, ,menajamkan pikiran pada Allah meminta bantuan. Setelah rangkaian tawassul terlirih, dzikir pun terlafadzkan.

“Allahumma sholli ‘ala Sayyidinaa Muhammad, Allahumma sholli ‘ala Sayyidinaa Muhammad, Allahumma sholli ‘ala Sayyidinaa Muhammad, ….” sholawat terus kubaca tak henti-hentinya, dalam pejaman mata terlihat anak laki-laki yang tengah berjuang keras keluar dari dunia jin tersebut. Sholawat semakin sering kubaca, semakin berat perlawanan makhluk ghaib itu terhadapku. Namun saat seperti inilah keyakinanku pada Allah malah bertambah kuat. Hatiku sedikit lega sebab sepertinya anak kecil yang menjadi korban hampir saja dapat keluar dari ruangan gelap itu. Kukerahkan seluruh energi untuk menyelamatkannya. Tinggal sedikit lagi ia dapat keluar, tiba-tiba kulihat pada sebuah bayangan ia terpelanting lagi masuk ke dalam lorong goa yang semakin dalam. Tubuhnya melemah, tangisnya tak sekencang awal tadi. Kemudian ku ganti wirid sholawat menjadi Laa ila ha illallaah.

“Laa ila ha illallaah, Laa ila ha illallaah, Laa ila ha illallaah, Laa ila ha illallaah, Laa ila ha illallaah, …” tak lama kemudian laki-laki kecil itu berhasil keluar dari goa. Berbeda ketika kuamalkan wirid lafadz sholawat, hampir satu jam belum menunjukkan hasil, sedangkan dengan kalimah Laa ila ha illallaah hanya dalam kurun waktu 5 sampai 10 menit berhasil.

Kujelaskan pada para penduduk yang hadir bahwa sang anak telah selamat, hal ini menyulut kegembiraan mereka serta berucap bersama “Alhamdulillaaaaah”.

“Aaaaah”, teriakan teman-teman satu kamar seperti akhir vokal dari lafadz alahmdulillaah terdengar sangat nyaring hingga membangunkanku dari tidur. Ternyata aku hanya bermimpi, namun entah usai mimpi tersebut muncul kekaguman betapa hebatnya lafadz Laa ilaha illallah.

Setelah dirasa cukup mengatur nafas dan mengumpulkan nyawa, aku bergegas ke kamar mandi sebelum nantinya benar-benar ramai dan antri. Pagi itu aku berencana menjenguk Mamah (Beliau adalah Mamah dari seorang kakak kelas SMA yang terpaut dua tahun namun sudah seperti Ibu kandung bagiku dan kedua saudara kembarku) yang sedang diuji dengan penyakit kanker. Untuk ke empat kalinya penyakit ganas ini bergantian menyerang Mamah, yang terakhir dokter mendiagnosa kanker telah menjalar ke selaput otak Mamah. Setiap kambuh, Mamah akan merasakan sakit yang luar biasa di kepala hingga kejang dan mata melotot serta terkadang diakhiri dengan muntah. Hal ini berlangsung  setiap 10 sampai 20 menit sekali.

“Kalo Mamah matanya melotot berarti itu Mamah pingsan, nggak sadar, kalo mata Mamah merem berarti Mamah sudah sadar,” jelas Mamah kepadaku.

Awal menjenguk Mamah, kondisi Beliau masih tergolong parah, sampai kutemui kambuh pertama kali langsung kupinta ijin ke Mamah menyentuh ubun-ubunnya sembari tawassul dan berdoa tepat di samping telinganya. Aku semakin hanyut dalam haru saat telapak kananku menyentuh kepala Mamah yang hanya ditumbuhi rambut satu sentimeter saja akibat efek kemo terapi. Di tengah proses berdo’a, tiba-tiba teringat mimpi Laa ila ha illallah, lalu coba kuucapkan berkali-kali kalimah tersebut, beberapa detik kemudian dengah terengah-engah Mamah berkata padaku “Alhamdulillah nak, Mamah sudah sadar” lalu wanita penuh semangat itu mencium kedua pipiku. Sebelumnya kutiup botol berisi air mineral milik Mamah beberapa kali berharap fadhilah dari munajat tadi dapat tersalur.

Mamah bersyukur biasanya disaat kambuh pasti muntah-muntah dan pingsan dengan waktu lama, namun kali ini tidak. Kemarin lusa, terakhir aku menjenguk ke Solo, Beliau bahkan sudah tidak kambuh sama sekali. Semuanya adalah atas kehendakNya, kewajiban kita yakni berusaha dan berdo’a meminta hanya kepada Allah, sebab Laa ila ha illallah, Tiadak Tuhan Selain Allah.


Krapyak, 8th March 2016, 11:06 am