“Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah...” Qatâdah, Tafsîr al-Qurthûbî

Sabtu, 12 Maret 2016

Mimpi Tahlil

Kala itu tiba-tiba saja aku ditempatkan di sebuah desa nan asri. Hingar bingar kota agaknya belum tersentuh di sana. Para orang tua adalah petani yang bahagia dan sejahtera. Anak-anak kecilnya tak kalah gembira bermain kesana-kemari merayakan usia muda. Hingga suatu hari, muncul sebuah cerita misteri dari mulut ke mulut bahwa goa di sudut desa angker dan telah melenyapkan banyak korban jiwa. Hampir seluruh penduduk desa ketakutan, kecuali si bocah-bocah mungil yang terlanjur kecanduan bermain. Tak punya rasa letih, takut dan lapar. Yang penting kumpul dengan sebaya, berlari-lari, berteriak dan tertawa.

Hal yang dikhawatirkan pun tiba, segerombol bocah membawa semangat dan sumnringah menuju goa hendak petak umpet di sana. Tanpa sepengetahuan orang tua mereka, dengan suasana riang permainan dimulai. Teriakan emosi semangat penuh gelora meledak menyeruap. 

“Hoeee tangkap akuu, aku di siniii”, teriak salah seorang bocah dengan nafas terengah-engah di balik batu goa, kaos oblongnya basah kuyub akibat keringat, celana selutut yang dikenakan sudah benar-benar lusuh akibat terlalu banyak gelimpungan di tanah.

Tak disangka pintu kelam mulai terbuka, petaka menyapa, suasana serta merta berbeda dengan semula, gelap dan menakutkan! Bahak tawa dengan binaran air mata berganti luap tangisan jiwa. Sekencang mungkin anak - anak kecil berlari berhampuran keluar goa menyelamatkan diri. Sosok jin ganas terlihat ingin menangkap dan memakan mereka. 

“Ibuuuuu, bapaaaak, tolooong!!!!”

“aaaaa tolooong-toolong!!!!”

“Allaaah, astaghfirullaaah, astaghfirullaaah!!!!!”

“Bismillaaaah bismilllllaaaaah bismillaaaaah!!!!!”

“jangan makan akuuuuuuu, Ya Allaaaaah!!!!”

Spontan mulut-mulut mungil itu melontarkan semua apa yang ada di dalam pikiran.

Naas ada satu bocah laki-laki berambut cepak tertinggal di goa. Ia tak bisa melarikan diri karena kedua kakinya kadung lemas ketakutan. Menangis sekencang mungkin adalah usaha yang bisa dilakukan.

Usai berhasil melapor pada orang tua, mereka bersama buah hatinya mendatangi rumahku. Entah bagaimana asal muasalnya aku didapuk menjadi orang pintar semacam Bu Nyai kampung, tak jarang penduduk meminta saran dan do’a padaku kala ada hajat tertentu. Seperti halnya hari itu, mereka dengan tergopoh-gopoh sampai ke kediamanku dan mengutarakan permintaan do’a agar salah satu anaknya dapat selamat dari makhluk penunggu goa. Lantas aku memulai tawassul kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW, mataku terpejam, ,menajamkan pikiran pada Allah meminta bantuan. Setelah rangkaian tawassul terlirih, dzikir pun terlafadzkan.

“Allahumma sholli ‘ala Sayyidinaa Muhammad, Allahumma sholli ‘ala Sayyidinaa Muhammad, Allahumma sholli ‘ala Sayyidinaa Muhammad, ….” sholawat terus kubaca tak henti-hentinya, dalam pejaman mata terlihat anak laki-laki yang tengah berjuang keras keluar dari dunia jin tersebut. Sholawat semakin sering kubaca, semakin berat perlawanan makhluk ghaib itu terhadapku. Namun saat seperti inilah keyakinanku pada Allah malah bertambah kuat. Hatiku sedikit lega sebab sepertinya anak kecil yang menjadi korban hampir saja dapat keluar dari ruangan gelap itu. Kukerahkan seluruh energi untuk menyelamatkannya. Tinggal sedikit lagi ia dapat keluar, tiba-tiba kulihat pada sebuah bayangan ia terpelanting lagi masuk ke dalam lorong goa yang semakin dalam. Tubuhnya melemah, tangisnya tak sekencang awal tadi. Kemudian ku ganti wirid sholawat menjadi Laa ila ha illallaah.

“Laa ila ha illallaah, Laa ila ha illallaah, Laa ila ha illallaah, Laa ila ha illallaah, Laa ila ha illallaah, …” tak lama kemudian laki-laki kecil itu berhasil keluar dari goa. Berbeda ketika kuamalkan wirid lafadz sholawat, hampir satu jam belum menunjukkan hasil, sedangkan dengan kalimah Laa ila ha illallaah hanya dalam kurun waktu 5 sampai 10 menit berhasil.

Kujelaskan pada para penduduk yang hadir bahwa sang anak telah selamat, hal ini menyulut kegembiraan mereka serta berucap bersama “Alhamdulillaaaaah”.

“Aaaaah”, teriakan teman-teman satu kamar seperti akhir vokal dari lafadz alahmdulillaah terdengar sangat nyaring hingga membangunkanku dari tidur. Ternyata aku hanya bermimpi, namun entah usai mimpi tersebut muncul kekaguman betapa hebatnya lafadz Laa ilaha illallah.

Setelah dirasa cukup mengatur nafas dan mengumpulkan nyawa, aku bergegas ke kamar mandi sebelum nantinya benar-benar ramai dan antri. Pagi itu aku berencana menjenguk Mamah (Beliau adalah Mamah dari seorang kakak kelas SMA yang terpaut dua tahun namun sudah seperti Ibu kandung bagiku dan kedua saudara kembarku) yang sedang diuji dengan penyakit kanker. Untuk ke empat kalinya penyakit ganas ini bergantian menyerang Mamah, yang terakhir dokter mendiagnosa kanker telah menjalar ke selaput otak Mamah. Setiap kambuh, Mamah akan merasakan sakit yang luar biasa di kepala hingga kejang dan mata melotot serta terkadang diakhiri dengan muntah. Hal ini berlangsung  setiap 10 sampai 20 menit sekali.

“Kalo Mamah matanya melotot berarti itu Mamah pingsan, nggak sadar, kalo mata Mamah merem berarti Mamah sudah sadar,” jelas Mamah kepadaku.

Awal menjenguk Mamah, kondisi Beliau masih tergolong parah, sampai kutemui kambuh pertama kali langsung kupinta ijin ke Mamah menyentuh ubun-ubunnya sembari tawassul dan berdoa tepat di samping telinganya. Aku semakin hanyut dalam haru saat telapak kananku menyentuh kepala Mamah yang hanya ditumbuhi rambut satu sentimeter saja akibat efek kemo terapi. Di tengah proses berdo’a, tiba-tiba teringat mimpi Laa ila ha illallah, lalu coba kuucapkan berkali-kali kalimah tersebut, beberapa detik kemudian dengah terengah-engah Mamah berkata padaku “Alhamdulillah nak, Mamah sudah sadar” lalu wanita penuh semangat itu mencium kedua pipiku. Sebelumnya kutiup botol berisi air mineral milik Mamah beberapa kali berharap fadhilah dari munajat tadi dapat tersalur.

Mamah bersyukur biasanya disaat kambuh pasti muntah-muntah dan pingsan dengan waktu lama, namun kali ini tidak. Kemarin lusa, terakhir aku menjenguk ke Solo, Beliau bahkan sudah tidak kambuh sama sekali. Semuanya adalah atas kehendakNya, kewajiban kita yakni berusaha dan berdo’a meminta hanya kepada Allah, sebab Laa ila ha illallah, Tiadak Tuhan Selain Allah.


Krapyak, 8th March 2016, 11:06 am