“Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah...” Qatâdah, Tafsîr al-Qurthûbî

Selasa, 14 Juni 2016

Dongeng Rindu



Pertemuan pertama kita sungguh mengesankan. Engkau tertawa renyah melihat kenyataan ada kembar tiga ternyata di dunia. Itu aku dan kedua saudara kembarku.

Gaya bahasamu sungguh cerdik, hingga kami tak canggung berbicara blak-blakan kala itu sampai seterusnya. Sepertinya memang tak pantas kita di anggap sperti ibu dan anak, kita adalah teman sepermainan, Mah.

Mamah, begitu biasa aku dan kedua saudara kembarku memanggil Beliau. Ia adalah wanita periang yang sungguh penuh semangat. Kami adalah saksi ketika Mamah masih awal terkena kanker, kami adalah saksi ketika Mamah masih sehat, bugar raganya. Kami adalah saksi ketika Mamah berjuang sekuat tenaga melawan penyakitnya. Kami adalah saksi bahwa setelah pernikahannya, Mamah merelakan harta, tenaga, waktu dan kasih sayangnya untuk sesama. Dua gadis Jawa, Mamah bawa ke rumah, mereke disekolahkan dari TK hingga sarjana. Kami adalah saksi bahwa Mamah sangat bahagia hidup sederhana hanya untuk orang lain lega dan bisa tertawa. 

Kebiasaan Mamah setiap aku dan kedua kembaranku pamit pulang adalah mencium mesra pipi kiri dan kanan kami bak anak kandungnya sendiri. Semua makanan kesukaan kami, tanpa diminta Mamah  selalu beri. Ketika lama tak sowan kesinggasananya, Mamah akan menelpon kami satu per satu. Sampai satu waktu, Ibuku (kandung) pernah cemburu karena hal ini. Bukan hanya itu, putri semata wayang Mamah juga pernah ikut cemburu tanpa alasan. 

Tak terasa lepas kau tunaikan ibadah Haji, lepas kau ditinggal Papah pergi, kondisimu semakin memburuk. Tapi heranku, shodaqoh dan keceriaanmu tak pernah padam meski dalam keadaan terpuruk.

Berkali-kali kau minta maaf karena aku pernah membuang air kencing di pispotmu, berkali-kali kau minta maaf karena aku telah menyeka mulut bekas muntah yang tak henti itu, berkali-kali kau minta maaf karena aku memijatimu, berkali-kali kau minta maaf saat kubawa teman-teman dekatku berkunjung menjengukmu sambil tawassul bersama mendoakanmu. Aah, rupanya sakit telah melunturkan sedikit ketidaksetiakawananmu. Kita kan friend, tak perlu lah kau minta maaf. Kami bungah sekali bisa seperti ini, Mah.

Lantas Rabu menjelang siang aku bagai disambar petir, waktu di saat aku harus menyeka air mataku, waktu di saat aku harus lemas tak nafsu, waktu di saat Malaikat Pencabut Nyawa dengan lembut menjemputmu, waktu di saat akhirnya aku rela karena ada senyuman lebar di akhir hayatmu, waktu di saat aku tak tega melihat tubuh kurus ktika memandikan jasadmu lalu kualihkan dengan senantiasa melihat wajah sumringahmu.

Mamah, sungguh aku banyak belajar kehidupan darimu. Beragama yang sederhana namun memberi kebermanfaatan kepada lainnya adalah wujud kemilau Islam yang sejatinya tlah diajarkan Rosul sejak dahulu.



Krapyak, 12 Juni 2015, 01.51 WIB

Sabtu, 11 Juni 2016

Pertemuan Cinta



Dua bulan yang lalu tepatnya Rojab 1437 H saat mendengar kabar bahwa engkau akan hadir, hatiku sungguh berdebar. Sosok terkasih yang puluhan tahun senantiasa menjadi dambaan akhirnya akan kembali lagi. Rasanya benar-benar sungguh tak sabar. Mulai detik itu pula do'a pinta pertemuan denganmu terus tercurah pada Sang Maha Bertitah.

Entah, diri ini sampai salah tingkah, berdendang, bertutur lagu dengan bumbuan lirik namamu berkali-kali, percis laku ceria seorang bocah. Bibir tak hentinya tersenyum, tertawa mengenang bayangan indah. Aku akan segera melepas rindu yang selama ini terus membuncah.

Ah apalah... Apalah... Gelora rasa tak dapat terobati kecuali dapat bersua dengan yang ditunggu. Ya, tak ada azimat rindu kecuali dengan bertemu. Aku yakin engkau pun juga merasa begitu. Hanya saja Allah mengajarkan kita untuk bersabar dahulu, aku harus rela menunggu tersingkap nyata cintamu. Tak apa sayang, ini hanya masalah waktu.

Mentari silih berganti terbit tenggelam. Rembulan masih saja selalu genit muncul merayu malam. Akhirnya Sya'ban pun datang bagai sumber cahaya dalam temaram. Begitu menentramkan, membawa sirat sebulan lagi rinduku terobati dengan kekasih hati.

Alamajaang, pintar sekali engkau menggodaku dalam pikiran. Menghantui setiap hembus dan kedipan. Terkadang lembayung rasa memuncak tak tertahan. I really miss you.

Lantas hari yang dinanti tiba. Maghrib sebelum aku menemuimu, kurelakan menusuri lorong-lorong pesantren berharap ada kamar mandi kosong untukku. Sengaja waktu mandi kuakhirkan, supaya segar kulitku, semerbak wangi tubuh dari sabun yang kukenakan tetap awet hingga tibanya bersua denganmu. Tak ketinggalan rambut yang baru saja kupotong beberapa hari lalu kucuci bersih, minyak wangi merk Posh tersemprot di sela-sela sudut pakaianku yang sudah rapih. Aku telah siap wahai Kekasih.

Sesuai perjanjian, kita bertemu di masjid pusat selatan pondok sebelum sholat isya'. Engkau bilang padaku akan ada seseorang yang memberitahuku jika kau datang.

Dengan rasa hati yang tak karuan, aku berjalan menuju tempat pertemuan. Kupilih duduk di shof kedua jama'ah putri, menunggumu sembari memandangi lampu kristal megah dekat ruang Sang Imam. Kemilau anggun serta kerlip cahayanya seolah-olah menggambarkan bahagia jiwaku sungguh tak karuan. Beberapa menit kemudian, lepas dua roka'at sholat kulaksanakan, seseorang membawa berita bahwa engkau tlah datang.

Benar saja, jantungku terasa berhenti berdegup. Hadirmu sungguh mencerahkan sanubariku yang sempat redup. Akhirnya Allah mempertemukan kita agar bunga hidup mekar lagi setelah sebelumnya sempat kuncup.

Selamat datang cahayaku yang penuh kemuliaan.
Selamat datang sosok yang penuh ampunan serta dekat dengan Al-Qur'an.

Oh Romadhon, engkau telah erat dalam pelukan. :'(


Krapyak, 7 Romadhon 1437 H

Sabtu, 04 Juni 2016

Skak Mat !

Malam itu gelap menderu pekat seakan sirna oleh lampu berputar sebuah panggung salah satu majlis diba'iyyah barat pesantren. Akhirus sanah menjadi momen istimewa sehingga acara lebih meriah dari biasanya.

Kebetulan sekali hari itu juga diniyyah sudah mulai libur, maka serta merta lepas jama'ah sholat isya' di masjid, santriwati sudah ribut berangkat lebih awal. Iming-iming penampilan grup qosidah Nida Ria dari Semarang pun semakin membakar semangat.

Aku sendiri bersama teman-teman satu kamar sepakat untuk berangkat setelah makan malam. Kami tidak sesemangat santriwati lainnya, yang penting dapat kursi. Sebab jika datang lebih awal, takutnya acara belum mulai dan perut masih kosong terbengkalai.

Sedari sore sudah kukenakan rok jin biru pemberian Ibu oleh-oleh dari Bandung satu tahun yang lalu, kaos lapangan dengan warna senada jaman jadi Bantara Pramuka saat SMA lalu. Agar lebih sopan, maka ku cover dengan jas coklat, kemudian kupilih paduan jilbab warna hitam. Tas kecil berisi kitab Diba' masyhur gubahan Imam Wajihuddin ‘Abdur Rahman, note book biru gelap beserta pulpennya dan tak ketinggalan kipas kain pemberian salah seorang teman menjadi bekal setiap kali pergi ke majlis tersebut.

Sampainya di sana, kami disambut dengan suguhan roti sederhana khas pesantren yang biasa dijual di pasar kisaran harga seribu rupiah. Untuk sekedar menyejukkan kerongkongan, segelas air mineral kemasan juga ikut disuguhkan.

Sesuai dugaan, tamu membludak, perkiraaanku, baris depan adalah hadirin dari kalangan dzurriyyah Pesantren Krapyak, kursi agak tengah adalah Ibu-Ibu yang didominasi oleh kalangan santri, paling belakang jelas campuran warga sekitar, santri korban antri, dan tamu dari luar daerah. Akhirnya barisan kursi depan layar LCD menjadi pilihan kami. 


Memang panggung tak begitu terlihat jelas, namun video yang ditayangkan lewat proyektor ditambah kemegahan suara dari sound system itu sudah cukup memuaskan hati. 

Agak aneh rasanya, sebab biasanya ada saudara kembarku Rahma di sana. Baru kali ini absen tak hadir, mungkin ia sedang ada target rahasia. Tibalah satu waktu saat aku memandang lamat layar pantulan LCD, ada seorang wanita tak asing terpampang di sana, yang terlihat hanya bagian separuh kepala, dari atas hingga hidung saja. Aku jawil Si Atun adik sekamar paling imajiner, "Tun, Tun, itu Rahma, itu Rahma, berarti dia datang ke sini." Lantas kudongakkan pandangan mencari gadis jilbab hitam sesuai tayangan di baris agak depan. 

"Kok nggak ada ya Tun," bingungku.

Masih seperti orang penasaran, kupandang lagi layar, dan dugaan gadis itu adalah Rahma masih tershoot jelas di sudut paling bawah. Wajahnya sama sepertiku, kebingungan. Serta merta segalanya sirna bak petir menyambar di tengah cuaca cerah. Baru kusadari tak jauh di depanku seorang laki-laki membawa camera video mengarahkan bidikannya padaku. Saat kulihat layar kembali, tayangan semakin jelas, tergambar utuh wajah gadis berjilbab hitam yang slama ini membuatku penasaran. Ternyata bukan Rahma, bukan saudara kembarku yang kucari selama beberapa menit lalu, ternyata dia adalah aku!!

Yaa Bashiiir, Engkaulah sebaik-baik Penglihat, banyak insan yang keliru membedakan hamba dengan kedua saudara kembar hamba, mulai dari teman-teman bahkan diri hamba sendiri, hingga keluarga dekat. Sungguh Engkaulah sebaik-baik Penglihat.


Krapyak, June 4th, 2016, 6.40 am

Kamis, 02 Juni 2016

Terima kasih tlah mengajariku senyum, bahagia apa adanya, menerima kehidupan yang sesungguhnya, serta menyulam ketulusan tiada kira.

Pertemuan singkat itu benar-benar telah mengubah hidupku. Semoga ada takdir kita dapat menikmati ketinggian bersama.

Aku rindu ~