ADEN,
kami semua sayang padamu. Namun, Allah SWT lebih lebih sayangnya
kepadamu A’den. Sehingga kau dipanggilnya dengan begitu cepat.
ADEN, ragamu memang sudah tidak ada di dunia, namun karyamu tak pernah mati, kan kekal abadi di hati kami…
Terimakasih untuk kenangan2 indah yang tak terlupakan..
Terimakasih untuk karya-karyamu yang inspiratif..
Selamat jalan ADEN, “SuperDen”, Sang Maestro…
30 Desember 2013
*******************************************************************
Perkenalkan. Namaku Deden. Orang-orang dekat
memanggilku Aden. Alias Aa Deden. Aden lebih aku sukai, soalnya lebih
keren dibanding nama asliku hehe..
Aku lahir hari selasa, 24 Juli tahun 79. Menurut riwayat, aku dilahirkan di rumah sakit Sariningsih Bandung. Rumah sakit bersalin keluarga para tentara, karena ayahku seorang ABRI. Aku terlahir sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Ibuku seorang lulusan SD yang pintar menjahit. Ayahku perantau dari Sumedang dan meninggal saat usiaku 2 tahun.
Sejak kecil aku dikaruniai bakat seni. Seni menyanyi, seni melukis, seni bicara, seni menulis, seni menari, dan seni berakting. Padahal orangtuaku jauh dari yang namanya bakat seni.
Jika mamaku berkaraoke, tutuplah telingamu. Karena suaranya parau dan nadanya kacau. Menurut mama, ayah juga tak punya darah seni.
Kamu tahu dari siapa? Darah seniku turun dari bibiku. Bibi Ida namanya. Sejak kecil, sejak ia masih gadis, aku sering diasuhnya. Seakan-akan aku ini anaknya. Ia pintar menari jaipongan, dan juga pandai menyanyi dangdut. Darah seni itu akhirnya menular kepadaku.
Aku bersyukur karena hidup dalam keluarga yang serba pas-pasan. Keluarga dengan golongan ekonomi kelas bawah. Rumah kami bertitel RSS, rumah sangat sederhana. Dulu sebelum rumah kecil itu diperluas bangunannya, kami harus berbagi tempat untuk tidur. Bertumpuk-tumpuk di satu ruangan. Dengan penghasilan mama yang seadanya, membuatku rela berjuang untuk bisa sekolah sampai sarjana. Rela jadi siswa dengan panggilan TU terbanyak, karena iuran sekolahnya belum dibayar-bayar. Rela bekerja jadi buruh toko di Timezone untuk mengumpulkan uang demi masuk kuliahan. Rela jadi guru les privat ke rumah-rumah agar bisa bayar uang semesteran. Aku berterima kasih karena semua itu membuat aku mengerti apa arti berjuang. Apa makna bekerja keras. Karena semua itu membuat aku menjadi orang tangguh. Orang yang percaya bahwa semuanya tak ada yang tak mungkin.
Hidup itu ibarat petualangan. Kita tidak tahu besok apa akan menangis ataukah tertawa. Menangis atau tertawa bagiku semua adalah keindahan. Seindah alam raya. Kenapa terasa indah? Karena aku menikmati semuanya, menikmati kehidupanku. Jika orang merasa bahagia oleh hasil hidupnya. Aku justru bahagia karena menikmati proses hidupku.
Bagiku hidup adalah berkarya. Sebab petualangan perlu dicetak menjadi karya. Meski itu sedang menangis atau tertawa. Semua menjadi sebuah karya. Sesuatu yang bisa dimanfaatkan olehku dan oleh orang lain. Selagi Tuhan masih memberiku waktu, berarti selama itu pula aku akan terus berkarya. Dan jika aku mati nanti, biarkan karya-karya itu menjadi warisan berharga generasi selanjutnya.
Aku lahir hari selasa, 24 Juli tahun 79. Menurut riwayat, aku dilahirkan di rumah sakit Sariningsih Bandung. Rumah sakit bersalin keluarga para tentara, karena ayahku seorang ABRI. Aku terlahir sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Ibuku seorang lulusan SD yang pintar menjahit. Ayahku perantau dari Sumedang dan meninggal saat usiaku 2 tahun.
Sejak kecil aku dikaruniai bakat seni. Seni menyanyi, seni melukis, seni bicara, seni menulis, seni menari, dan seni berakting. Padahal orangtuaku jauh dari yang namanya bakat seni.
Jika mamaku berkaraoke, tutuplah telingamu. Karena suaranya parau dan nadanya kacau. Menurut mama, ayah juga tak punya darah seni.
Kamu tahu dari siapa? Darah seniku turun dari bibiku. Bibi Ida namanya. Sejak kecil, sejak ia masih gadis, aku sering diasuhnya. Seakan-akan aku ini anaknya. Ia pintar menari jaipongan, dan juga pandai menyanyi dangdut. Darah seni itu akhirnya menular kepadaku.
Aku bersyukur karena hidup dalam keluarga yang serba pas-pasan. Keluarga dengan golongan ekonomi kelas bawah. Rumah kami bertitel RSS, rumah sangat sederhana. Dulu sebelum rumah kecil itu diperluas bangunannya, kami harus berbagi tempat untuk tidur. Bertumpuk-tumpuk di satu ruangan. Dengan penghasilan mama yang seadanya, membuatku rela berjuang untuk bisa sekolah sampai sarjana. Rela jadi siswa dengan panggilan TU terbanyak, karena iuran sekolahnya belum dibayar-bayar. Rela bekerja jadi buruh toko di Timezone untuk mengumpulkan uang demi masuk kuliahan. Rela jadi guru les privat ke rumah-rumah agar bisa bayar uang semesteran. Aku berterima kasih karena semua itu membuat aku mengerti apa arti berjuang. Apa makna bekerja keras. Karena semua itu membuat aku menjadi orang tangguh. Orang yang percaya bahwa semuanya tak ada yang tak mungkin.
Hidup itu ibarat petualangan. Kita tidak tahu besok apa akan menangis ataukah tertawa. Menangis atau tertawa bagiku semua adalah keindahan. Seindah alam raya. Kenapa terasa indah? Karena aku menikmati semuanya, menikmati kehidupanku. Jika orang merasa bahagia oleh hasil hidupnya. Aku justru bahagia karena menikmati proses hidupku.
Bagiku hidup adalah berkarya. Sebab petualangan perlu dicetak menjadi karya. Meski itu sedang menangis atau tertawa. Semua menjadi sebuah karya. Sesuatu yang bisa dimanfaatkan olehku dan oleh orang lain. Selagi Tuhan masih memberiku waktu, berarti selama itu pula aku akan terus berkarya. Dan jika aku mati nanti, biarkan karya-karya itu menjadi warisan berharga generasi selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar