Panatskah Hamba yang hina ini mendapat ni’mat sebesar
ini Yaa Rabb…
Ramadhan tahun ini kuawali di kampung halaman, di
sebuah desa nan asri, Banjarmlati, Magetan. Saut-sautan pujian anak-anak kecil
meramaikan suasana Desa yang sebenarnya sepi. Bukan hanya itu, diam-diam Aku
meresapi setiap bait pujian yang terdengar jelas dari masjid yang terletak
dekat dari rumahku. Serasa kembali ke masa penyebaran Islam jamannya Mbah
Hasyim Asy’ari.
Setiap perjalanan menuju masjid, sesekali kupandangi
langit yang begitu megah penuh gemintang. Ya Allah, betapa indah langit
Ramadhan-Mu. Suasana bertambah haru dan khusyu’ ketika shalat jama’ah dimulai.
Suara imam seorang hafidz Qur’an itu begitu menyejukkan, Aku pun menangis.
Sama spesialnya seperti Ramadhan hari pertama dan
kedua, Ramadhan hari ketiga ini kulalui penuh khusyu’ pula. Namun ada sedikit
perbedaan ketika shalat tarawih dengan malam sebelumnya, jika malam sebelumnya
setelah bacaan Al-Fatihah Aku membaca surah sesuai yang dilafadzkan Sang Imam,
pada malam ketiga tarowih ini Aku membaca surah Al-Qadr. Tiap rakaatnya
kupejamkan mata, kubaca surah mulia ini penuh penghayatan, kubayangkan langit
malam yang indah, lebih indah dari seribu bulan. Tak terasa shalat tarawih pun
usai. Setelah berjabat tangan dengan jama’ah putri, Aku dan Mbak Nur (saudara
jauh yang sekarang menemani adikku di rumah) tinggal di masjid untuk tadarus.
Tadarus merupakan budaya islam di Indonesia ketika bulan Ramadhan tiba. Usai
shalat sunnah tarawih dan witir, masyarakat saling bersaut-sautan antar masjid
untuk membaca Al-Qur’an secara bergilir dengan pengeras suara. Dari usia balita
hingga dewasa ada di sana. Tujuannya untuk menghidupkan malam Ramadhan dengan
kebaikan sekaligus mengajak umat muslim untuk merauk pahala lewat bacaan
Al-Qur’an mulia. Sebab terkadang ada yang malas membaca Al-Qur’an ketika di
rumah, namun setelah di masjid dan memiliki banyak teman, semangat itu muncul
seketika. Biasanya ini dialami oleh usia kanak-kanak.
Sebuah meja berbentuk bulat, lengkap Al-Qur’an dan mic
telah siap, Mbak Nur mendapat giliran pertama, kemudian si kecil dengan mukena
hijaunya (Aku belum tau siapa namanya), kemudian setelah itu giliranku.
Beberapa menit kemudian kuhentikan bacaan Qur’anku dari speaker yang terdengar
hingga penjuru desa itu, lantas kuberikan mic pada peserta lainnya dengan
tujuan memberi kesempatan yang lain umtuk membaca. Biasanya setelah Aku dan
Mbak Nur mendapat giliran, kami langsung pulang ke rumah, namun malam itu(usai
giliranku membaca) kulihat Mbak Nur masih khusyu’ membaca amalan Dala’il dari
Abahnya semasa mondok dulu. Sambil menunggu, akhirnya kuputuskan untuk membuka
mushaf pribadiku dan membaca lanjutan ayat yang telah kumulai dari tanggal 1
Ramadhan kemarin. Sekitar lima lembar aku membaca Al-Qur’an, Mbak Nur
mengajakku pulang, “De kayo balik”. Beberapa menit kemudian, usai merampungkan
ayat yang kubaca, aku menjawab “Ayo mbak”.
Sampai rumah terlihat sepi taka da orang, hanya ada
ibuku yang sedari tadi di depan televisi merasa kesepian karena tak bias ikut
shalat jama’ah. Ternyata adikku Nisa sedang keluar bersama Bapak mencari bakso,
sebab sedari kemarin cita-citanya makan bakso belum tercapai.
Sekitar pukul 23.00 lebih, akhirnya rumah benar-benar
sepi. Semua tidur di kamar masing-masing. Aku sendiri kemudian menuju kamar Dek
Nisa dekat dengan ruang shalat, saat kubuka pintu, kulihat Mbak Nur sudah
tertidur pulas. Kubaringkan tubuhku di sampingnya, sebelum kupejamkan mata,
kusempatkan berdo’a kepada Allah memohon beberapa hajat untukku dan untuk
orang-orang yang kucinta. Ramadhan kali ini memberiku kekuatan untuk selalu
berdo’a dan meminta segala keinginan hati.
Tiba-tiba aku telah berada di sebuah jalan yang taka
sing, hamper mirip jalan yang terletak di depan rumahku yang biasa kulalui saat
akan pergi ke masjid, saat itu terjadi pada malam hari, lalu kudongakkan
kepalaku, berkali-kali kuucap kalimah thayyibah, kulihat langit malam saat itu dipenuhi
lafadz Allah bercahaya putih tersebar di seluruh sudut langit. Saat itu lafadz
Allah bagaikan pengganti bintang, langit hanya di penuhi oleh asma-Nya. Aku
terharu, senang, bahagia, bersyukur, hanya ada Aku dan Allah, serasa Allah
sedang mengajakku berbicara lewat kekuasaan-Nya di langit itu. Aku
mondar-mandir sambil terus melihat ke arah langit. Aku tak ingin melewati
peristiwa besar ini. Lafadz yang tersusun dari huruf alif, lam jalalah dan ha’
itu jelas terbingkai dalam rangkaian cahaya berlian yang tersebar di seluruh
penjuru langit. Ya Allaaah….
“Han, tangi Nduk, sahur” (Han, bangun nduk, sahur),
suara ibuku membangunkanku. Segera kumenuju kamar mandi untuk bersih-bersih dan
wudhu. Kemudian kulaksanakan shalat tahajjud 3x salam dan pergi ke ruang makan
untuk sahur.
Waktu terasa cepat berjalan, beberapa menit kurebahkan
tubuh di atas kasur sembari mengunggu adzan, adzan shubuh yang ditunggu pun
berkumandang. “Nduuuk, wes adzan, ndang neng masjid” (Nduuuk, sudah adzan,
cepat ke masjid), meskipun ibuku tidak berpuasa, Beliau tetap bangun dan
memastikan anak-anaknya khusunya untuk adikku paling kecil, Si Nisa pergi ke
masjid. Setelah siap, kulangkahkan kaki menuju masjid, seperti biasa kulihat
langit gelap yang ternyata masih dihiasi bintang. Tetiba kuteringat sesuatu,
mimpiku semalam! Warna biru kehitam-hitaman langit shubuh tadi, sama persis
dengan yang ada di mimpi, yang membedakan hanyalah lafadz Allah yang tersebar
dengan sinar tak biasa, lafadz tersebut memiliki sinar seperti berlian yang
tersusun kecil-kecil membentuk asma Allah.
Rabb… segala puji bagi-Mu atas ni’mat yang besar ini.
Ramadhan-Mu benar-benar merangkul hati.
Magetan, 1 Juli 2014
Alhamdulillah 'ala kulli hal wa ni'mah
BalasHapuslangit malam memang indah ^^
BalasHapusalhamdulillaah..
BalasHapus