Magetan, 29 Romadhon 1434 H
menara masjid Agung Baitussalam Magetan
"Besok i'tikaf di masjid lagi. Kamu nggak iri to sama mbah-mbah. Bayangkan saat malam di bulan romadhon para malaikat berjubel turun mencatat amal kebaikan manusia. Turun berjubel, banyak malaikat. Rugi nggak sholat malam."
Malam ini tidak seperti biasa aku dan seluruh saudaraku sholat 'isya' dan tarowih di masjid Al-Muqorrobin. Masjid dimana tempat ayahku setiap hari (khusus bulan romadhon) mengimami. Sebab biasanya kami sholat di masjid dekat rumah.
Mobil telah terpakir di samping teras depan. Usai ganti baju, kami menuju mobil mengatur posisi duduk. Ini malam terakhir tarowih, jadi sekali-kali mencari suasana masjid yang berbeda tak apa, pikirku.
Sampai di tempat tujuan, terlihat jama'ah telah memenuhi baris demi baris shof sholat. Kami berlari kecil sedikit memburu waktu. Saat ayahku tiba, sang muadzin menghentikan pujiannya (sholawat) dan segera melntunkan iqomah. Sholat pun dimulai.
Yang berbeda dari sholat di masjid-masjid sebelumnya adalah sholat witir di masjid Al-Muqorrobin langsung tiga roka'at dengan qunut diakhir roka'at.
Setelah selesai sholat tarowih kami membeli martabak telur tak jauh dari tempat sholat. Membeli makanan di luar, kemudian dimakan bersama-sama di rumah adalah salah satu ritual kami untuk mempererat tali keharmonisan keluarga.
Dalam perjalanan salah seorang saudaraku nyeletuk, "eh sesuk malam ganjil yo?" (eh besuk malam ganjil ya?). Dengan wajah teduhnya ayahku berkata, "besok i'tikaf di masjid lagi. Kamu nggak iri to sama mbah-mbah. Bayangkan saat malam di bulan romadhon para malaikat berjubel turun mencatat amal kebaikan manusia. Turun berjubel, banyak malaikat. Rugi nggak sholat malam". Terlihat seluruh putrinya diam menyimak, termasuk adiiku yang paling kecil.
****
Tok-tok, bangun.. bangun.. lailatul qodr", hanya enam katayang terdengar dari bibir ayahku ketika membangunkanku pukul 02.00 pagi. Entah itu malam lailatul qodr atau bukan, namun itulah kata-kata favorit ayahku saat membangunkan putri-putrinya, khususnya bangun malam di bulan romadhon ini. Sebelum tidur sudah kuniatkan mengikuti ayah sholat malam dan i'tikaf di masjid dekat rumah. Seperti malam-malam sebelumnya ibadah 1/3malam di masjid membuatku lebih khusyu' dan tenang. Bagian paling kusenangi adalah ketika ayahku memimpin do'a lamaa sekali, tiap do'a yang diucapkan diulang-ulang hingga tiga kali. Bahkan dengan gaya fashih dan syahdunya, beliau mampu membuatku larut dalam do'anya, tak terasa isak tangis pecah merekah indah.
Saat kubuka mata, betapa tersentaknya diriku, jam dinding dengan ukiran kaligrafi berwarna keemasan di sudut kamarku telah menunjukkan puluk 02.45 WIB. Ya Allah, aku tertidur, pasti sholat malam di masjid akan segera usai, sesalku. Tak mau membuang-buang waktu, aku segera menuju ke kamar mandi yang berada di kamar ibuku. Sengaja kupilih kamar mandi itu supaya dinginnya air tidak terlalu menusuk tubuhku, karena hanya di kamar mandi inilah yang terpasang pemanas air. Kunyalakan kran air, dan keluarlah titik-titik air dari shower berwarna perak menyala. Kupejamkan mata sambil menikmati hangatnya air dari pemanas buatan itu. Rasanya seperti di antara hujan, menyenangkan.
Setelah mandi, dan wudhu, segera kurangkai ibadah malam. Kali ini lebih singkat, tanpa sholat tasbih dan sholat liridhoillah.
Sholat sunnah taubat, tahajjud, istikhoroh, dan hajat usai kulaksanakan. Lantas aku bergegas menuju ruang makan, sahur bersama-sama keluarga.
Sebelum adzan shubuh berkumandang, ayahku kembali mengingatkan, "nduk, ngko podo shubuhan neng mesjid yo, iki malam ganjil terakhir" (nduk, nanti sholat shubuh di masjid ya, ini malam ganjil terakhir). Seketika pikiranku kembali mengingat memori semasa kecil. Kami sering dipaksa sholat di masjid. Sampai pernah suatu hari ibuku marah besar padaku karena aku tak sholat maghrib di masjid. Namun sekarang ayah dan ibuku hanya mengingatkan, mau atau tidak mau adalah urusan putrinya masing-masing. Karena sekarang kami sudah dewasa, mampu memilih mana yang baik, mana yang buruk. Sebab sejatinya life is choice.
Kubuka pintu rumah, udara segar tertangkap oleh kulitku. Hening, hanya ada suara alam dari serangga-serangga kecil penghuni rerumputan. Lampu-lampu jalan terlihat anggun menerangi sepetak area. Dari rumah-rumah lainkeluar insan mengenakan kain serba putih (mukena). Aku jadi teringat nyanyian qosidah masa lampau "suasana di kota santri asyik senangkan hati".
Tibanya di masjid ternyata aku jama'ah paling akhir. Untungnya masih ada satu tempat kosong untukku.
Usai sholat, seperti biasa dzikir bersama dengan suara keras, salah satu tradisi yang jarang kutemui semasa kuliah di Jogja. Dzikir kali ini juga lebih lama, ayahku menambahkan dengan tawasuld dan tahlil.Do'a yang dipanjatkan juga sedikit berbeda dengan do'a biasanya, kali ini lebih panjang. Aku tak dapat membendung aliran air yang keluar dari bola mataku. Tangisku pecah. Alhamdulillah atas segala limpahan berkah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar