“Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah...” Qatâdah, Tafsîr al-Qurthûbî

Sabtu, 29 Oktober 2011

Soreku dan Al-Qur’an



Kuceritakan kejadian ini kepada si kecil Nisa yang kebetulan saat itu sedang bermain dokter-dokteran di kamarku, entah sadar atau tidak apa yang ia katakan “ya gitu mbak, cara Allah melindungi al-Qur’an”, untuk kedua kalinya dia nyelonong pergi tanpa pamit.


Siang yang terik itu membuatku mengeluh "hari ini pasti akan panas lagi seperti biasa". Pada hari itu pula akan diadakan regenerasi 'rohis' sepulang sekolah. Sebagai koordinator akhwat yang akan lengser, sepatutnya aku memang harus hadir dan membantu tetek bengek acara tersebut. Padahal minggu lalu sudah kurencanakan untuk qoilulah pulang sekolah, Maklum kelas 3 memang di intensifkan waktu belajar mengajarnya sehingga hampir setiap hari aku harus pulang sore, kecuali Sabtu ini.

Scedhule pertama adalah mengambil snack yang kemarin sudah dipesan salah seorang panitia acara yakni Ukhti Jayani. Karena Allah menakdirkan kami untuk memesan snack ke pembuat kue yang baik hati, kami hanya disuruh menunggu di depan pos satpam sebab pembuat kuelah yang langsung mengantar snack tersebut ke sekolah. Namun apa daya manusia yang dho'if ini, berjalan dari masjid ke pos satpam saja terasa merangkak 100 kilo di atas Sahara. 5 menit sampai di depan pos satpam aku dan Jayani langsung mencari tempat duduk di bawah pohon mangga berharap ada udara lebih yang mau meniup keringat kami yang bercucuran. Sambil menuggu pesanan datang, Jayani mengeluarkan tas berisi kotak ajaib, dia menawarkanku untuk membantunya menghabiskan bekal makanan yang ia bawa dari rumah. Yummiiii, tanpa pikir panjang aku ambil kotak ajaib itu beserta sebuah sendok. Setelah dibuka isinya adalah nasi kecap yang ditaburi tahu berbalut telur. Walaupun sedikit berantakan namun rasanya bak ikan gurami goreng ala rumah makan Suminar. Inilah alasan orang yang sedang lapar, semua makanan dianggap enak. *Tapi bener enak kok Jay^^

Setelah beberapa menit sesi suap menyuap dengan Jayani, laki-laki bejenggot tipis beserta seorang temannya datang membawa 3 kantong plastik besar berisi kotak-kotak putih. Oh ternyata itu makanan yang kami pesan. Menurut hasil syuro' kemarin, 10 menit lagi acara akan dimulai, aku dan seorang perempuan berpostur tinggi itu segera kembali ke masjid mengantar snack. Dan kali ini perjalan dari pos satpam ke masjid serasa mendaki gunung Uhud, berat dan jauh. Dalam perjalan, beberapa kali kami tertimpa musibah, kotak-kotak putih dalam kantong seperti ingin melarikan diri dari penjara, satu per satu berjatuhan. Untunglah harta karun dalam kotak putih itu tidak ikut jatuh. Enam langkah yang kami tempuh, tiba-tiba perjalanan mendaki itu terhenti, sambil cengar-cengir Jayani meminta izin padaku untuk mengambil tepat makannya yang tetinggal di bawah pohon mangga tadi. Kembalinya ia dari pos satpam, kami meneruskan perjalanan sambil bercerita mengenang kejadian selama siang tadi. Mengasyikkan.

Para peserta dan pembina pun berkumpul, tanda acara regenerasi 'rohis' akan dimulai. Sebagai panitia, aku ditemani dua perempuan berjilbab menunggu di ruang panitia, menghitung-hitung snack yang jumlahnya tidak sepadan dengan para peserta. Namanya juga perempuan, kami terlalu memikirkan masalah yang sepele termasuk kurangnya snack yang akan dibagikan nanti. Dengan berat hati kami meminta tolong kepada peserta kelas 3 agar saling membagi makanan yang sebenarnya hak mereka adalah mendapat satu kotak untuk satu orang.

Suasana menginjak sepi, aku, Siwi, dan Jayani masih berada di sebuah ruang kelas yang merangkap sebagai ruang panitia. Tak sengaja kutertarik dengan sebuah cincin yang melingkar di jemari salah seorang temanku, Jayani. “Jay, boleh pinjam cincinmu itu?” tanyaku, “boleh kok, nih” jawab Jayani sambil menyodorkan cincinnya padaku. Lalu kupasang benda perak itu di jari kelingkingku sebelah kanan, “cocok nggak?” pertanyaanku yang satu ini tak ada yang menjawab. “Eh Han, aku penasaran sama suamimu besok, kayak gimana ya?” Siwi tiba-tiba nyeletuk dengan wajah heran. Aku tak habis pikir ia akan bertanya demikian. Dari tema percakapan yang tak disengaja tadi, mulailah sebuah percakapan serius. Aku sudah lupa apa yang mereka berdua tanyakan, yang jelas terasa lama sekali aku berbicara menjelaskan perkara pacaran-khitbah-nikah dalam Islam. Dua perempuan cantik itu terlihat antusias sekali mendengarkan suaraku.

Kujelaskan sekali lagi kesimpulan dari ayat Al-Qur’an, hadits, kisah inspiratif dan berbagai tsaqofah yang aku paparkan, tepat ketika suara para dewan syuro’ regenerasi yang mulai berdebat kecil memberikan pendapat. Kami memutuskan untuk keluar ikut dalam barisan peserta di ruang sebelah. Usai percakapan singkat tadi kulihat mata Jayani dan Siwi berbinar-binar, sepertinya mereka sedang memikirkan sebuah acara khitbah dan walimatul’ursyi masa depan. Haha.

Sedikit canggung saat kami memasuki ruangan penuh makhluk itu. Bisa dipastikan kami pendatang paling akhir. Tak sengaja melirik, kulihat baris satu dua adalah tempat duduk pembina selaku dewan syuro’ dan para peserta ikhwan, dan tiga baris terakhir adalah tempat untuk akhwat. Sip, penataan sesuai rencana syuro’ kemarin, batinku.

Sampai di tempat duduk akhwat, aku, Siwi, dan Jayani berpencar karena memang sudah tidak ada lagi tiga kursi berjejer di sana. Aku mendapat kursi nomor dua dari belakang paling pojok. Terlihat beberapa makanan tercecer di atas kursi masing-masing. “insyaAllah tidak ada yang kekurangan makanan sore ini”, aku senyum-senyum sendiri merasa lega. Dan terbukti, banyak peserta akhwat yang merasa kenyang hingga kue dalam kotak putih yang aku bagikan tadi tidak dihabiskan. “Ya Allah aku lapar, bolehkah aku meminta satu saja lumpia yang bukan hak ku itu?, Allah menjawab pertanyaanku, tiba-tiba saudara perempuanku menyodorkan sebutir kue klepon sisa makanannya. “Han, mau nggak?”, dia mungkin tidak tahu saudara peremupuan dan dua temannya dari tadi belum mendapat bagian kotak putih itu. “Sini!” jawabku. Lalu dengan hati-hati kumasukkan sebutir kue bertabur parutan kelapa itu ke dalam mulut, saat gigitan pertama, mak klethus, gula merah cair muncrat dari dalam kue klepon itu, inilah sensasi makan klepon, ‘mak klethus’. Tak sengaja aku teringat dua temanku yang dari tadi juga belum mendapat bagian kotak putih, si lucu Siwi dan si tinggi Jayani. “Apakah mereka sudah mendapat kue sepertiku?”

Kira-kira setengah jam kemudian, acara regenrasi itu usai,telah terpilih pemimpin atau koordinator yang semoga adil dan baik dalam amanahnya untuk satu tahun ke depan. Setelah berjabat tangan dan cipika cipiki dengan teman sesama akhwat, aku dan beberapa teman lainnya menuju masjid untuk sholat ashar. Bersamaku ada beberapa akhwat yang tak kusebut namanya dari awal, selain itu ada Siwi, Jayani, dan salah seorang saudara perempuanku yang tadi menyodorkan sebutir klepon yaitu Rohma.

Merasa rumahnya ndeso alias jauh, Siwi dan beberapa teman akhwat lainnya berpamitan untuk pulang, mungkin takut kesorean. Tinggallah di masjid itu hanya aku, Jayani, dan Rohma. Tidak ada interaksi, kami bertiga sibuk dengan urusan masing-masing. Jayani yang kuingat ia sedang sibuk sms-an dengan adiknya, bisa ditebak dia minta dijemput. Rohma, sepengetahuanku dia komat-kamit nggak jelas, sepertinya sedang membaca al-ma’tsurot. Aku sendiri di tangga masjid yang berbeda, membaca sebuah buku Best Women in Heaven karangan salah seorang anggota dewan pengajar Universitas al-Azhar. Bab II dengan judul al-Hur al‘ain, menarik perhatianku. Di situ dijelaskan arti, perbedaan pendapat tentang asal arti al-hur ‘ain versi beberapa ‘ulama’, penciptaan bidadari menurut al-Qur’an dan hadits, kelompok bidadari, dan lain sebagainya. Kok jadi cerita tentang buku yak?

Kriik krik, suasana makin senyap, “pulang yuk”, ajakku. Dua akhwat di plataran masjid itu mengiyakan ajakanku. Satu meter perjalan kami, tiba-tiba Allah turunkan rohmatNya, di sore tanpa mendung turun hujan rintik-rintik yang lama-kelamaan menjadi deras. Allahumma shoyyiban nafi’an. “Aduh tambah deras nih, kita balik ke masjid aja!”. Tanpa pikir panjang aku dan Jayani menyetujui pikiran Rohma. Cepat-cepat kami melepas sepatu dan menaiki tangga masjid. “Han, adikku nggak bisa jemput, gimana ini?” tanya Jayani. “Nanti aku yang nganterin, Rohma biar nunggu dulu di pos satpam”, jawabku. Sekitar tiga menit kemudian, hujan reda begitu saja, Karena hari hampir petang, kami putuskan untuk cepat-cepat kembali ke rumah. Langkah kami pun terhenti di depan pintu gerbang kecil dekat tempat parkiran, langit kembali menangis, kali ini lebih deras. “Subhanallah, kita balik aja yuk ke masjid, kayaknya redanya bakal lama deh”, keluhku. “Ya Allah Han, seneng banget sih lu bolak-balik!”, “tau ni!”, Rohma dan Jayani tak setuju dengan tawaranku. Finally tinggalah tiga akhwat kumut-kumut berdiri dalam lorong gelap menanti cerahnya langit.

“Eh kayaknya masih lama deh terangnya, mending ke masjid yuk hehe”, si Jayani mulai letih berdiri hingga menyetujui tawaranku tadi. “Nah gitu dong dari tadi.. ayuuk!”, jawabku. Bagai banci dikejar Satpol PP, kami bertiga belari menuju masjid sambil tertawa kecil di bawah derasnya hujan. Sungguh menyenangkan.

Belum sempat tangga masjid kami injak, hujan berubah rintik, sangat rintik. Aku, Rohma, dan Jayani saling menatap, disaat yang bersamaan kami tertawa bak orang kisinan. “Haha ngotot banget sih pengen ke masjid, udah berapa kali kita bolak-balik ke mari? Liat, udah hampir terang nih”, kali ini Rohma unjuk suara. Sungguh tiada seorangpun yang tahu kapan Allah akan berkehendak, kapan Allah turunkan hujan, kapan Allah hentikan hujan.

Untuk ketiga kalinya kami pergi meninggalkan rumah berkubah itu dengan rasa harap-harap cemas.

Tiba di gerbang kecil tempat berteduh kami tadi, kami berpisah, aku dan Jayani belok ke kanan menuju parkiran mengambil motor, dan Rohma belok ke kiri menuju pos satpam menanti aku kembali dari mengantar Jayani.

Sekarang tinggal aku dan Jayani di atas motor matic bewarna biru tua, berjalan 35km/jam melewati pohon-pohon besar yang tumbuh di samping ruang-ruang kelas. Bress! Hujan kembali turun deras. Spontan kubelokkan sepeda motor yang aku setir ke arah lorong besar dekat gerbang keluar sekolah. Lorong yang aku tempati kali ini adalah lorong utama yang menghubungkan antara taman luar dan ruang kelas 1, kebanyakan pengguna lorong ini adalah siswa kelas 1, jadi tak jarang para penghuni sekolah menyebut tempat ini, lorong milik kelas 1. Aahh sekarang bukan saatnya bercerita tentang ruang gelap itu, ini saatnya memikirkan bagaimana nasibku, Jayani dan Rohma.

Kupaksa Jayani turun dari motor dahulu agar segera berteduh, sementara aku menaruh motor tak jauh dari lorong utama. Setelah motor terjagang, aku berlari menuju tempat Jayani berteduh, dari kejauhan kulihat wajahnya mulai cemas. Tepat di taman depan lorong, Allah hentikan hujan deras yang jatuh beberapa menit itu. “Subhanallah walhamdulillah” kataku dalam hati. “Hana, mendingan kita nekat langsung pulang aja, aku takut nanti ujan turun lagi!”, dari ruang gelap tempat ia menunggu, Jayani berteriak dan lari mendekatiku. Aku, Jayani, dan vario biru pun pergi meninggalkan gedung tua itu secepat mungkin.

Di seperempat perjalan, kecepatan si vario yang semula 80 km/jam mendadak berubah 30 km/jam. Hujan lebat disertai banjir setinggi setengah lutut orang dewasa di depan mata membuatku mengurangi kecepatan. Sering kutemui antara satu daerah dengan daerah lain memiliki debit hujan yang berbeda, dan inilah yang terjadi saat ini. “Jay, kita terus aja ya? udah kehujanan gak papa, kasian Rohma nanti nunggu lama!” dibalik helm VOG aku berteriak mengutarakan kenekatanku. “Kamu gak papa Han? Aku sih setuju aja”, teman ku yang satu ini menunjukkan ketabahannya.

Sampai juga di pintu gerbang perumahan di mana Jayani tinggal. Kompleks rumah yang terletak di dataran tinggi ini memang tak terkena banjir, namun banyak lubang yang menghiasi sepanjang jalan. Ah kecil…

Perempatan pertama belok kanan, lurus, lalu belok kanan lagi, ada tempat pembuangan sampah belok kiri, kemudian belok kiri lagi, sampailah di depan rumah ber cat putih tanpa pagar. Rumah Jayani. Cepat-cepat perempuan berwajah mirip Pipit Senja itu turun dari boncenganku. “Syukron ya Han. Kamu di sini aja dulu nunggu terang, mungkin sekolah sekarang lagi hujan deras juga”, katanya. “’afwan, nggak deh Rohma udah nunggu lama nih,aku langsung balik aja. Assalamu’alaykuum!!”, aku berbalik arah meninggalkan Jayani.

Astaghfirullah, aku baru sadar! Di dalam ransel hitamku ada mushaf dan beberapa buku bacaan yang aku beli dari sangu lebaran kemarin kehujanan. Untuk buku pelajaran aku tak terlalu eman, karena seluruh buku paketku bukanlah buku asli dari penerbit melainkan berupa fotocopy-an. Yah semoga saja mereka mampu menjaga diri dalam ransel.

Perjalanan dari rumah Jayani menuju sekolah ini agaknya lebih cepat walaupun hujan deras semakin merata. Tanpa kupanggil Rohma tiba-tiba keluar dan cepat menaiki motor. “Allaah, kamu abis mandi Han?”, disituasi genting ini Rohma masih saja bisa bercanda, “ah elu, jelas-jelas ane kehujanan”, jawabku.

15 menit perjalanan, sampai juga di rumah. Namun belum sampai motor terparkir, dari jendela ummi memanggilku, “Han, kamu udah basah kan, sekalian jemput dek Nisa di TPA, kasian dia”. Oke, tancap gas menuju RT 3.

“Mbaak!”, bocah berpakaian serba putih dengan payung merah berlari menghampiriku. “Cepet naik dek! Mbak kehujanan nih” kulambai-lambaikan tangan ke arah Nisa. “Mbak tadi aku diajari tashrif ama hadits lho. Oya ini dapet hadiah buku dari ustadz Fauzan, aku juara 2 tahfidzul Qur’an”, dengan semangat Nisa kecil bercerita kegirangan tanpa berfikir kakaknya sudah kedinginan sejak tadi. “Alhamdulillah, sekarang buruan naik motor ceritanya diterusin ntar aja di rumah mbak kedinginan nih”. “O iya hehe.. pulang yuk! Mbak Hana sih nggak brangkat-brangkat dari tadi”. Satu kata untuk kejadian ini -glodakk-

Sampailah digubuk hijau rumahku. “Hoooop! Aku turun sini aja, garasinya kan nggak cukup mbak” suara kecil Nisa kembali memekakkan telinga. Ku hentikan motor di depan garasi, membantu adekku yang satu ini turun dari motor. Eits urusan belum selesai, ruang kosong yang seharusnya untuk parkir motor malah digunakan Nisa untuk menaruh payungnya. “Nisaa payungnya singkirin, mau dipakek naruh motor mbak nih!”, teriakku. “Assalamu’alaykuum, Ummiiiiii aku pulaang”, ternyata yang diajak ngomong sudah nyelonong pergi. Mau tak mau aku turun lagi dari motor memindah payung tadi ke tempat lain.

Masuk ke rumah kulihat umi sedang tilawah di ruang tengah dan Nisa yang sibuk dengan kado dari ustadz TPAnya. Aku bergegas mandi karena bajuku sudah basah kuyub layaknya pakaian yang habis diublek mesin cuci.

Setelah mandi, kuperiksa isi tas. Dan subhanallah, hampir seluruh bukuku basah kecuali mushaf dan dua buku islami dengan judul Best Women in Heaven yang tadi kubaca di masjid dan Qishatti fi Hifdz Al-Qur’an tulisan Muna Ulaiwah yang telah rampung kubaca di sekolah saat pelajaran bahasa Indonesia pagi tadi. Padalah buku-buku itu kuletakkan jadi satu, namun sekali lagi inilah kehendak Allah. Kuceritakan kejadian ini kepada si kecil Nisa yang kebetulan saat itu sedang bermain dokter-dokteran di kamarku, entah sadar atau tidak apa yang ia katakan “ya gitu mbak, cara Allah melindungi al-Qur’an”, untuk kedua kalinya dia nyelonong pergi tanpa pamit.

*Kisah nyata dengan sedikit perubahan