“Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah...” Qatâdah, Tafsîr al-Qurthûbî

Jumat, 27 Februari 2015

Pesan Sepertiga Malam

Tak ada semalam pun yang tak indah. Tak ada sepucuk bunga pun yang tak merekah. Tak ada satu pun keindahan di dunia ini tanpa Allah menurunkan titah.

Suatu pagi buta atau orang biasanya menyebut sepertiga malam, di tengah nyenyaknya tidur teman-teman kamar di pondok karena kelelahan,  aku tengah melaksanakan shalat sunnah.  Pandanganku tepat di sebuah titik di mana aku akan bersujud menempelkan jidat menghadirkan hati yang terikat. Tak sengaja tiba-tiba telingaku menangkap suara pintu kamar yang di dorong dari luar, sesosok tak asing masuk sambil tersenyum renyah menaruh bingkisan mungil di samping tempat sujudku. Ah, antara senang karena dapat hadiah, sedih karena konsentrasi shalatku sedikit buyar. Usai salam, kulihat beberapa butir coklat di balik kantong plastik kecil di atas sajadah, aku tersenyum lebar. Alhamdulillaaah..



 Cerita berikutnya sedikit unik, di sebuah sepertiga malam aku bangun, duduk sembari menata nafas, terlihat secarik kertas menempel di handuk merah yang kugantung di pintu lemari. "Alhamdulillah, masih ada yang mau menghargai keberadaan surat di tengah teknologi semakin canggih", gumamku.






Senin, 23 Februari 2015

Kaca yang Berdebu

 
Tutuplah kedua mata perlahan, lantas dalam perenungan hadirkan sesosok wanita yang paling engkau sayangi, apakah dia adalah ibumu? atau kakak perempuanmu? atau adik perempuanmu? atau istrimu? atau mungkin teman seperjuanganmu? Terserah, saat ini dan selamanya mereka yang engkau pilih adalah sesosok Kaca Berdebu.

Ia ibarat kaca yang berdebu
Jangan terlalu keras membersihkannya
Nanti ia mudah retak dan pecah


Ia ibarat kaca yang berdebu
Jangan terlalu lembut membersihkannya
Nanti ia mudah keruh dan ternoda


Ia bagai permata keindahan
Sentuhlah hatinya dengan kelembutan
Ia sehalus sutera di awan
Jagalah hatinya dengan kesabaran

 

Lemah-lembutlah kepadanya
Namun jangan terlalu memanjakannya
Tegurlah bila ia tersalah
Namun janganlah lukai hatinya

 

Bersabarlah bila menghadapinya
Terimalah ia dengan keikhlasan
Karena ia kaca yang berdebu
Semoga kau temukan dirinya
Bercahayakan iman 

Sudahkah kau membersihkannya tidak terlalu keras? Sebab tlah kuingatkan bahwa Ia mudah retak dan pecah.

Sudahkah kau sentuh hatinya penuh kelembutan? Penuh tanpa ada ruang tersisa. Penuh tanpa ada emosi menghalangi. Sebab tlah kuingatkan bahwa Ia sehalus sutera di awan, maka jagalah hatinya penuh kesabaran. Penuh kesabaran.

Sudahkah kau berlaku lemah lembut pada Sang Kaca? Bila Ia bersalah kau boleh tegur Ia, tapi jangan sampai kau lukai hatinya.

Mengapa kuingatkan kau untuk bersabar, untuk lemah lembut? Karena Ia adalah Kaca yang Berdebu. Jika mungkin ada luka yang tergores di hatimu, maka itu adalah akibat goresan kepingan Kaca milikmu yang telah retak bahkan pecah. Inilah pertanda bahwa Kaca milikmu telah retak dan pecah. Retak karena kau mungkin terlalu kasar membersihkannya, pecah karena kau mungkin tak menyadari bahwa Kaca itu telah jatuh dan tak ada yang menyelamatkannya.

Jumat, 13 Februari 2015

Jalan-Jalan

 Lupa hari apa saat itu, dan males banget mau inget-inget hari apa haha. Tepatnya siang hari diselimuti mendung, hand phone saya tiba-tiba berbunyi, Ibu telpon. Intinya motor kiriman sudah tiba di stasiun Tugu, Jogja, otomatis saya harus ngambil saat itu juga. Ibu juga pesen suruh ngrumat motornya, sambil melow Ibu berkata "motor'e ojo didekek panasan, ojo di udan-udan'ke, dekek neng iyupan, Ibu beli itu ngumpulin duit dulu lho, pokoke dirumat.." Jleg, saya nggak bisa berkata apa-apa, cuma bisa usil, jadinya saya timpali "inggih, mangke dalu kulo turu teng parkiran, tak keloni motoripun haha", lantas Ibu tertawa renyah.

Wuiing, sampai di stasiun Tugu, urus administrasi dan petir kehidupan menyambar, motor uda di hadapan saya, tapi bensinnya kosong, "alamak, kenapa tapi saya nggak beli bensin dulu T.T", akhirnya jalan kaki keluar stasiun cari bensin, hasilnya NIHIL. Langit sudah gelap sedari saya keliling-keliling tadi, karena pikiran uda cupet, langsung capcus ke Malioboro. Sreet, jalanan tlah disusuri, trotoal tlah disebrangi, tak ada yang jual bensin. kepala sudah pusing hebat, mata kabur dan brug! Santai, belum sampai pingsan kok, cuma kesandung ;)

Hujan akhirnya turun, saya masih ditengah jalan sendirian, sedih, ketakutan, kesakitan, ke apalagi ya -_-, akhirnya sampai di Altar alias Alun-Alun Utara, saya tanya salah seorang penjual warung klontong, "Nderek ngertos, ingkang padosan besin teng mriki pundi nggih?", sambil menggeh-menggeh. Si Mbak akhirnya jawab, tapi jawabannya bikin saya makin pening, bayangin rute jalan yang dijelasin Mbaknya kelihatan jauh banget, "Nyaak aye kagak kuat T.T. Tapi inget pesen Ibu tentang motor, jadi pantang nyerah dan lanjuut berjuang. Sambil kehujanan saya nerusin perjalanan, tetiba ada tukang becak nawarin saya, saya udah nggak kuat dan finally tertarik juga naik becak. alhamdulillah bapaknya mungkin kasihan, saya tanya ongkos becak ke stasiun Tugu , eh disuruh bayar terserah. 

Perjalanan ke stasiun saya pun dapat bensin, pas jalan kaki ke tempat di mana motor saya dititipkan, saya ngelewatin genangan air, walah ternyata sejak tadi yang perih-perih itu uda segede gini lukanya -.-


sekian cerita jalan-jalan