"Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal" QS. Al Anfal: 2
Jum’at Mulia di Depan Perpustakaan
“Hei, hei, stop! Jangan kau jatuhkan air itu di pipiku sekarang ini! Aku baru memulai bacaan Rabithahku!!”, itulah yang kukatakan pada hati ketika ku mulai membaca do’a Rabithah kesayangan Rasulullah. Nafasku mulai tersengal, namun untunglah air mata belum keluar dari sepasang kelopakku. Siang itu adalah kegiatan rutin liqo’ disekolahku, seperti biasa, setelah tilawah, kultum, dan tausyiah, ada pembacaan do’a Robithoh agar iman semakin kokoh. Untuk kesekian kalinya aku menangis di tengah majelis bak Nobita dijahili Giant, ingin kuhentikan namun lagi-lagi semakin isak, kulafadzkan baris per baris do’a pagi dan petang itu, sedikit kuperlambat karena semua ini membuat makhraj yang keluar dari mulutku sedikit tak jelas. Sudah kuwanti-wanti dari awal, aku tak ingin semuanya tahu tentang tangisan ini, sengaja kutundukkan kepala dari awal hingga akhir bacaan. Ada sebercik malu, tapi bagaimana lagi, inilah diriku.
Sebuah Lembaga Pemberdayaan Generasi Muslim bernama Ikhwah Gaul mengadakan mabit tahun baru 2012 dengan peserta seluruh akhwat se-Ngawi dan Karisidenan Madiun. Khusus untuk member akhwat (perempuan), Ikhwah Gaul memiliki sub divisi bernama AZIG singkatan dari Akhwat Zone Ikhwah gaul, di mana hanya muslimah yang berhak masuk dalam lingkup ini. Sudah menjadi qadarullah, aku dan salah seorang saudaraku, Rohma, dipilih Allah menjadi panitia dalam kegiatan mabit yang rutin diselenggarakan setiap tahun baru ini.
Ba’da asar semua telah berkumpul di ruang utama melewati serangkaian acara awal, sambutan, tilawah, perkenalan dan sebagainya. Pembagian tugas mulai terlaksana, Rohma membuka acara dengan sambutan diselingi kalimat-kalimat Allah, selanjutnya bagianku qiro’atil qur’an dan perkenalan. Semakin jauh dentang waktu berjalan, semakin hangat ukhuwah ini kurasa.
Dan Allah pun turunkan rahmatNya lewat hujan, kami berlari-lari kecil menuju rumah Tuhan, melaksanakan maghrib wajib berjama’ah. Suasana bertambah khusyu’. Malam itu tak hanya siraman hujan yang membasahi raga, tausyiah dari Ummi Retno juga menjadi siraman bagi qalbu yang hampa.
Tak terasa waktu kian berlalu, tibalah ibadah sunnah yang paling utama, qiyamul-lail. Kembali kami di bawah senyum rembulan, menapak jejak di atas tanah lembab menuju masjid, bersama bermunajat di atas perahu do’a. Lagi-lagi mataku memaksa cairan bening keluar, sebuah tangisan iman. Setengah jam lebih kukira qiyamul-lail terlaksana. Kembali muadzin mengumandangkan adzan shubuh.
Muhasabah tahun baru, riyadhah, dan packing telah terpijaki. Tibalah acara penutupan, kali ini aku yang memimpin acara, membuka pembicaraan, mengajak seluruh peserta mabit menghimpun syukur dan shalawat. Selanjutnya adalah salah satu acara yang dinanti, yakni doorprize. 6 akhwat berhasil mendapatkan kado mini sesuai tingkat pertanyaan yang dijawab. Ada yang mendapat mushaf, asesoris, bahkan buku. Spesial untuk penerima hadiah termahal, kuberi pertanyaan tambahan bagaimana kesan pesan dari awal perjalanan menghadiri mabit hingga acara penutup ini. Seorang akhwat dari Ngawi menceritakan pengorbanannya bersama teman-temanya saat berangkat dari Ngawi menuju tempat acara sampai kesan dan pesannya megikuti mabit Akhwat Zoe Ikhwah Gaul ini. Seperti anak SD yang bercerita kepada ibundanya, ia begitu semangat, jujur dan ekspresif mengutarakan apa yang keluar dari ingatannya. Sangat ringkas, melihat wajah-wajah para mujahidah muda berkumpul dalam sebuah lingkaran aqidah membuat batinku bercucuran air mata, namun beruntung raga dapat kutahan untuk tidak mengeluarkan cairan emosi itu. Dan di saat kuketahui saudara seperjuanganku bernama Titis begitu ikhlas dan ceria melewati sebongkah pengorbanan bersama teman-temannya, aku tak dapat lagi menahan tangis, mereka berjalan berkilo-kilo menahan terik matahari dan kelaparan, melawan rasa malu membujuk sopir angkutan kota untuk menurunkan tarif yang terlalu mahal bagi kantong mereka, kurasa ini hanya terjadi karena kekuatan dakwah dan ukhuwah. Dengan isak, kuberi khusus untuk manusia-manusia pilihan Allah yang kala itu duduk rapi di depanku., serangkai kalimat mungkin tak seindah syair namun ini kukatakan dari hati yang paling dalam. Suasana semakin hening, yang terdengar hanya suara dari bibirku disertai tangis haru biru. Disaat lisan melafadzkan do’a Rabithah, disaat telinga ini mendengar jawaban “aamiin” dari puluhan hati yang khusyu’, maka disaat itulah air mataku mengucur semakin deras.
Usai berpamitan dan berpeluk erat, satu per satu meninggalkan ruang penuh kenangan. Ya Allah jadikanlah perpisahan ini sebagai perpisahan yang Kau ridhoi, dan pertemukan kembali kami dalam pertemuan yang lebih indah.
Syuro’ bersama Keluarga Madani
Keluarga Madani bukanlah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak, melainkan kesatuan nama pengurus pusat sebuah forum dakwah yang biasa dikenal Buletin Madani.
Setelah beberapa bulan berdiri, baru minggu kemarin Buletin Madani mengadakan syuro’ (rapat) khusus Keluarga Madani. Dan salah satu di dalamnya adalah aku.
Jika selama ini seluruh urusan Buletin Madani dirapatkan lewat dunia maya, maka dalam syuro’ Keluarga Madani yang diadakan di Solo ini, kami berkesempatan sharing, diskusi lebih jelas dan gamblang.
Pukul 07.00 pagi, aku dan kedua saudaraku berangkat dari rumah menuju terminal. Tiba di sana, kami bertemu dengan Mbak Wikan, salah satu anggota Keluarga Madani pula. Alhamdulillah kami mendapat bis yang lumayan sepi, saudaraku Lana duduk bersampingan dengan Mbak Wikan,aku sendiri memilih satu kursi kosong tepat di belakang Lana, dan si Rohma kebagian kursi pas di belakangku pula.
Dalam perjalanan aku lebih banyak diam, mungkin hanya satu dua kali menjawab pertanyaan seorang gadis berjilbab yang kebetulan duduk di sampingku, karena saat itu perutku agak tak enak, barangkali kebanyakan makan dagangan sendiri, karuhun. Yang kutahu Lana dan Mbak Wikan ngobrol ngalor ngidul begitu semangat, sesekali mereka saling menepuk pundak atau tertawa kecil, entah apa yang mereka bicarakan, sepertinya sebuah misi besar.
Roda bis yang kutumpangi perlahan berhenti di depan kampus UNS menurunkan aku dan kawan-kawan. belum ada lima langkah, kaki kami terhenti, seorang akhwat melambaikan tangan berlari kecil menghampiri kami. Dia adalah Mbak Layli, salah seorang member sekaligus aktivis di Ikhwah Gaul. Rupanya dia mengenali kami lewat jaket Ikhwah Gaul yang kukenakan bersama Lana dan Rohma. Tidak lama kami berbincang-bincang, Mbak Layli harus kembali ke ma’had tahfidz dan kami harus meneruskan perjalanan menuju masjid Nuruh Huda, tempat syuro’ Keluarga Madani.
Seorang gadis berjilbab putih terlihat bosan menunggu di pinggiran pos satpam, dia Ukh Lestari, keluarga Madani asli Solo. Ini pertama kalinya dia bertemu denganku dan saudara-saudaraku. Mbak Wikan pun mulai membuka pembicaraan “Dek Lestari, ini Hana, Lana, Rahma, dari Magetan”.
Panas sang raja siang semakin membara, kami segera meneruskan perjalanan. Rohma, Lana, dan Mbak Wikan berjalan di baris pertama, aku dan Lestari mengikuti dari belakang. Sesampainya di masjid Nurul Huda, cepat-cepat kami naik ke lantai 2, tak sabar menjawab penantian Keluarga Madani lainnya yang cukup lama menunggu. Dua akhwat dari Jogja, Mbak Serenande Ungu dan Mbak Putri, menyambut kami berlima. Ini juga pertama kalinya kami berjumpa. Pas sekali, usai perkenalan antar akhwat, gerombolan ikhwan Keluarga Madani tiba di TKP. Langsung tanpa basa-basi pemimpin redaksi membuka syuro’, diawali sambutan, tilawah, dengan sedikit tausyiah, lalu perkenalan dari masing-masing anggota Keluarga Madani. Ruangan syuro’ yang kami gunakan memang dari awal diberi pembatas atau hijab, sehingga ketika sesi ta’aruf, kami pihak akhwat hanya bisa menebak suara dari ikhwan ini suara siapa, sebaliknya pihak ikhwan juga demikian.
Karena dari pertama pembicaraan hanya suara dari ikhwan yang mendominasi, lantas Pak Pimred (pimpinan redaksi) memberi akhwat peluang berbicara, “sekarang yang akhwat silahkan salah satu mewakili memberi kesan atau tausyiah, terserah yang penting kata-kata kebaikan”, terdengar dari balik hijab suara sengau keluar dari mulutnya. Aku, Lana, Rohma, Mbak Wikan, Lestari, Mbak Serenande Ungu, dan Mbak Putri saling lembar tugas, “kamu aja”, “eh jangan akuu”, dan sebagainya. Jika dibiarkan seperti ini, maka sampai maghrib pun syuro’ tidak akan jalan, “wes, aku aja”, kataku. Seketika berhentilah perang mulut antar akhwat.
Mbak wikan kemudian memberi klu kepada ikhwan, “ini ada adek yang mau ngasih tausyiah”. Adek? Ya, kebetulan kami bertiga dan Lestari adalah yang paling muda, lainnya sudah kuliah bahkan ada yang sudah lulus. Sebisa mungkin kubasskan suaraku, berharap dari balik papan pembatas itu apa yang kusampaikan terdengar lebih jelas. “assalamu’alaykum Wr. Wb”. Suasana menjadi hening, terdengar jawaban Wa’alaykumsalam berpadu antar ikhwan dan akhwat. “Di sini saya hanya akan membacakan sebuah motivasi kutipan dari alm. Ust. Ramhat Abdullah yang berjudul “Memang Seperti itu Dakwah’”, aku mulai membuka pembicaraan. Tanpa kukomando, sekejap suasana hatiku berubah, yang awalnya biasa-biasa saja, kini lebih sendu, masih terngiang dalam ingatan isi dari kutipan alm. Ust. Rahmat Abdullah ini. Pertama kali kudengar saat Boss Ikhwah Gaul membacakannya untukku dan kedua saudaraku di sebuah gazebo rumah makan ketika kami ditraktir makan ayam bakar. Untuk memperjelas, kubaca kembali judul taujih itu, “ Me mang Se per ti itu dakwah” lagi-lagi aku tak dapat membendung air mata, dengan tertatih sebuah juduh taujih dari Ust.rahmat Abdullah kubaca.
Kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraph ku eja sejelas dan sekhusyu’ mungkin, sembari kubayangkan segala yang dituliskan Ust. Rahmat Abdullah dalam karangannya “Memang Seperti itu Dakwah”.
Hujan air mata semakin deras mengalir di pipiku, kalimat “Karena itu kamu tahu. Pejuang yg heboh ria memamer-mamerkan amalnya adalah anak kemarin sore. Yg takjub pada rasa sakit dan pengorbanannya juga begitu. Karena mereka jarang disakiti di jalan Allah. Karena tidak setiap saat mereka memproduksi karya-karya besar. Maka sekalinya hal itu mereka kerjakan, sekalinya hal itu mereka rasakan, mereka merasa menjadi orang besar. Dan mereka justru jadi lelucon dan target doa para mujahid sejati, “ya Allah, berilah dia petunjuk… sungguh Engkau Maha Pengasih lagi maha Penyayang… ““ membuat hatiku diguyur perasaan takut, harap, dan cemas. Takut bila qalbu ini berhasil dikuasai setan hingga sgala perjuangan sia-sia karena penyakit hati, mengharap setiap nafas juang yang terhempas menjadi pahala dari Sang Penggenggam Ridho, dan cemas bila ikhtiyar ini tak diterima olehNya.
***
Kepada saudaraku seperjuangan, kepada saudaraku peni’mat dakwah, kepada saudaraku yang lebih memilih pahitnya dunia dibanding manisnya kehidupan, teruntuk seluruh mujahid-mujahidah segala zaman, sebercik tetasan cinta, cinta yang semoga turun dari RahmatNYA, cinta yang menjadi penyubur iman penumbang futur, semoga tetesan ini menjadi saksi kerja dakwah aku dan engkau.