“Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah...” Qatâdah, Tafsîr al-Qurthûbî

Senin, 24 Oktober 2016

Kisah Sebuah Cangkir



Awalnya aku di pukul-pukul, dikoyak, lalu dibanting sekuat tenaga. Tubuhku remuk! Hancur berkeping! Begitu seterusnya berkali-kali.

Lantas aku di diamkan selama beberapa waktu. Aku lega, aku dapat bernafas, dan ternyata tangan beringas itu kembali mendekatiku, kupejamkan mata erat, siap-siap kubayangkan bertubi tempaan menghajarku.

Ujianku belum usai, aku diletakkan pada sebuah alat, kemudian aku diputar-putar tiada ampun. Pusing hebat menusuk kepalaku.  Aku tak lagi mampu menangis, aku tak lagi bisa berteriak. Aku benar-benar telah tiada daya, tak dapat berlari ataupun melawan.

Namun untuk sejenak aku terheran, kesakitan itu perlahan menghilang. Aku bersyukur dan menyokong harap tiada lagi ada siksaan. Rupanya hanya sementara kawan, beberapa menit keheningan itu adalah waktu ketika aku dibawa ke sebuah pekarangan, berpadu dengan rumput kering dan kotoran ayam,  aku diletakkan begitu saja di bawah terik mentari sendirian. Aku mulai merasakan panas menyengat tak karuan. Hingga lama kelamaan tubuhku menjadi kaku,  kering dan berubah warna.

"Tuhan, apa yg sedang kau rencanakan untukku?, " batinku lirih.

Tak puas berhari-hari memanggangku di bawah sengat mentari, tangan kejam itu lantas memasukkanku ke dalam kobaran api. Panas bukan main, kawan!! Nafasku pun juga sesak!  Asap pekat telah menutup seluruh celah. Aku tak tahan, tapi apa yang bisa kulakukan selain berpasrah pada Tuhan. Benda merah menyala itu telah membuat tubuhku hangus berantakan. Untung saja ini tak selama saat aku dijemur kemarin.

Selanjutnya aku diletakkan disudut pintu, dihadapkan dengan kipas angin ruangan. Nyaaman sekali rasanya, panas yang sempat menusuk itu perlahan menghilang. Semilir jiwa datang tak dinyana. Harapanku semoga setelah ini tak akan terjadi apa-apa. Namun bagai Fir'aun yang mendamba menjadi Tuhan, keinginanku tak terkabulkan. Lagi-lagi aku mendapat siksaan. Sungguh!  Aku letih kawan!!  Dengan selembar kertas poles kasar, ia menggosok-gosokkannya pada tubuh tak berdayaku. Perlahan hitam hangus yang menempel raga memudar. Tapi jika engkau tau, periiih yang kurasa sudah tidak lagi dapat tersiratkan.

Setelah itu dengan semena-mena kulitku dilumuri cat berwarna. Semakin bertambah perih yang kurasa. Luka yang belum sempat mengering, kini kembali ditempeli cairan pekat. Bau campuran bahan kimia pun menyengat hebat pernafasanku. Pada akhirnya aku tak kuat lagi. Sepertinya aku akan mati!  Mati! Dan slappp!  Sekejab semuanya menjadi gelap.

Tuhan masih menghendakiku bertahan hidup,  rupanya aku belum mati. Sedikit rasa pusing dan pegal disekujur tubuh perlahan memudar. Aku terkejut bukan main, dulu aku adalah tanah liat tak berdaya, kini menjadi sosok yang indah dipandang mata,  sosok yang ni'mat jika dirasa, sosok yang jauh merekah dibanding sebelumnya.

Inilah aku sekarang, sebuah cangkir anggun nan istimewa.


Krapyak,  24 Agustus 2016, 08.54

Rabu, 12 Oktober 2016

Memilih

         

Jasad yg dikaruniai ruh oleh Tuhannya maka akan dihadapkan oleh pilihan. Berat ringannya pilihan tsb sudah barang tentu tergantung 'jatah'nya masing-masing. Seorang ustadz pastilah kadar kesulitan dalam memilihnya berbeda dengan seorang maling. Hamba yg satu berkutat pda pilihan mengajar atau menjadi pegawai demi menghidupi keluarga,  hamba yg satu lagi berkeruh pda pilihan tetap menjadi maling atau terancam mati kelaparan. Keduanya tak bisa dibandingkan karena sekali lagi masing-masing hamba berbeda 'jatah'nya.

Nah,  usia sepantaran saya seperti saat ini merupakan 'jatah' yg logis utk memilih pasangan hidup. Jika lebih dikerucutkan lagi pilihan itu adalah menerima atau menolak (Melihat usia wajar di tembung oleh lawan jenis). Hal ini juga dibuktikan dengan semakin meratanya teman-teman perempuan sepantaran yg mulai terbuka mengemukakan kriteria calon pasangannya, dengan kata lain mereka mulai memikirkan perihal pernikahan.  Ada yg menggebu harus dapat pengusaha sukses,  ada yg mewek-mewek kepingin dilamar vokalis sholawat, atau ada lagi yg kesemsem disunting pegawai bank syari'ah, dan masih banyak lainnya.

Sepertinya dari berbagai nasihat ibu yg hanya keluar masuk telinga,  kali ini saya mengakui salah satu wejangan beliau ada berliannya. Memilih pasangan hidup itu yang terpenting bertanggung jawab dan berakhlak. Dua poin penting yang benar-benar tidak bisa diganggu gugat.

Bertanggung jawab bukan berarti harus memiliki kerja mapan atau kerja tetap namun lebih kepada implementasi rasa kasih sayang kepada keluarga kecilnya sehingga memberikan dampak senantiasa berusaha dan berjuang demi keseimbangan kehidupan sebuah keluarga. Mengapa keseimbangan?  Bukan kebahagiaan? Sebab dalam suatu keseimbangan terkadang kebahagiaan tak dibutuhkan, musibah lebih dikucurkan,  terserah apapun keadaan yg Allah berikan.  Lagi-lagi tergantung 'jatah' masing-masing hamba dan semua ini tak lain untuk mencapai keseimbangan kehidupan tsb.

Syarat kedua adalah berakhlak. Jangan dibayangkan pria berakhlak adalah yang  selalu lemah lembut,  tak pernah marah atau senantiasa memuji pasangannya. Dia yang mampu memposisikan diri kapan saatnya lemah lembut atas kebaikan dan marah atas ketidakpantasan adalah imam berakhlak. Carilah imam keluarga yg dapat seimbang dalam bertindak, maksudnya sesuai dg porsinya,  tidak condong ke kiri atau condong ke kanan,  tidak condong ke lemah lembut atau condong ke pemarah.

Maka segera buang jauh-jauh kriteria utama pengusaha sukses, atau si pemilik suara emas para vokalis sholawat atau si tampan pegawai bank syari'ah atau semacamnya. Sebab sejatinya hidup adalah berkelakuan dengan nilai (value of life) bukan value of prestige. Perihal nantinya ternyata engkau mendapat pasangan pengusaha sukses atau pemilik suara emas atau pegawai setampan aktor,  itu semua adalah bonus.

Realistisnya adalah seorang yg ingin melangsungkan kehidupan memiliki tiga kebutuhan yg terdiri dari dhoruriyyah (primer), hajiyyah (sekunder),  tahsiniyyah (tersier). Ketiganya sudah pasti tidak dapat terpenuhi hanya dengan bermodal pengusaha saja,  atau penyanyi saja, atau ketampanan semata. Apalagi mengingat kembali adanya pemeliharaan lima unsur dari kebutuhan dhoruriyyah untuk mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat, yakni agama,  jiwa,  akal,  keturunan,  dan harta. Maka tentu memilih seorang laki-laki muslim yg bertanggung jawab dan berakhlak mutlak diperlukan.

Sebagaimana pengamatan saya secara langsung kehidupan rumah tangga ibu saya sendiri. Kebetulan bapak saya adalah seorang qori', namun seumur-umur tinggal bersama mereka,  tak pernah sekalipun saya melihat bapak memperlihatkan suara merdunya di hadapan ibu atau merayu dengan suara beliau. Hal ini semakin memberi keyakinan pd saya bahwa nasihat ibu tidak main-main. Ibu benar-benar mengimplementasikannya. "Mempunyai suami yang bertanggung jawab dan berakhlak adl keharusan,  mendapat pasangan yg memiliki kelebihan (suara atau hafalan atau pendidikan atau apapun itu) adalah bonus dari Tuhan. Tidak akan bertahan hidup seorang istri hanya dg melahap satu kelebihan suami," batinnya dlm bahasa jawa.




Krapyak, 12 Oct 2016 | 08.37 am