“Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah...” Qatâdah, Tafsîr al-Qurthûbî

Jumat, 04 Juli 2014

Awas! Benci jadi Cinta




Denting waktu tlah merayap mendekati tengah malam, suara bacaan Al-Qur’an orang-orang yang sedang tadarus mulai sepi dan perlahan menghilang. Mungkin mereka kembali ke rumah masing-masing untuk istirahat mempersiapkan ibadah terbaiknya di bulan penuh rahmah dan berkah ini. 

Sebelum membuka dan menulis diary ini (red: ini adalah tulisan yang saya ambil dari buku diary pribadi saya), Saya berkesempatan menyaksikan konser musik religi di salah satu stasiun televisi dengan penyanyi tunggal Maher Zain. Perpaduan musik, lirik dan background Sang Penyanyi membuat Saya selalu menikmati setiap lagu yang dibawakan. Bukan hanya itu, secara mendadak iman saya serasa naik beberapa tingkat. Great songs ^^.

Namun kali ini Saya tidak akan berbicara mengenai Maher Zain atau musiknya secara mendalam, Saya hanya ingin berbagi mengenai apa yang Saya rasakan ketika menikmati konser tersebut walaupun hanya di depan layar televisi. Tak menyangka ternyata dalam konser religi itu kursi penonton dipenuhi oleh Capres Prabowo beserta pendukungnya. Terlihat di barisan paling depan yakni kursi kelas VIP diisi oleh Prabowo, Anis Matta (Ketum PKS), Abu Rizal Bakrie, pengusaha sekaligus owner RCTI dan MNC TV, dan para pejabat pendukung Prabowo lainnya. Seluruh hadirin sangat antusias dan menikmati setiap lagu yang disuguhkan. Dengan mengangkat satu jari telunjuk, mereka bernyanyi mengikuti irama Sang Vokalis, bahkan ketika lagu “Number One for Me” dinyanyikan, seluruh penonton berdiri dan tetap dengan gaya khas mereka mengangkat satu jari telunjuk, tak terkecuali Prabowo sendiri. Seolah-olah lagu “Number One for Me” ini bukan lagi dipersembahkan untuk ibu seluruh dunia, melainkan untuk mengajak masyarakat Indonesia memilih No. 1 pada Pemilu 9 Juli nanti. Tak berhenti sampai disitu, di saat Maher Zain membawakan lagu populernya berjudul “Insya Allah”, para penonton begitu getol dan menjawab lagu tersebut dengan nama idola mereka. Kurang lebih beginilah bunyinya, “Insyaa Allaah”, Maher Zain menyanyikannya dengan apik, kemudian disusul jawaban dari para penonton dengan kompak dan semangat, “Prabowo !”. Jadilah sebuah yel-yel dadakan “Insyaa Allaah…” (Maher Zain), “Prabowo!!” (penonton), “insyaa Allaah…”, “Prabowo!!”, insyaa Allaah…”, “Prabowo!!”, “You’ll find your way…”, begitu seterusnya.

Saya jadi teringat ketika dulu semasa benci-bencinya dengan Prabowo, “kenapa Prabowo yang harus jadi capres?!” Geramku. Dan masih teringat betul dalam ingatan Saya, pukul 12 malam lebih Bapak menjemput Saya dari stasiun, di tengah perjalanan kami membicarakan calon presiden yang kedua kandidat tersebut sama sekali bukan menjadi pilihan Saya dan Bapak. Sampai-sampai dengan syahdu hingga terlihat mata Bapak berkaca-kaca ingin menangis. Beliau bercerita bagaimana kepemimpinan Gus Dur, sebab menurut Bapak saya, satu-satunya presiden terbaik adalah Gus Dur, tak ada gantinya. Ibarat kata, keadaan sekarang ini dapat kita gambarkan bagaikan seorang pekerja yang kehausan, kemudian disuguhkan dua pilihan air minum yang sama-sama pahit. Dari kedua pilihan tersebut, mau tidak mau salah satunya harus diminum, sebab jika tidak, pilihannya hanya ada dua, dehidrasi panjang atau mati. Artinya, dari kedua calon presiden yang menurut Saya berat untuk memilihnya, mau tidak mau Saya harus memilih salah satu, mau tidak mau Saya harus menyeleksi mana yang terbaik, jika tidak, pilihannya hanya ada dua, Indonesia bisa jadi dipimpin oleh presiden yang tidak sesuai atau Saya berdosa karena tidak andil dalam Pemilu esok. Namun pulang kampung yang kedua Saya, telah memberikan kemantaban bahwa Prabowo adalah pilihan Saya. Semenjak saat itu, keadaan berbalik 180 derajat, seorang Hana yang benci dengan Prabowo kini koar-koar mengajak orang disekelilingnya memilih Prabowo, Hana yang saat ini bak Tim Sukses Prabowo yang rela tak dibayar namun tetap ikhlas menebar. Lagi-lagi ini masalah keyakinan dan masa depan.

Bersyukurlah Allah memberikan Anda kebebasan untuk memilih pemimpin melalui pemerintah Indonesia dalam program Pemilunya. Hanya orang-orang yang tak bersyukurlahlah yang menyia-nyiakan kesempatan besar ini. Bila anda tak mau kufur, segera gunakan hak pilih anda pada 9 Juli nanti. Black campaign, negative campaign dan semacamnya bukanlah jalan yang benar, di sini saya tidak sedikitpun menyinggung keburukan kedua capres sekaligus putera bangsa tersebut. Prabowo dan Jokowi sama-sama baik, but life is still a choice

Sekian cerita Maher Zain dan capres kali ini. Saya bismillah pilih Prabowo, Anda?

Magetan, 4 Juli 2015, 00.20 WIB

Hadiah Cinta dari Allah

 

Panatskah Hamba yang hina ini mendapat ni’mat sebesar ini Yaa Rabb…

Ramadhan tahun ini kuawali di kampung halaman, di sebuah desa nan asri, Banjarmlati, Magetan. Saut-sautan pujian anak-anak kecil meramaikan suasana Desa yang sebenarnya sepi. Bukan hanya itu, diam-diam Aku meresapi setiap bait pujian yang terdengar jelas dari masjid yang terletak dekat dari rumahku. Serasa kembali ke masa penyebaran Islam jamannya Mbah Hasyim Asy’ari.

Setiap perjalanan menuju masjid, sesekali kupandangi langit yang begitu megah penuh gemintang. Ya Allah, betapa indah langit Ramadhan-Mu. Suasana bertambah haru dan khusyu’ ketika shalat jama’ah dimulai. Suara imam seorang hafidz Qur’an itu begitu menyejukkan, Aku pun menangis.

Sama spesialnya seperti Ramadhan hari pertama dan kedua, Ramadhan hari ketiga ini kulalui penuh khusyu’ pula. Namun ada sedikit perbedaan ketika shalat tarawih dengan malam sebelumnya, jika malam sebelumnya setelah bacaan Al-Fatihah Aku membaca surah sesuai yang dilafadzkan Sang Imam, pada malam ketiga tarowih ini Aku membaca surah Al-Qadr. Tiap rakaatnya kupejamkan mata, kubaca surah mulia ini penuh penghayatan, kubayangkan langit malam yang indah, lebih indah dari seribu bulan. Tak terasa shalat tarawih pun usai. Setelah berjabat tangan dengan jama’ah putri, Aku dan Mbak Nur (saudara jauh yang sekarang menemani adikku di rumah) tinggal di masjid untuk tadarus. Tadarus merupakan budaya islam di Indonesia ketika bulan Ramadhan tiba. Usai shalat sunnah tarawih dan witir, masyarakat saling bersaut-sautan antar masjid untuk membaca Al-Qur’an secara bergilir dengan pengeras suara. Dari usia balita hingga dewasa ada di sana. Tujuannya untuk menghidupkan malam Ramadhan dengan kebaikan sekaligus mengajak umat muslim untuk merauk pahala lewat bacaan Al-Qur’an mulia. Sebab terkadang ada yang malas membaca Al-Qur’an ketika di rumah, namun setelah di masjid dan memiliki banyak teman, semangat itu muncul seketika. Biasanya ini dialami oleh usia kanak-kanak.

Sebuah meja berbentuk bulat, lengkap Al-Qur’an dan mic telah siap, Mbak Nur mendapat giliran pertama, kemudian si kecil dengan mukena hijaunya (Aku belum tau siapa namanya), kemudian setelah itu giliranku. Beberapa menit kemudian kuhentikan bacaan Qur’anku dari speaker yang terdengar hingga penjuru desa itu, lantas kuberikan mic pada peserta lainnya dengan tujuan memberi kesempatan yang lain umtuk membaca. Biasanya setelah Aku dan Mbak Nur mendapat giliran, kami langsung pulang ke rumah, namun malam itu(usai giliranku membaca) kulihat Mbak Nur masih khusyu’ membaca amalan Dala’il dari Abahnya semasa mondok dulu. Sambil menunggu, akhirnya kuputuskan untuk membuka mushaf pribadiku dan membaca lanjutan ayat yang telah kumulai dari tanggal 1 Ramadhan kemarin. Sekitar lima lembar aku membaca Al-Qur’an, Mbak Nur mengajakku pulang, “De kayo balik”. Beberapa menit kemudian, usai merampungkan ayat yang kubaca, aku menjawab “Ayo mbak”.

Sampai rumah terlihat sepi taka da orang, hanya ada ibuku yang sedari tadi di depan televisi merasa kesepian karena tak bias ikut shalat jama’ah. Ternyata adikku Nisa sedang keluar bersama Bapak mencari bakso, sebab sedari kemarin cita-citanya makan bakso belum tercapai.

Sekitar pukul 23.00 lebih, akhirnya rumah benar-benar sepi. Semua tidur di kamar masing-masing. Aku sendiri kemudian menuju kamar Dek Nisa dekat dengan ruang shalat, saat kubuka pintu, kulihat Mbak Nur sudah tertidur pulas. Kubaringkan tubuhku di sampingnya, sebelum kupejamkan mata, kusempatkan berdo’a kepada Allah memohon beberapa hajat untukku dan untuk orang-orang yang kucinta. Ramadhan kali ini memberiku kekuatan untuk selalu berdo’a dan meminta segala keinginan hati. 

Tiba-tiba aku telah berada di sebuah jalan yang taka sing, hamper mirip jalan yang terletak di depan rumahku yang biasa kulalui saat akan pergi ke masjid, saat itu terjadi pada malam hari, lalu kudongakkan kepalaku, berkali-kali kuucap kalimah thayyibah, kulihat langit malam saat itu dipenuhi lafadz Allah bercahaya putih tersebar di seluruh sudut langit. Saat itu lafadz Allah bagaikan pengganti bintang, langit hanya di penuhi oleh asma-Nya. Aku terharu, senang, bahagia, bersyukur, hanya ada Aku dan Allah, serasa Allah sedang mengajakku berbicara lewat kekuasaan-Nya di langit itu. Aku mondar-mandir sambil terus melihat ke arah langit. Aku tak ingin melewati peristiwa besar ini. Lafadz yang tersusun dari huruf alif, lam jalalah dan ha’ itu jelas terbingkai dalam rangkaian cahaya berlian yang tersebar di seluruh penjuru langit. Ya Allaaah….

“Han, tangi Nduk, sahur” (Han, bangun nduk, sahur), suara ibuku membangunkanku. Segera kumenuju kamar mandi untuk bersih-bersih dan wudhu. Kemudian kulaksanakan shalat tahajjud 3x salam dan pergi ke ruang makan untuk sahur.

Waktu terasa cepat berjalan, beberapa menit kurebahkan tubuh di atas kasur sembari mengunggu adzan, adzan shubuh yang ditunggu pun berkumandang. “Nduuuk, wes adzan, ndang neng masjid” (Nduuuk, sudah adzan, cepat ke masjid), meskipun ibuku tidak berpuasa, Beliau tetap bangun dan memastikan anak-anaknya khusunya untuk adikku paling kecil, Si Nisa pergi ke masjid. Setelah siap, kulangkahkan kaki menuju masjid, seperti biasa kulihat langit gelap yang ternyata masih dihiasi bintang. Tetiba kuteringat sesuatu, mimpiku semalam! Warna biru kehitam-hitaman langit shubuh tadi, sama persis dengan yang ada di mimpi, yang membedakan hanyalah lafadz Allah yang tersebar dengan sinar tak biasa, lafadz tersebut memiliki sinar seperti berlian yang tersusun kecil-kecil membentuk asma Allah.

Rabb… segala puji bagi-Mu atas ni’mat yang besar ini. Ramadhan-Mu benar-benar merangkul hati.

Magetan, 1 Juli 2014