“Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah...” Qatâdah, Tafsîr al-Qurthûbî

Jumat, 04 Juli 2014

Hadiah Cinta dari Allah

 

Panatskah Hamba yang hina ini mendapat ni’mat sebesar ini Yaa Rabb…

Ramadhan tahun ini kuawali di kampung halaman, di sebuah desa nan asri, Banjarmlati, Magetan. Saut-sautan pujian anak-anak kecil meramaikan suasana Desa yang sebenarnya sepi. Bukan hanya itu, diam-diam Aku meresapi setiap bait pujian yang terdengar jelas dari masjid yang terletak dekat dari rumahku. Serasa kembali ke masa penyebaran Islam jamannya Mbah Hasyim Asy’ari.

Setiap perjalanan menuju masjid, sesekali kupandangi langit yang begitu megah penuh gemintang. Ya Allah, betapa indah langit Ramadhan-Mu. Suasana bertambah haru dan khusyu’ ketika shalat jama’ah dimulai. Suara imam seorang hafidz Qur’an itu begitu menyejukkan, Aku pun menangis.

Sama spesialnya seperti Ramadhan hari pertama dan kedua, Ramadhan hari ketiga ini kulalui penuh khusyu’ pula. Namun ada sedikit perbedaan ketika shalat tarawih dengan malam sebelumnya, jika malam sebelumnya setelah bacaan Al-Fatihah Aku membaca surah sesuai yang dilafadzkan Sang Imam, pada malam ketiga tarowih ini Aku membaca surah Al-Qadr. Tiap rakaatnya kupejamkan mata, kubaca surah mulia ini penuh penghayatan, kubayangkan langit malam yang indah, lebih indah dari seribu bulan. Tak terasa shalat tarawih pun usai. Setelah berjabat tangan dengan jama’ah putri, Aku dan Mbak Nur (saudara jauh yang sekarang menemani adikku di rumah) tinggal di masjid untuk tadarus. Tadarus merupakan budaya islam di Indonesia ketika bulan Ramadhan tiba. Usai shalat sunnah tarawih dan witir, masyarakat saling bersaut-sautan antar masjid untuk membaca Al-Qur’an secara bergilir dengan pengeras suara. Dari usia balita hingga dewasa ada di sana. Tujuannya untuk menghidupkan malam Ramadhan dengan kebaikan sekaligus mengajak umat muslim untuk merauk pahala lewat bacaan Al-Qur’an mulia. Sebab terkadang ada yang malas membaca Al-Qur’an ketika di rumah, namun setelah di masjid dan memiliki banyak teman, semangat itu muncul seketika. Biasanya ini dialami oleh usia kanak-kanak.

Sebuah meja berbentuk bulat, lengkap Al-Qur’an dan mic telah siap, Mbak Nur mendapat giliran pertama, kemudian si kecil dengan mukena hijaunya (Aku belum tau siapa namanya), kemudian setelah itu giliranku. Beberapa menit kemudian kuhentikan bacaan Qur’anku dari speaker yang terdengar hingga penjuru desa itu, lantas kuberikan mic pada peserta lainnya dengan tujuan memberi kesempatan yang lain umtuk membaca. Biasanya setelah Aku dan Mbak Nur mendapat giliran, kami langsung pulang ke rumah, namun malam itu(usai giliranku membaca) kulihat Mbak Nur masih khusyu’ membaca amalan Dala’il dari Abahnya semasa mondok dulu. Sambil menunggu, akhirnya kuputuskan untuk membuka mushaf pribadiku dan membaca lanjutan ayat yang telah kumulai dari tanggal 1 Ramadhan kemarin. Sekitar lima lembar aku membaca Al-Qur’an, Mbak Nur mengajakku pulang, “De kayo balik”. Beberapa menit kemudian, usai merampungkan ayat yang kubaca, aku menjawab “Ayo mbak”.

Sampai rumah terlihat sepi taka da orang, hanya ada ibuku yang sedari tadi di depan televisi merasa kesepian karena tak bias ikut shalat jama’ah. Ternyata adikku Nisa sedang keluar bersama Bapak mencari bakso, sebab sedari kemarin cita-citanya makan bakso belum tercapai.

Sekitar pukul 23.00 lebih, akhirnya rumah benar-benar sepi. Semua tidur di kamar masing-masing. Aku sendiri kemudian menuju kamar Dek Nisa dekat dengan ruang shalat, saat kubuka pintu, kulihat Mbak Nur sudah tertidur pulas. Kubaringkan tubuhku di sampingnya, sebelum kupejamkan mata, kusempatkan berdo’a kepada Allah memohon beberapa hajat untukku dan untuk orang-orang yang kucinta. Ramadhan kali ini memberiku kekuatan untuk selalu berdo’a dan meminta segala keinginan hati. 

Tiba-tiba aku telah berada di sebuah jalan yang taka sing, hamper mirip jalan yang terletak di depan rumahku yang biasa kulalui saat akan pergi ke masjid, saat itu terjadi pada malam hari, lalu kudongakkan kepalaku, berkali-kali kuucap kalimah thayyibah, kulihat langit malam saat itu dipenuhi lafadz Allah bercahaya putih tersebar di seluruh sudut langit. Saat itu lafadz Allah bagaikan pengganti bintang, langit hanya di penuhi oleh asma-Nya. Aku terharu, senang, bahagia, bersyukur, hanya ada Aku dan Allah, serasa Allah sedang mengajakku berbicara lewat kekuasaan-Nya di langit itu. Aku mondar-mandir sambil terus melihat ke arah langit. Aku tak ingin melewati peristiwa besar ini. Lafadz yang tersusun dari huruf alif, lam jalalah dan ha’ itu jelas terbingkai dalam rangkaian cahaya berlian yang tersebar di seluruh penjuru langit. Ya Allaaah….

“Han, tangi Nduk, sahur” (Han, bangun nduk, sahur), suara ibuku membangunkanku. Segera kumenuju kamar mandi untuk bersih-bersih dan wudhu. Kemudian kulaksanakan shalat tahajjud 3x salam dan pergi ke ruang makan untuk sahur.

Waktu terasa cepat berjalan, beberapa menit kurebahkan tubuh di atas kasur sembari mengunggu adzan, adzan shubuh yang ditunggu pun berkumandang. “Nduuuk, wes adzan, ndang neng masjid” (Nduuuk, sudah adzan, cepat ke masjid), meskipun ibuku tidak berpuasa, Beliau tetap bangun dan memastikan anak-anaknya khusunya untuk adikku paling kecil, Si Nisa pergi ke masjid. Setelah siap, kulangkahkan kaki menuju masjid, seperti biasa kulihat langit gelap yang ternyata masih dihiasi bintang. Tetiba kuteringat sesuatu, mimpiku semalam! Warna biru kehitam-hitaman langit shubuh tadi, sama persis dengan yang ada di mimpi, yang membedakan hanyalah lafadz Allah yang tersebar dengan sinar tak biasa, lafadz tersebut memiliki sinar seperti berlian yang tersusun kecil-kecil membentuk asma Allah.

Rabb… segala puji bagi-Mu atas ni’mat yang besar ini. Ramadhan-Mu benar-benar merangkul hati.

Magetan, 1 Juli 2014

3 komentar: