“Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah...” Qatâdah, Tafsîr al-Qurthûbî

Sabtu, 05 Desember 2015

Cerita Mboh



Bismilillaah…

Rabu lalu  aku menjadi panitia sebuah konferensi internasional. Pesertanya dari berbagai negara dan jenjang pendidikan, Indonesia, Singapore, Italia dan lain sebagainya, dengan tingkat pendidikan SMA hingga magister. Tak usah takjub dalam-dalam wong aku cuma “a gabut committee” alias panitia nganggur haha. Empat panitia dari UIN, Islah, Mas Lahiq, Mas Hudi, Mas Ardi dan aku sendiri. Jadilah tak diragukan lagi, aku satu-satunya panitia wanita dari UIN. 70an panitia lainnya dari UGM kebanyakan. Sore itu sudah mulai terasa crowded di lokasi opening, Convention Hall UIN Jogja. Panitia sudah rapi dengan dresscode mereka hitam putih. Aku masih buluk sekali, seharian membantu lari sana sini berurusan dengan rektorat dan jurusan IAT UIN, rencana pulang pondok untuk meng ganti pakaian gagal. 

Saat keluar CH berniat untuk sarapan di waktu menjelang maghrib (karena benar-benar tak sempat makan), ketua panitia terlihat kebingungan. Mbak Ucun panggilannya. Ia berusaha menghubungi dosen UIN menanyakan perihal welcoming speech tapi tak  ada pulsa. Karena hp ku sedang tak sehat, akhirnya kupinjamkan sim card  berisi pulsa 10ribu-an. Di tengah menunggu telp diangkat, mbak Ucun melihat salah satu panitia memakai celana hitam dan atasan biru, “Ya Allaah, kok biru kae sopo” (Ya Allah, kok biru itu siapa), raut wajahnya terlihat kecewa sebab ada  panitia memakai wrong dresscode. Duh, padahal aku sendiri juga tidak membawa atasan putih. 

Usai sholat maghrib, aku jadi kepikiran, kasihan mbak Ucun jika tahu aku juga tidak memakai dresscode. Keluar dari masjid aku menuju distro belakang UIN untuk membeli sepotong atasan putih bermotif bunga-bunga. Di ruang ganti aku pakai sekaligus agar tidak bolak-balik ke kamar mandi. “Mbak ini saya pakai langsung ya, buru-buru soalnya hehe” jelasku pada penjaga distro, “iya mbak nggak papa”, dua gadis penjaga ketawa sendiri melihat kelakuanku.
Perjalan dari distro ke CH, aku melewati berbagai warung makan rasanya puingin makan tapi rasa hati mengganjal karena ada salah seorang teman yang mengajak makan bersama. Akhirnya saya tetap mampir ke warung membeli  3 es jeruk untuk teman panitia sesama UIN tanpa memesan makanan karena tak tega membayangkan mereka kelaparan dan aku kenyang. 

Tibanya di CH, teras sudah mulai sepi karena panitia telah masuk ruangan menempatkan diri di spotnya masing-masing. Aku memilih duduk sendirian di teras sembari menikmati sebungkus es jeruk, dua bungkus lainnya masih terbungkus rapih di kantong plastik. Belum ada separuh es jeruk kuteguk, aku masuk CH untuk suatu urusan. Deg! Melihat seorang teman yang mengajakku makan bersama tangannya kotor penuh minyak bekas pulukan makan tentunya. Hatiku langsung perang dingin “sabar Hanaa, tenaang”. Bagaimana tidak, pikirku dia tidak akan makan tanpa aku. Apalagi dengan keadaan orang-orang yang tak pernah kukenal , makan bersama dengan orang yang sudah dikenal pasti lebih nyaman. Ok, tak apa, sudah terlanjur.
Opening dimulai, aku memasuki ruang CH. Panitia bergerombol dengan kelompok tugasnya, LO dengan LO, perkap dengan perkap, konsumsi dengan konsumsi dan seterusnya. Aku lagi-lagi memilih sendiri di kursi paling pojok. Kelompokku hanya dari UIN itupun mereka semuanya laki-laki. Tak mau berharap lebih dapat wira-wiri bersama mereka. Alone is better hehe.

Usai acara selesai, ada seorang panitia dari UIN jalan di sela-sela fix chairs CH, tentu dia melihatku, tapi menyapa saja tidak. Lalu aku kembali menikmati kesendirian, si do’i lewat lagi di samping tempat dudukku, “Eh, Hana” lalu pergi begitu saja. Baiklah, 2 es jeruk yang niat kuberikan tadi sepertinya bernasib mencair dan membasi haha.

Perasaanku sudah tidak tenang, di CH memang sudah selesai, tapi panitia sibuk dengan tugasnya, aku sebagai panlok UIN sepertinya belum begitu dibutuhkan, teringat pula banyak urusan pondok yang harus diselesaikan, daripada menganggur sendiri akhirnya aku pamit pulang. Tentu dengan perut kosong dan kekecewaan 2 bungkus es jeruk.

Esoknya adalah main conference yang dihela di Convention Hall lagi. Pesertanya bukan hanya dari peserta full conference dari berbagai negara tapi peserta pendaftar yang hanya mengikuti konferensi satu hari saja. Dari pondok sudah kurencanakan untuk membantu agak siang, sebab paginya aku ingin mengerjakan tugas dan kuliah. Pukul tujuh lebih di tengah proses menyelesaikan tugas di perpus pusat, aku mendapat sms dimintai tolong menemani salah seorang panitia menjemput Rektor. Kuputuskan membolos dan tidak mengumpulkan tugas. 

Hari itu sebagai panlok (panitia lokasi) UIN setidaknya aku masih bisa berdaya. Agak siang aku ijin kepada ketua public relation karena ingin hati mengisi absensi kuliah. Setelah sholat dhuhur di pasca sarjana aku lari menuju fakultas. Kupikir telambat, ternyata jam masuk kuliah diundur dan aku tak bisa melihat informasi tersebab keadaan hp yang sedang sakit. 

Kuliah pun usai, sore hari di bawah guyuran hujan aku kembali ke CH. Ruangan sepi, peserta full conference telah masuk ruangan gedung rektorat untuk melakukan paper presentation. Ada satu panitia UGM yang aku kenal baik masih di CH, Mas Ato, “Mas, ada yang bisa tak bantu?” tanyaku sebagai panitia pengangguran. Akhirnya aku mendapat kerjaan mengarahkan peserta ke gedung rektorat.

Aku dan dua peserta berjalan meninggalkan Mas Ato, di tengah perjalanan buru-buru menghindari hujan, kami sempat ngobrol sedikit. Satu laki-laki berpawakan tinggi dan kekar yang berada di belakangku adalah keturunan Indonesia Arab. Dia pernah tinggal di New York dan baru enam bulan tinggal di Indonesia. Satu lagi seorang gadis SMA berambut lurus sebahu asli Indonesia pernah mengikuti YES exchange di Amerika selama setahun. Perkenalan singkat itu kami akhiri karena telah sampai di mulut pintu ruang paper presentation. “Ok, you can enter here. Good luck for your presentation”, tutupku.

Sebelum maghrib aku memaksakan diri harus ke perpustakaan mengerjakan tugas yang kemarin tak jadi kukumpulkan. Tapi karena beberapa urusan, jadilah wira-wiri perpus dan CH. Merasa sangat tidak efisien, pupus harapan melembur di perpus, tas ajaib berisi seluruh peralatan sholat, sabun, laptop lengkap dengan charger kuboyong ke CH. 

Pukul tujuh lebih aku kembali lagi ke perpus, benar-benar ingin segera menyelesaikan tugas. Sampai di depan lobi, terlihat petugas perpus telah memakai jaket masing-masing, ada yang sedang sibuk mematikan komputer, bahkan ada yang sudah lengkap memakai helm menenteng tas kecil siap pulang ke rumah. Alamaaaaak, taqdir nya memang Allah belum mengijinkan mengerjakan tugas. Di pondok jelas aku tak bisa karena tugas yang satu ini membutuhkan sinyal internet super cepat  untuk buffering youtube. Aku menyetir motor kencang, berharap masih bisa mengikuti rutinan diba’an malam jum’at.

Alahmdulillah, sampai pondok jam 8 kurang. Diba’an belum dimulai. Kusempatkan merebahkan tubuh sebentar. Lalu menghadiri majlis rutin tersebut di musholla komplek.

Selesainya diba’an, aku cuci muka, gosok gigi dan langsung nyungsep di atas kasur. Sekitar pukul satu dini hari aku terbangun, teman satu kamar bernama Silma batuk tak henti-henti hingga muntah. Tak lama, hpku menerima sebuah sms, Rahma menanyakan obat muntah. Kujawab aku tak punya. Sms kedua mengerikan, “reneo aku wes ra kuat” (kemarilah aku sudah tidak kuat). Langsung aku beranjak dari tempat tidur menyabet jaket di gantungan belakang pintu dan dompet. Ada dua kemungkinan, aku harus keluar untuk beli obat atau mengantar Rahma saudara kembarku ke rumah sakit. Gedung Rahma yang terletak tepat di samping gedung kamarku membuat aku tak lama menuju kamarnya. Terlihat dia sudah sangat lemas dan merintih kesakitan. Aku langsung menelpon ibu dan segera ibu menanyakan beberapa nama obat cadangan. Di saat-saat seperti inilah aku merasa betapa kerennya Ibu sebagai dosen Akbid poltekes, sebab dulu setamat SMA aku disuruh melanjutkan kuliah di sana tapi tak ada sedikitpun ketertarikan kesana. Bahkan terkesan mengentengkan jurusan kesehatan, duh.

Baik, obat cadangan aku tak punya, akhirnya segera kupercepat langkah menuju parkiran depan masjid utama untuk mengambil motor. Terlihat pukul satu dini hari seorang Habib menantu Gus Endar dan Kyai Najib mengobrol di depan teras rumah. Ya Robb, malunya aku seorang santri putri tengah malam keluar membawa motor pula. Telah menjadi kebiasaan, setelah menuntun motor menjauhi ndalem Bu Nyai, aku baru bersiap menstarter motor. “Bismillaah Ya Allah, paring lancar lan slamet”, batinku.

Setelah melewati 2 gang pondok, aku sampai di ruas jalan utama, terlihat beberpa santri putra bersarung jalan-jalan sambil mengobrol santai. Mungkin memang mereka sedang mencari udara malam atau sekedar memenuhi amanah jaga keliling. Entahlah. 

Kugas motor sekencang-kencangnya sambil membayangkan rute apotik K-24 yang sudah pasti buka 24 jam. Sebelum sampai ke apotik, kutemukan sebuah IGD masih beroperasi, aku tanya kepada salah satu perawat megenai pembelian obat, tapi ternyata mereka tak bisa melayani. Lalu kuceritakan kondisi saudara kembarku yang sedang kritis di pondok. Sang perawat menyarankan untuk dibawa ke UGD rumah sakit. Kemudian kutanya lagi di mana dapat kutemui taxi yang biasa mangkal di dekat sini. Tepat seperti pikiranku, daerah kampong bule tak jauh dari pondok. Langsung kutancap gas menuju pemangkalan taxi. Oh dunia malam, saya cuma bisa istighfar dan mohon keselamatan. Bagaimana tidak, hura-hura diberbagai sudut, ada yang minum hingga kliyengan, ada yang sekedar nongkrong merokok sambil mensiuli pengendara motor memakai rok lebar, aku. 

Ketemu! Kuketuk jendela taxi,setelah bangun dan mengumpulkan nyawa, dengan bahasa kromo inggil kupinta sopir segera mungkin mengikutiku menuju pondok menjemput Rahma.
Sampai di pondok kupakaikan rok dan jaket, Si Rahma begitu lemas, dia terus merintih sambil menyandarkan tubuhnya. Aku bopong segera ke dalam taxi. Kusuruh teman sekamarnya menyiapkan satu kresek kalau nanti sekiranya dia ingin muntah di taxi, sebuah tas ransel kupinta untuk diisi satu stel baju tidur, under wear dan mukena. Siapa tau  Rahma harus di rawat inap, melihat kondisinya yang sangat tak berdaya. Ternyata sudah 3 jam ia muntah terus menerus tanpa bercerita pada teman sekamarnya.

Sambil terus menyandar ditubuhku, Rahma kupinta memakai sandal terlebih dahulu. Ada puluhan sandal tanpa pasangan di hadapan, jelas semua adalah sandal hasil ghoshob. “Ya Allaah niki dhorurot, kulo ngghoshob setunggal kagem Rahma” (Ya Allah, ini darurat, saya ngghoshob sandal satu untu Rahma), niatku. Karena tak mungkin aku harus mencari dahulu sandal Rahma yang entah di mana Ia meletakkan. Kagetku, dengan keadaan yang sudah benar-benar kritis seperti itu dia masih bisa memilih sandal, kakinya diarahkan ke kanan, menolak sandal ghoshob warna hijau di kanan dan putih di kiri pilihanku itu. Rupanya rahma memilih sandal Mbak Bontot temanku satu lantai yang masih utuh dengan pasangannya. Perjalanan dari gedung Rahma menuju taxi, kami melewati parkiran dan tentu gedung pondokku. Pas! Ada Mbak Bontot juga ikut terbangun dan melingukkan kepala keluar pintu. “Mbaaak aku ngampil sandalmu” (Mbaak aku pinjam sandalmu), ijinku. Akhirnya sandal yang dipakai Rahma halal haha.

Sampainya di UGD, Rahma di suntik lengannya. Aku registrasi di lobi dan Mbak Umi yang sedari tadi menemani dan mengikuti menggunakan sepeda motor, menjaga Rahma. Beberapa menit aku mengurusi adminitrasi dan menebus obat, terakhir kutanya dokter apa perlu rawat inap saudara kembar saya ini, ternyata tidak. Langsung kucarikan taxi, Rahma dan Mbak Umi pulang menggunakan taxi, aku mengendarai sepeda motor sekaligus mampir ke swalayan. 

Keadaan Rahma langsung membaik, tak lagi muntah, sudah mulai mau bicara dan tidak lagi merengek haha. Setelah disuapi teh hangat, roti dan minuman ber-ion, dia kutinggal kembali ke kamar. Setengah tiga pagi, aku putuskan untuk mandi dan sholat malam.

Alhamdulillaah, malam ini begitu panjang..


Yogyakarta, December 5th, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar