“Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah...” Qatâdah, Tafsîr al-Qurthûbî

Minggu, 01 Mei 2016

Bertemu dengan Sang Maha Guru



Bulan ini benar-benar menguras segalanya bagiku. Terasa semester tua dengan tugas ini itu. Puncaknya minggu ini masing-masing menagih pertanggung jawabannya.

Seperti tepat kemarin, untuk pertama kalinya aku membolos mata kuliah SKI (Sejarah Kebudayaan Islam) Sabtu pagi. Alasannya mungkin tak masuk akal, mencuci. Selain sumber air di pondok sedang bermasalah (harus ngungsi dulu), rasanya memang hari Sabtulah kesempatan terbaik melakukan pekerjaa  ini. Usai dua ember pakaian kotor dipenuhi haknya, langsung bergegas persiapan ke kampus kuliah jam ke dua. Selesainya perkuliahan dah sholat dhuhur kusempatkan isi perut di warung mi ayam depan kampus. Lantas tancap gas menuju daerah Palagan untuk meet up di rumah dosen. Kebetulan aku dimintai tolong membantu penelitian anaknya yang sedang nggarap thesis Kedokteran UGM. Ahamdulillah, pulang disangoni seabrek data. Meskipun saya terkadang sanksi untuk menolak atau menerima permintaan ini (mengingat berbagai kesibukan kuliah dan mondok), tapi saya selalu berpikir, kesempatan tidak datang dua kali. Bukan masalah penelitian atau apa, ada nilai penting yang mungkin tidak saya dapat dikehidupan formal pesantren atau perkuliahan. Yakni kesempatan berbagi pengalaman lewat obrolan ringan di sela pembahasan penelitian, do'a-do'a singkat yang tak sering dosen lakukan terhadap mahasiswanya. Semisal seperti yang sering dilakukan dosenku yang satu ini, setiap melakukan percakapan lewat whatsapp Beliau selalu menyisipkan do'a kesehatan, limpahan barokah dan harapan kemudahan dalam segala urusanku. Tak hanya itu, dulu ketika dua mata kuliah diampu oleh Beliau, selain ilmu Ibu Widyarini begitu biasanya para mahasiswa memanggil, aku juga mendapat hadiah-hadiah kecil sebagai reward dan motivasi. Kalau bukan sekarang, kapan lagi kesempatan mengabdi dan membalas budi. Apalagi semenjak sistem memaksa jurusan perkuliahanku pindah fakultas, besar kemungkinan tidak diajar oleh Beliau.

Lepas pertemuan menyenangkan di Palagan, mengantar teman ke daerah Timoho (belakang kampus UIN), langsung menuju daerah ISI Jogja menjemput kembaranku yang sedang shilaturrohim di kost mbak sepupu. Kemarin rasanyaa seperti sopir Gojek yang kebanjiran orderan, wira wiri di jalan.

Tepat adzan maghrib akhirnya sampai pondok, kemudian bergegas ke masjid karena sudah tertinggal satu roka'at ternyata, sholat usai, paling ni'mat setelah wirid adalah duduk tertunduk menata semua limpahan amanah. Pikiran mulai melayang kemana-mana, proposal skripsi baru 30% padahal Senin pagi harus presentasi di mata kuliah Metopen, mengedit latar belakang proposal teman, tabulasi ratusan data penelitian, booklet beasiswa Djarum yang harus diambil, dan lain sebagainya. Malam tak mungkin ku kerjakan, ekspektasiku jadwal Sabtu malam usai diniyyah jam setengah 10, setelah itu  makan malam dari jatah pondok kemudian menyelesaikan urusan-urusan kecil.

Dan benar adanya, semua berjalan sesuai angan, akhirnya pukul setengah dua belas malam baru bisa me time. Kusempatkan me'recite' kalam ayat-ayat langit. Entahlah, mungkin hampir jam 2 dini hari aku baru terlelap.

Singkat cerita usai sholat shubuh dilaksanakan, aku kembali me time dengan The Holy Book. tak tau berapa jam kemudian, ngantuk benar-benar menyerang, sekitar pukul tujuh pagi selama setengah jam lebih aku akhirnya tidur lagi.

Tiba-tiba aku berada di ruang tamu rumah Mbah (dari Bapak) di Ngawi. Ramai sekali di sana. Tersadar sedang ada acara semacam majlisan yang diadakan oleh Bapak. Semakin dalam aku memasuki ruangan, saat kutengokkan pandangan ke kiri terlihat Habib Umar bin Hafidz sedang berbicang sembari tertawa lepas dengan Bapak. Serta merta kubungkukkan badan dan mundur ke belakang. Aku tak percaya ada tamu mulia di situ. Belum lama kekagumanku, semua pandangan tamu tetiba mengarah ke mulut pintu, datang seorang Habib Luthfi bin Yahya pada jamuan itu. Ya Robb, kedua wajah teduh nan menentramkan itu tak pernah aku lupa. Lalu pada satu kesempatan, Sang Habib berpesan padaku, hendaknya sebesar apapun amanah hidup, tugas-tugas, tetap harus dilakukan, harus dijalani. Yang terpenting telah berikhtiyar, masalah hasil Allah lah penentunya.

Semua serasa begitu nyata, di saat hati ragu terhadap kemampuan diri, Allah beri penguat lewat mimpi.

Lagi-lagi teriakan anak-anak kamar membangunkanku. Mimpi bersama Sang Maha Guru terputus hingga di situ.

Tak pikir panjang lagi, pengawal semangat saat pagi adalah mandi, maka bergegas kumenuju lantai tiga mengungsi kamar mandi, selesai tidak selesai tanggungan kukerjakan satu per satu.

Shollu 'alannabi Muhammad! :)

Krapyak, 1 Mei 2016, 11.37 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar