Pertemuan pertama kita sungguh mengesankan. Engkau tertawa renyah melihat kenyataan ada kembar tiga ternyata di dunia. Itu aku dan kedua saudara kembarku.
Gaya bahasamu sungguh cerdik, hingga kami tak canggung berbicara blak-blakan kala itu sampai seterusnya. Sepertinya memang tak pantas kita di anggap sperti ibu dan anak, kita adalah teman sepermainan, Mah.
Mamah, begitu biasa aku dan kedua saudara kembarku memanggil Beliau. Ia adalah wanita periang yang sungguh penuh semangat. Kami adalah saksi ketika Mamah masih awal terkena kanker, kami adalah saksi ketika Mamah masih sehat, bugar raganya. Kami adalah saksi ketika Mamah berjuang sekuat tenaga melawan penyakitnya. Kami adalah saksi bahwa setelah pernikahannya, Mamah merelakan harta, tenaga, waktu dan kasih sayangnya untuk sesama. Dua gadis Jawa, Mamah bawa ke rumah, mereke disekolahkan dari TK hingga sarjana. Kami adalah saksi bahwa Mamah sangat bahagia hidup sederhana hanya untuk orang lain lega dan bisa tertawa.
Kebiasaan Mamah setiap aku dan kedua kembaranku pamit pulang adalah mencium mesra pipi kiri dan kanan kami bak anak kandungnya sendiri. Semua makanan kesukaan kami, tanpa diminta Mamah selalu beri. Ketika lama tak sowan kesinggasananya, Mamah akan menelpon kami satu per satu. Sampai satu waktu, Ibuku (kandung) pernah cemburu karena hal ini. Bukan hanya itu, putri semata wayang Mamah juga pernah ikut cemburu tanpa alasan.
Tak terasa lepas kau tunaikan ibadah Haji, lepas kau ditinggal Papah pergi, kondisimu semakin memburuk. Tapi heranku, shodaqoh dan keceriaanmu tak pernah padam meski dalam keadaan terpuruk.
Berkali-kali kau minta maaf karena aku pernah membuang air kencing di pispotmu, berkali-kali kau minta maaf karena aku telah menyeka mulut bekas muntah yang tak henti itu, berkali-kali kau minta maaf karena aku memijatimu, berkali-kali kau minta maaf saat kubawa teman-teman dekatku berkunjung menjengukmu sambil tawassul bersama mendoakanmu. Aah, rupanya sakit telah melunturkan sedikit ketidaksetiakawananmu. Kita kan friend, tak perlu lah kau minta maaf. Kami bungah sekali bisa seperti ini, Mah.
Lantas Rabu menjelang siang aku bagai disambar petir, waktu di saat aku harus menyeka air mataku, waktu di saat aku harus lemas tak nafsu, waktu di saat Malaikat Pencabut Nyawa dengan lembut menjemputmu, waktu di saat akhirnya aku rela karena ada senyuman lebar di akhir hayatmu, waktu di saat aku tak tega melihat tubuh kurus ktika memandikan jasadmu lalu kualihkan dengan senantiasa melihat wajah sumringahmu.
Mamah, sungguh aku banyak belajar kehidupan darimu. Beragama yang sederhana namun memberi kebermanfaatan kepada lainnya adalah wujud kemilau Islam yang sejatinya tlah diajarkan Rosul sejak dahulu.
Krapyak, 12 Juni 2015, 01.51 WIB