“Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah...” Qatâdah, Tafsîr al-Qurthûbî

Sabtu, 17 Desember 2011

Wahai Kematian, Mendekatlah !!



ketika malaikat bernama Isroil menggenggam titah dari Tuhan
menjemput nyawa setiap makhluk yang dikehendaki-Nya
hatiku pun benyanyi
 "kematian, mendekatlah... kematian mendekatlah..."
peluk setiap insan yang beriman
agar mereka tak henti beriman
agar sinar hidayah tak henti berkilau dalam ruang kalbu mereka
dan hati mereka pun bernyanyi "kematian mendekatlah..."

Pengalaman jiwaku begitu saja berhenti dalam sebuah ruang, ruang gelap nan penuh ibroh. Otakku pun bertanya, benarkah Mas Nanang kini tlah tiada? Ya Allah dia hanya seorang anak yang ingin senantiasa menemani seorang emak selama sisa hidupnya. Namun mengapa kau suruh Isroil panggil nyawanya? Lantas, siapa yang akan menemani emaknya? Siapa yang akan mengantar Bude Mi ke pasar? Ya, begitulah aku biasa memanggil emak Mas Nanag, Bude Mi. 

Dhuhur itu aku mendengar perbincangan serius ibuku lewat telepon genggamnya. Terlihat raut mukayag bingung dan khawatir. Matanya berkaca dan dahinya mengkerut mengikuti suasana hati. Setelah telepon ditutup, ibu mengumpulkan anak-anaknya. Akan ada perbincangan serius. "Dek tolong do'akan Mas Nanang, sekarang lagi kritis di rumah sakit Caruban". "Innalillahi ! kritis?", aku shock bukan main. Bagaimana bisa seorang laki-laki berusia 23 tahun itu kritis. Kupikir penyakit jantung yang dideritanya beberapa tahun lalu itu telah hilang dari raganya, namun kali ini kembali mampir ke organ dalamnya.

Sehari setelah perbincangan duka itu, tepatnya Jum'ah sore, 9 Desember 2011, tepelon rumah tiba-tiba berdering. Saudaraku dari Caruban mengabarkan bahwa jantung Mas Nanang melemah. Yang hanya bisa kami lakukan adalah berdo'a. Seperti biasa, usai sholat do'a kupanjangkan, khusus untuk saudara jauhku itu. "Ya Robbi, berikanlah yang terbaik untuk Mas Nanang, bila engkau berkehendak memanggilnya, maka panggillah dalam keadaan khusnul khotimah. Namun jika engkau berkeinginan ia tetap hidup, maka sembuhkanlah penyakitnya. Robbana atina fiddunnya hasanah wa fil akhiroti hasanah waqina 'adzabannar". Bersamaan dengan usainya do'aku tadi, telepon berdering kembali. Terdengar informasi bahwa Mas Nanang telah meninggal. Pergi ke alam barah bersama dengan amal-amalnya. "Innalillahi wa inna ilaihi roji'un, Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu".

                                                                              ***

Ahad pagi yang mempesona, aku bersama sepupu kecilku bernama Ifti mengendarai sepeda menuju Pasar Gemblung. Pasar tradisional yang terletak tepat di bawah bukit dekat rumah nenekku Caruban. Kupancal sepeda unta milik Mbah Kung sewajarnya, menikmati pemandangan yang super indah. "Mbak, buruan!" kulihat Ifti yang berada di depanku berteriak ingin cepat sampai di penjual roti bakar Pasar Gemblung. "Napa sih buru-buru! Sek to! mbak menikmati perjalanan nih, di Magetan nggak ada kayak gini", sahutku. "Ah, yaudah", Ifti mengalah. 1 km perjalanan kami melewati makamyang cukup luas, entah tiba-tiba hati ini terasa dingin ketika memandang salah satu rumah masa depan itu. Dunia menjadi teduh, seteduh sore dan bayanganku semakin tak karuan. Bukan kuntilanak atau pocong yang kubayangkan, tapi bagaimana jika detik ini aku dipanggil sang Khalik, dan datanglah seorang malaikat berpenampilan seram mencuri nyawaku. Sungguh! cara yang tidak sopan!. " Hoe mbak! kenapa berhenti di kuburan? ayo, nanti roti bakarnya habis". Teriakan adik sepupuku itu membuat lamunanku pecah. "Eh, ngapain aku berhenti di sini??" aku sendiri kebingungan. Perjalanan kulanjutkan. 

Setelah melewati luasnya permadani, akhirnya kami tiba di Pasar gemblung. Kuparkirkan sepeda di depan bengkel yang nampaknya masih tutup. Derap langkah menuju pintu utama pasar membuat si unta dan sepeda sport Ifti tak terlihat. Pertama kami membeli jenang grendhul untuk oleh-oleh orang rumah dan terkhir roti bakar idaman Ifti. Suasana pasar yang begitu rumit menyebabkan aku tak betah lama-lama di sana. Kami segera kembali ke rumah mbah. Menuruti saraf sensorik, langkah sedikit kulambatkan. Tak sengaja kulihat sebuah warung kopi pinggir jalan yang di depannya duduk seorang lelaki kurus yang sangat kukenal wajahnya, Mas Nanang. "If, itu Mas Nanang". "Iya mbak, sama temennya" Ifti menjawab seadanya. Aku ingin menyapanya, namun banyak sekali kaum adam di warung itu yang membuatku malu.

Mas Nanang sebenarnya bukan saudara sedarahku. Namun keluarganya sudah begitu dekat dengan keluarga mbahku, hingga kami menganggap mereka adalah saudara dekat. Dulu semasa aku kecil, laki-laki periang itu sering sekali mengerjai aku dan saudara-saudaraku, entah dengan bertambahnya usia kami semakin jarang berbicara bahkan tak pernah berbicara. Mungkin kami sama-sama malu.

Rok kucincingkan sedikit, sepeda unta siap kupancal. Semakin jauhlah kami meninggalkan pasar Gemblung, kembali melewati permadani lukisan Ilahi. Perjalanan pulang ini sedikit berbeda saat aku dan Ifti berangkat tadi, jalanan lebih ramai dan sang surya lebih semangat mengepakkan sinarnya. Beberapa kali sepedaku oleng     diselip truk bersopir gadungan. Pingin deh rasanya teriak, "Woyyy! ini bukan jalanan mbah lo!" #astaghfirullah

Melewati makam imajinasi tadi, pertigaan, warnet, kami belok kanan memilih jalan yang lebih aman, gang nangka. Jalan ini lebih aman walaupun jaraknya sedikt lebih jauh. Ku minta Ifti yang berjalan di belakangku  mengambil foto anak kambing yang sedang asyik bermain pasir, lucu sekali. Dan inilah kerugian menyuruh anak kelas 5 SD, bukan foto anak kambing yang diambil, tapi malah fotoku. "Ya nggak papa, mbak kan mirip kambing hahahaha" gadis kecil itu menyalipku sambil tertawa jahil.

Dan tak sautupun makhluk yang mengetahui kehendak Tuhannya, 6 hari setelah pertemuan tak sengajaku dengan Mas Nanang, ia dipanggil oleh pemiliknya, Allah azza wajalla. "Ya Robb, jika di pasar Gemblung kemarin aku tak bisa menyapa Mas Nanang, maka ijinkan aku menyapanya dalam pertemuan yang Engkau ridhoi, pertemuan yang lebih indah dari bulan dan bintang di malam hari".

Minggu, 11 Desember 2011 

5 komentar:

  1. subhanallah..
    ukhti ini pengalaman siapa ?

    BalasHapus
  2. alhadulillah Allah memberi perjalanan itu pada saya :D

    BalasHapus
  3. ini bukanlah imajinasi, melainkan kenyataan yang tak dapat ditinggal walaupun dengan berlari

    BalasHapus
  4. ini mbak e deket gemblung mana ya saya juga deket gemblung (blabakan)

    BalasHapus
  5. gemblung desa caruban... kalo mbaknya? :)

    BalasHapus