“Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah...” Qatâdah, Tafsîr al-Qurthûbî

Kamis, 06 November 2014

Firasat Ibu

 


Tepat Rabu kemarin merupakan hari paling menyedihkan dalam hidupku. Beberapa kejadian membuatku serasa tertampar hebat. Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya, mataku tak dapat menahan tangis penuh kecewa. Aku berjalan dengan kedua kaki bergetar mencoba mencari kebahagiaan, mencari penghapus air mata dan pendengar keluh lara. Aku berjalan namun tak ada, akhirnya aku berlari, tapi tetap saja tak kutemukan. Oh Tuhan mengapa salahku begitu luputya, mengapa dosaku begitu besarnya, mengapa hukumanku begitu beratnya. Saat aku dalam keadaan jatuh sedalam-dalamnya, saat aku dalam keadaan kalut sekalut-kalutnya tak ada lagi yang sekedar menanyakan kabarku, tak ada lagi yang memberikan bahu untuk menopang beratnya pikiran di kepalaku, tak ada lagi jari yang tulus menyeka air mataku. Bahkan aku tlah memohon belas kasih namun tangisanku, kepedihanku, semua ditolaknya. 

Petang pun tiba, semenjak pagi hingga sore aku tak makan apa-apa, tangis itu akhirnya mengantarkan lelapku di sebuah tempat di perpustakaan pusat universitas. Tak perduli anggapan lain kepala lain mata, aku hanya menangis lalu tertidur juga. Tiga amanah menimba ilmu hari itu kubuang sia-sia. Meronta memohon pelipur duka. Sesaat setelah aku terbangun dari tidur, telepon genggamku berbunyi, tak biasanya Ibu menelponku. Segera kuatur nafas dan suara, memberi keceriaan bahwa di tanah rantau aku baik-baik saja. Usai percakapan utama, wanita mulia itu berkali-kali bertanya "gak enek opo-opo to neng kono?" (gak ada apa-apa to di situ?), "mboten Buk" (tidak Buk), lirihku. Suatu pertanyaan yang jarang bahkan tak pernah Ibu lontarkan padaku. Tiga kali Ibu mengulang pertanyaan itu, tiga kali pula kujawab dengan pernyataan yang sama. Setelah kututup telepon, aku hanya mampu menghela nafas, berusaha tegar. Beberapa menit kemudian telepon genggamku kembali berdering, Ibu menghubungiku lagi, "Rahma piye neng pondok?" (Rahma {saudara kembarku} gimana di pondok), "sae.." (baik..), jawabku singkat. Tak kuduga Ibu kembali menanyakan hal yang sama, "tenan yo, gak enek opo-opo neng kono?" (benar ya, nggak ada apa-apa di sana?), "mboteen.." (nggaak..), aku kembali meyakinkan jawaban. Sejenak kami saling terdiam, kemudian Ibu mengucap salam dan telepon terputus. "Ibu, aku sakit di sini, nggak ada temen, tolong do'akan sore ini ada yang menemaniku, minimal membahagiaanku menanyakan keadaan piluku. Ibu, maaf hari ini aku tak amanah padamu, beberapa tugas menuntut ilmu tak kukerjakan tepat waktu, tapi Ibu, andai Kau tau...", tangisku.

Sejenak pikiranku menerawang, di saat raga dan hatiku benar-benar pilu, bahkan sekedar mengangkat kepala pun aku tak mampu, aku tak mau bercerita pada Ibu, aku tak ingin menambah beban yang lalu, namun tanpa kuberi tahu, Ibu tiba-tiba menelponku, bertanya sesuatu yang jarang berlaku, Ibu berkali-kali bertanya tentang keadaanku. Inikah firasat Ibu?


Yogyakarta, 6 November 2014

With tears

Tidak ada komentar:

Posting Komentar