“Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah...” Qatâdah, Tafsîr al-Qurthûbî

Kamis, 06 November 2014

Pelangi di Hari Jum'at

Jum'at minggu lalu hari bagaikan pelangi, merah kuning hijau berpadu indah menghiasi langit. Layaknya warga bumi, aku merayakannya dengan senyuman dan syukur.

Merah. Jum'at pagi terasa merah menyala ketika aku mengetahui di rumah tiada satupun menyapa. Perjuanganku meminta ijin dari keamanan pondok dan perjalanan kereta yang melelahkan terasa sia-sia, ini kedua kalinya pulang kampungku tak ada siapa-siapa. Bapak, jelas pergi ke kantor hingga sore, mungkin mampir ke rumah hanya numpang mandi setelah itu pergi lagi bergelut dengan grup hadrah anak-anak desa. Dek Nisa, semenjak Kamis kemarin mengikuti acara dari madrasahnya selama tiga hari. Ibu, ada acara mendaadak menjadi pengisi seminar di salah satu Universitas Negeri di Semarang. Usai menonton televisi sejenak, kuputuskan pergi mandi lantas beres-beres rumah. Pukul 10.00 pagi perutku mulai terasa lapar, setelah melihat ada tiga potong ayam di meja makan, aku menggorengnya kembali dan kulahap semuanya, sebab bisa dipastikan itu adalah lauk sisa kemarin dan tak mungkin akan dimakan kembali, melihat tidak ada orang di rumah. Jum'at pagi bagai permaisuri, makan ayam tanpa nasi.

Semburat kuning cahaya matahari sore hari agaknya memberi perinagtan padaku dan Bapak. Semua berawal setelah waktu Ashar Bapak menjemputku dari kantor menuju tempat perkemahan Dek Nisa untuk mengantar air mineral. Belum sampai tempat yang kami tuju, tiba-tiba mobil bagian belakang mengeluarkan suara aneh, klothek-klothek, seperti ada yang lepas. Saat itu radio dan AC masih kami nyalakan, beberapa ratus meter kemudian aku dan Bapak mencium bau terbakar. Bapak lantas mengecek suhu pada temperatur mobil, more than normal!!! Akhirnya Bapak memutuskan berhenti di tengah jalan tepat di tepi sawah, dan buub! Saat bagasi mesin dibuka keluar asap tebal dari dalam. Aku menjauh sambil komat-kamit banyak membaca shalawat berharap semuanya baik-baik saja. Permasalahannya ternyata sepele, air radiator habis. Jika tidak segera diisi maka mesin akan panas, semakin panas akan memicu terbakarnya seluruh komponen. Setelah radiator diisi dengan air cadangan, dari kejauhan kulihat dengan panik Bapak melepas kabel penghubung aki dan mesin agar saat mesin radiator mengalami panas di atas normal, tidak merambat ke seluruh mesin atau komponen lainnya. Akhirnya masa-masa panik itu terlalui, sesaat setelah menanti mesin dingin kembali, Bapak kemudian memasang kabel penghubung aki dan mesin agar mobil dapat dioperasikan kembali. Takdir berkata lain, saking kuatmya Bapak memutar obeng pengait aki, pengait yang sudah rapuh itupun patah. Langit sudah mulai gelap, lantas kami putuskan berjalan kaki mencari masjid untuk menunaikan shalat maghrib. Cek radiator mobil adalah sebuah keniscayaan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di tengah berkendara. Kuning...


                                                       mobil sesaat setelah asap mengepul


                                                       suasana jalan setelah mencari masjid

Hijaau. akhirnya hijau. Ini bukan karena hijau warna kesukaan saya. Hijau sepertinya menjadi simbol keberhasilan, kemakmuran dan kebahagiaan. Usai menyusuri jalan di antara persawahan, menanti bala bantuan, pukul 20.00 aku dan Bapak segera meneruskan perjalanan ke tujuan utama, bumi perkemahan MIN Tawanganom, Magetan. Sesampainya di sana terlihat tenda berdiri rapi mengelilingi lapangan. Dek Nisa dan seluruh teman-temannya berada di tengah lapangan melaksanakan apel malam. Api unggun semakin menambah kekentalan suasana pramuka. Setelah mengumandangkan Dasa Dharma Pramuka, anak-anak kelas 5 Madrasah Ibtidaiyyah itu berhamburan mengelilingi api unggun, tertawa, bertepuk tangan bernyanyi bersama, "api unggunnya sudah menyala... api unggunnya sudah menyala...", begitulah liriknya seingatku. Bapak saat itu menuju belakang tenda bergabung bersama para wali murid lainnya, dan aku lebih memilih menyendiri mencoba mengingat kembali kenangan berkemah semasa menjadi bantara saat SMA dahulu. Lelah seharian tadi akhirnya terbayar sudah, di tengah pandanganku menerawang langit menyorot rembulan, kembang api terpancar indah dari berbagai sudut, "Subhanallah, walhamdulillah, bumi-Mu begitu indahnya, bagaimana dengan jannah-Mu nanti Yaa Rabb...". Hijau!!

                                                                                           Bapak dan Dek Nisa










 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar