“Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah...” Qatâdah, Tafsîr al-Qurthûbî

Rabu, 10 Juli 2013

1 Romadhon 1434H ku


Allahu akbar, Allaahu akbar! Kumandang adzan maghrib terdengar nyaring dari speaker masjid terminal bus Maospati, Magetan. Pertanda telah datan bulan penuh rohmat, bulan penuh berkah, bulan Romadhon. Suasana hatiku masih tak menentu, awal romadhon kali ini aku tak merasakan special feeling seperti romadhon-romadhon sebelumnya. "Ya Robb, ada apa ini?", bisikku. 

Setelah beberapa menit duduk terdiam, kulihat lelaki berkopyah putih dengan sarung kotak-kota berjalan tergesa-gesa menuju masjid terminal. "Bapak!" panggilku. Pria parubaya itu hanya menoleh ke arahku lantas kembali melanjutkan perjalanannya tanpa menyapaku sepatah katapun. Beliau sedang tergesa-gesa karena tanggung jawabnya sebagai imam tarowih di salah satu masjid. Tapi aku yakin, sikapnya itu bukan karena marah padaku, itu karena prioritas.

Usai sholat maghrib, kami menuju tempat di mana mobil diparkir, sampai saat itu aku dan bapak belum memulai percakapan sepatah katapun. "Han, cepet", dengan nada biasa sang imam keluarga itu berkata padaku. Aku tak menjawab, sebab saat itu aku sedang sibuk dengan barang-barang bawaanku. Kulihat bapak sudah sampai gerbang terminal, sedang perjalananku baru sampai tengah-tengah terminal. Sang bapak membalikkan badan dan melihatku membawa dua tas lumayan berat. Beliau menghampiriku dan membawakan semua barang-barangku, aku tersenyum kecil. Lagi-lagi beliau berjalan lebih dulu dengan hentakan tergesa-gesa. Aku berlari, berusaha menyamakan langkah.

Sampai di dalam mobil, masing-masing dari kami mengatur posisi duduk. Bapak di bagian sopir, dan aku memilih duduk di kursi tengah. "Gak neng ngarep?" (gak di depan?), tanya bapak. "Mboten, mriki mawon" (tidak, di sini saja), jawabku.

Barulah ditengah perjalanan suasana menjadi cair, dugaanku benar, bapak memulai pembicaraan dengan mengutarakan posisinya saat itu. Bingung, tergesa-gesa, ditunggu orang banyak. Namun seumur hidupku, aku tak pernah melihat beliau marah, jadi aku yakin sebenarnya ini hanyalah masalah sepele bagi Bapak. "Huh, andai saja aku berangkat dari Jogja lebih awal, pasti nggak akan kayak gini", sesalku.

Sampai di rumah suasana sudah ramai, para tetangga transit di rumahku sebelum berangkat ke masjid bersama-sama, kebanyakan adalah anak-anak kecil teman bermain adikku. 

Sesi basa-basi usai, saatnya makan sebelum pergi ke masjid. Maklum, dari pagi aku tak makan sesuap nasipun. Nasi, bothok tempe dengan lauk telur dan tempe bagiku itu adalah makanan yang lebih dari cukup, enaknya super duper ni'maat. Setelah makan, aku membersihkan badan, keluar dari kamar mandi ,rumah sekejap kosong, sebelum adzan 'isya' berkumandang semua penghuni rumah sudah berangkat ke masjid. 

Usai berjalan beberapa meter, tibalah aku di masjid desa tempat di mana biasa aku dan keluarga sholat jama'ah. Allahumaftahli abwaba rohmatik, nyesssss, kaki kananku pertama menginjakkan masjid. Akhirnya nyess itu hadir. Romadhon benar-benar masuk di kalbuku. Yeaaaaaah, this is Romadhon!!! 

Lantas kulaksanakan sholat sunnah tahiyyat-ul masjid, masyaa Allah, rasanya beda dengan sholat-sholat biasanya, entahlah sampai-sampai aku tak bisa menggambarkan rasa ini. Sholat qobliyah 'isya', sholat 'isya' jama'ah, sholat ba'diyah 'isya' dan tibalah ibadah andal khusus bulan spesial, tarowih. "Allaahu akbar" (*takbirot-ul ikrom), seorang imam memimpin ibadah sunnah ini. Akhirnya air mataku luluh, jasad dan hatiku menangis, entah karena khusyu', atau karena terharu. Romadhon lagi-lagi menusuk mental dan spiritualku. Alhamdulillaah yaa Robb.

Magetan, 10 Juni 2013
1 Romadhon 1434 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar