Bismilillaah…
Rabu lalu aku menjadi
panitia sebuah konferensi internasional. Pesertanya dari berbagai negara dan
jenjang pendidikan, Indonesia, Singapore, Italia dan lain sebagainya, dengan
tingkat pendidikan SMA hingga magister. Tak usah takjub dalam-dalam wong aku
cuma “a gabut committee” alias panitia nganggur haha. Empat panitia dari UIN,
Islah, Mas Lahiq, Mas Hudi, Mas Ardi dan aku sendiri. Jadilah tak diragukan
lagi, aku satu-satunya panitia wanita dari UIN. 70an panitia lainnya dari UGM
kebanyakan. Sore itu sudah mulai terasa crowded di lokasi opening, Convention
Hall UIN Jogja. Panitia sudah rapi dengan dresscode mereka hitam putih. Aku
masih buluk sekali, seharian membantu lari sana sini berurusan dengan rektorat
dan jurusan IAT UIN, rencana pulang pondok untuk meng ganti pakaian gagal.
Saat keluar CH berniat untuk sarapan di waktu menjelang
maghrib (karena benar-benar tak sempat makan), ketua panitia terlihat
kebingungan. Mbak Ucun panggilannya. Ia berusaha menghubungi dosen UIN menanyakan
perihal welcoming speech tapi tak ada
pulsa. Karena hp ku sedang tak sehat, akhirnya kupinjamkan sim card berisi pulsa 10ribu-an. Di tengah menunggu
telp diangkat, mbak Ucun melihat salah satu panitia memakai celana hitam dan
atasan biru, “Ya Allaah, kok biru kae sopo” (Ya Allah, kok biru itu siapa),
raut wajahnya terlihat kecewa sebab ada
panitia memakai wrong dresscode. Duh, padahal aku sendiri juga tidak
membawa atasan putih.
Usai sholat maghrib, aku jadi kepikiran, kasihan mbak Ucun
jika tahu aku juga tidak memakai dresscode. Keluar dari masjid aku menuju
distro belakang UIN untuk membeli sepotong atasan putih bermotif bunga-bunga.
Di ruang ganti aku pakai sekaligus agar tidak bolak-balik ke kamar mandi. “Mbak
ini saya pakai langsung ya, buru-buru soalnya hehe” jelasku pada penjaga
distro, “iya mbak nggak papa”, dua gadis penjaga ketawa sendiri melihat
kelakuanku.
Perjalan dari distro ke CH, aku melewati berbagai warung
makan rasanya puingin makan tapi rasa hati mengganjal karena ada salah seorang
teman yang mengajak makan bersama. Akhirnya saya tetap mampir ke warung
membeli 3 es jeruk untuk teman panitia
sesama UIN tanpa memesan makanan karena tak tega membayangkan mereka kelaparan
dan aku kenyang.
Tibanya di CH, teras sudah mulai sepi karena panitia telah
masuk ruangan menempatkan diri di spotnya masing-masing. Aku memilih duduk
sendirian di teras sembari menikmati sebungkus es jeruk, dua bungkus lainnya
masih terbungkus rapih di kantong plastik. Belum ada separuh es jeruk kuteguk,
aku masuk CH untuk suatu urusan. Deg! Melihat seorang teman yang mengajakku
makan bersama tangannya kotor penuh minyak bekas pulukan makan tentunya. Hatiku
langsung perang dingin “sabar Hanaa, tenaang”. Bagaimana tidak, pikirku dia
tidak akan makan tanpa aku. Apalagi dengan keadaan orang-orang yang tak pernah
kukenal , makan bersama dengan orang yang sudah dikenal pasti lebih nyaman. Ok,
tak apa, sudah terlanjur.
Opening dimulai, aku memasuki ruang CH. Panitia bergerombol
dengan kelompok tugasnya, LO dengan LO, perkap dengan perkap, konsumsi dengan
konsumsi dan seterusnya. Aku lagi-lagi memilih sendiri di kursi paling pojok. Kelompokku
hanya dari UIN itupun mereka semuanya laki-laki. Tak mau berharap lebih dapat
wira-wiri bersama mereka. Alone is better hehe.
Usai acara selesai, ada seorang panitia dari UIN jalan di
sela-sela fix chairs CH, tentu dia melihatku, tapi menyapa saja tidak. Lalu aku
kembali menikmati kesendirian, si do’i lewat lagi di samping tempat dudukku,
“Eh, Hana” lalu pergi begitu saja. Baiklah, 2 es jeruk yang niat kuberikan tadi
sepertinya bernasib mencair dan membasi haha.
Perasaanku sudah tidak tenang, di CH memang sudah selesai,
tapi panitia sibuk dengan tugasnya, aku sebagai panlok UIN sepertinya belum
begitu dibutuhkan, teringat pula banyak urusan pondok yang harus diselesaikan,
daripada menganggur sendiri akhirnya aku pamit pulang. Tentu dengan perut
kosong dan kekecewaan 2 bungkus es jeruk.
Esoknya adalah main conference yang dihela di Convention
Hall lagi. Pesertanya bukan hanya dari peserta full conference dari berbagai
negara tapi peserta pendaftar yang hanya mengikuti konferensi satu hari saja.
Dari pondok sudah kurencanakan untuk membantu agak siang, sebab paginya aku
ingin mengerjakan tugas dan kuliah. Pukul tujuh lebih di tengah proses
menyelesaikan tugas di perpus pusat, aku mendapat sms dimintai tolong menemani
salah seorang panitia menjemput Rektor. Kuputuskan membolos dan tidak
mengumpulkan tugas.
Hari itu sebagai panlok (panitia lokasi) UIN setidaknya aku
masih bisa berdaya. Agak siang aku ijin kepada ketua public relation karena
ingin hati mengisi absensi kuliah. Setelah sholat dhuhur di pasca sarjana aku
lari menuju fakultas. Kupikir telambat, ternyata jam masuk kuliah diundur dan
aku tak bisa melihat informasi tersebab keadaan hp yang sedang sakit.
Kuliah pun usai, sore hari di bawah guyuran hujan aku
kembali ke CH. Ruangan sepi, peserta full conference telah masuk ruangan gedung
rektorat untuk melakukan paper presentation. Ada satu panitia UGM yang aku
kenal baik masih di CH, Mas Ato, “Mas, ada yang bisa tak bantu?” tanyaku
sebagai panitia pengangguran. Akhirnya aku mendapat kerjaan mengarahkan peserta
ke gedung rektorat.
Aku dan dua peserta berjalan meninggalkan Mas Ato, di tengah
perjalanan buru-buru menghindari hujan, kami sempat ngobrol sedikit. Satu
laki-laki berpawakan tinggi dan kekar yang berada di belakangku adalah keturunan
Indonesia Arab. Dia pernah tinggal di New York dan baru enam bulan tinggal di
Indonesia. Satu lagi seorang gadis SMA berambut lurus sebahu asli Indonesia
pernah mengikuti YES exchange di Amerika selama setahun. Perkenalan singkat itu
kami akhiri karena telah sampai di mulut pintu ruang paper presentation. “Ok,
you can enter here. Good luck for your presentation”, tutupku.
Sebelum maghrib aku memaksakan diri harus ke perpustakaan
mengerjakan tugas yang kemarin tak jadi kukumpulkan. Tapi karena beberapa
urusan, jadilah wira-wiri perpus dan CH. Merasa sangat tidak efisien, pupus
harapan melembur di perpus, tas ajaib berisi seluruh peralatan sholat, sabun,
laptop lengkap dengan charger kuboyong ke CH.
Pukul tujuh lebih aku kembali lagi ke perpus, benar-benar
ingin segera menyelesaikan tugas. Sampai di depan lobi, terlihat petugas perpus
telah memakai jaket masing-masing, ada yang sedang sibuk mematikan komputer,
bahkan ada yang sudah lengkap memakai helm menenteng tas kecil siap pulang ke
rumah. Alamaaaaak, taqdir nya memang Allah belum mengijinkan mengerjakan tugas.
Di pondok jelas aku tak bisa karena tugas yang satu ini membutuhkan sinyal
internet super cepat untuk buffering
youtube. Aku menyetir motor kencang, berharap masih bisa mengikuti rutinan
diba’an malam jum’at.
Alahmdulillah, sampai pondok jam 8 kurang. Diba’an belum
dimulai. Kusempatkan merebahkan tubuh sebentar. Lalu menghadiri majlis rutin
tersebut di musholla komplek.
Selesainya diba’an, aku cuci muka, gosok gigi dan langsung
nyungsep di atas kasur. Sekitar pukul satu dini hari aku terbangun, teman satu
kamar bernama Silma batuk tak henti-henti hingga muntah. Tak lama, hpku
menerima sebuah sms, Rahma menanyakan obat muntah. Kujawab aku tak punya. Sms
kedua mengerikan, “reneo aku wes ra kuat” (kemarilah aku sudah tidak kuat).
Langsung aku beranjak dari tempat tidur menyabet jaket di gantungan belakang
pintu dan dompet. Ada dua kemungkinan, aku harus keluar untuk beli obat atau
mengantar Rahma saudara kembarku ke rumah sakit. Gedung Rahma yang terletak
tepat di samping gedung kamarku membuat aku tak lama menuju kamarnya. Terlihat
dia sudah sangat lemas dan merintih kesakitan. Aku langsung menelpon ibu dan
segera ibu menanyakan beberapa nama obat cadangan. Di saat-saat seperti inilah
aku merasa betapa kerennya Ibu sebagai dosen Akbid poltekes, sebab dulu setamat
SMA aku disuruh melanjutkan kuliah di sana tapi tak ada sedikitpun ketertarikan
kesana. Bahkan terkesan mengentengkan jurusan kesehatan, duh.
Baik, obat cadangan aku tak punya, akhirnya segera
kupercepat langkah menuju parkiran depan masjid utama untuk mengambil motor.
Terlihat pukul satu dini hari seorang Habib menantu Gus Endar dan Kyai Najib
mengobrol di depan teras rumah. Ya Robb, malunya aku seorang santri putri
tengah malam keluar membawa motor pula. Telah menjadi kebiasaan, setelah
menuntun motor menjauhi ndalem Bu Nyai, aku baru bersiap menstarter motor.
“Bismillaah Ya Allah, paring lancar lan slamet”, batinku.
Setelah melewati 2 gang pondok, aku sampai di ruas jalan
utama, terlihat beberpa santri putra bersarung jalan-jalan sambil mengobrol
santai. Mungkin memang mereka sedang mencari udara malam atau sekedar memenuhi
amanah jaga keliling. Entahlah.
Kugas motor sekencang-kencangnya sambil membayangkan rute apotik
K-24 yang sudah pasti buka 24 jam. Sebelum sampai ke apotik, kutemukan sebuah
IGD masih beroperasi, aku tanya kepada salah satu perawat megenai pembelian
obat, tapi ternyata mereka tak bisa melayani. Lalu kuceritakan kondisi saudara
kembarku yang sedang kritis di pondok. Sang perawat menyarankan untuk dibawa ke
UGD rumah sakit. Kemudian kutanya lagi di mana dapat kutemui taxi yang biasa mangkal
di dekat sini. Tepat seperti pikiranku, daerah kampong bule tak jauh dari
pondok. Langsung kutancap gas menuju pemangkalan taxi. Oh dunia malam, saya
cuma bisa istighfar dan mohon keselamatan. Bagaimana tidak, hura-hura
diberbagai sudut, ada yang minum hingga kliyengan, ada yang sekedar nongkrong
merokok sambil mensiuli pengendara motor memakai rok lebar, aku.
Ketemu! Kuketuk jendela taxi,setelah bangun dan mengumpulkan
nyawa, dengan bahasa kromo inggil kupinta sopir segera mungkin mengikutiku
menuju pondok menjemput Rahma.
Sampai di pondok kupakaikan rok dan jaket, Si Rahma begitu
lemas, dia terus merintih sambil menyandarkan tubuhnya. Aku bopong segera ke
dalam taxi. Kusuruh teman sekamarnya menyiapkan satu kresek kalau nanti
sekiranya dia ingin muntah di taxi, sebuah tas ransel kupinta untuk diisi satu
stel baju tidur, under wear dan mukena. Siapa tau Rahma harus di rawat inap, melihat kondisinya
yang sangat tak berdaya. Ternyata sudah 3 jam ia muntah terus menerus tanpa
bercerita pada teman sekamarnya.
Sambil terus menyandar ditubuhku, Rahma kupinta memakai
sandal terlebih dahulu. Ada puluhan sandal tanpa pasangan di hadapan, jelas
semua adalah sandal hasil ghoshob. “Ya Allaah niki dhorurot, kulo ngghoshob
setunggal kagem Rahma” (Ya Allah, ini darurat, saya ngghoshob sandal satu untu
Rahma), niatku. Karena tak mungkin aku harus mencari dahulu sandal Rahma yang entah
di mana Ia meletakkan. Kagetku, dengan keadaan yang sudah benar-benar kritis
seperti itu dia masih bisa memilih sandal, kakinya diarahkan ke kanan, menolak
sandal ghoshob warna hijau di kanan dan putih di kiri pilihanku itu. Rupanya
rahma memilih sandal Mbak Bontot temanku satu lantai yang masih utuh dengan
pasangannya. Perjalanan dari gedung Rahma menuju taxi, kami melewati parkiran
dan tentu gedung pondokku. Pas! Ada Mbak Bontot juga ikut terbangun dan
melingukkan kepala keluar pintu. “Mbaaak aku ngampil sandalmu” (Mbaak aku
pinjam sandalmu), ijinku. Akhirnya sandal yang dipakai Rahma halal haha.
Sampainya di UGD, Rahma di suntik lengannya. Aku registrasi
di lobi dan Mbak Umi yang sedari tadi menemani dan mengikuti menggunakan sepeda
motor, menjaga Rahma. Beberapa menit aku mengurusi adminitrasi dan menebus
obat, terakhir kutanya dokter apa perlu rawat inap saudara kembar saya ini,
ternyata tidak. Langsung kucarikan taxi, Rahma dan Mbak Umi pulang menggunakan
taxi, aku mengendarai sepeda motor sekaligus mampir ke swalayan.
Keadaan Rahma langsung membaik, tak lagi muntah, sudah mulai
mau bicara dan tidak lagi merengek haha. Setelah disuapi teh hangat, roti dan
minuman ber-ion, dia kutinggal kembali ke kamar. Setengah tiga pagi, aku
putuskan untuk mandi dan sholat malam.
Alhamdulillaah, malam ini begitu panjang..
Yogyakarta, December 5th, 2015