“Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah...” Qatâdah, Tafsîr al-Qurthûbî

Selasa, 25 Agustus 2015

Buah Pengganti Jambu

Siang ini aku menangis, bukan tersebab berita duka atau hilangnya orang tercinta. Namun karena ni’mat Allah yang terlalu besarnya. Sangat besar. Sungguh besar. Tak tau lagi bagaimana mengungkapkannya. It so very hard to explain.

Beberapa hari yang lalu pagi sekali aku ke pasar dengan seorang adek pondok mengambil pesanan kerupuk satu ball untuk lauk sekamar. Kami anggota el-Cholil patungan tiga ribu guna membeli kerupuk itu, tentu sangat efisien cara ini, yang biasanya keluar sore beli lauk, sekarang tidak pernah karena sudah tersedia teman makan kriuk-kriuk. Tujuan lain ke pasar Prawirotaman (nama pasar tsb) adalah mencari buah favorit aku jambu biji. Bukan karena rasanya paling enak di antara buah-buah lainnya, tapi karena termasuk buah yang mudah di dapat (bukan buah musiman), harganya sesuai kantong dan tidak cepat busuk. Ya setidaknya dapat asupan vitamin meski hanya jambu. 

Belum rejeki aku, dua penjaja buah masing-masing memiliki stok jambu namun tak secantik biasanya. Aku pun mengurungkan niat.

Alhamdulillah esoknya diberi dua tomat Ibu Lotek langganan tiap hari. 

“iki di gowo tomat e”, sambil memasukkan dalam kantong plastik beserta sebungkus lotek dan kerupuk.
 
“mboten Buuuk, sampuuun, lah laah”, aku ngeyel. 

Pembelaanku tak berhasil, dua buah tomat segar nan ranum harus kubawa pulang.

“alhamdulillaah hahaha”, batinku.



Keesokan harinya aku kembali lagi membeli lotek, hampir tiap siang jika tak ada jadwal kuliah pasti aku ke sana. Bukan hanya ramuan bumbunya yang ni’mat, Ibu Lotek selalu ramah padaku, terasa Sang Ibu telah sukses berjualan syari’ah hingga membuat langganannya datang kembali. Teori marketing dan semacamnya berhasil Ibu aplikasikan meski tanpa belajar teori muluk-muluk. Aarrgh aku kalah, mahasiswi keuangan islam kalah jauuh.

Karena mengejar jama’ah dzuhur di masjid, aku hanya memesan dan mengambilnya usai sholat. Namanya juga perempuan, pasti mampir-mampir, selepas dari masjid aku masih menyempatkan diri ngobrol dengan teman selantai dahulu. Setelah itu aku keluar mengambil motor menjemput pesanan lotek yang pasti sudah jadi sedari tadi. 

“Buuuk, taksih? Nambah tigo kagem rencang kulo”, belum sempat turun dari motor aku sudah membuka percakapan ala orang-orang di kampungku.

“walaah telas e nduk. Ki lho resik”, aku menuju lemari kaca memeriksa sebuah baskom yang ternyata memang tinggal beberapa potong kecambah. 

“nggih pun, kalih welas nggih, niki”, aku membayarnya kontan.

“nggowo tomat maneh ya, ki”, lagi-lagi Ibu memindahkan 2 persediaan tomat dari lemari kacanya ke dalam kantong plastik lotek tanpa “iya” ku.

“mpuun, setunggal mawon Buk”, aku menawar.

“halah wes to, nyoh”, untuk kesekian kalinya Ibu ngueyel.

“nggih pun matur suwun, monggo Buk”, aku berbalik arah mengambil motor.

“Yo nduuk, makasih yaa”, jawab Ibu.

“Monggo Buk”, inilah orang jawa, berpamitan kurang afdhol kalau belum lebih dari sekali. Aku hilang di telan jalanan. 

 Sorenya usai dari jama’ah ashar di masjid aku mendapat pesan dari salah seorang Mas-mas sesama asal Magetan yang sedari pagi meminjam sepeda motorku untuk takziyah di Bantul. Kebetulan Masnya dulu pernah jadi pimred buletin Madani dan aku bersama kedua kembaranku adalah salah tiga tim redaksinya. Selain itu ternyata Ibunya adalah murid Ibuku semasa kuliah di poltekes Akbid Magetan, jadilah Ia tak asing dalam keluarga kita. Si Mas bermaksud mengembalikan motorku, ia menunggu di depan Bank BRI pinggir jalan sesuai instruksiku. Sampainya di tempat janjian, bersama soerang lelaki tak kukenal ia menanti di sebrang jalan. 

“makasih yaa, stnk ne tak dekek neng jok motor”, katanya.

“halah santai”, jawabku.

Langsung setelah memberikan kunci motor padaku, ia meneruskan perjalanan kembali (mungkin) ke Magetan bersama temannya itu.

Aku sendiri berencana menuju kantor pos nol km Malioboro untuk mengirim pesanan majalah al-Munawwir salah satu pelanggan dari Malang. Setelah itu mampir ke toko Joly membeli kado untuk adik sekamar, Frida panggilannya.

Usainya jalan-jalan sore, sampai di parkiran depan ndalem Bu Nyai kuperiksa bagasi motor, aku baru sadar ada kresek hitam di dalamnya, Ya Allaah isinya jeruk dan buah naga. 

Aku tak menyangka, dari bulan puasa lalu ingin beli buah naga sendiri namun belum kesampaian, melalui hambaNya Allah memberiku tanpa biaya dan usaha. Alhamdulillaah. 

Sedikit terbesit juga sehari sebelumnya ingin makan buah jeruk, karena bibir sudah mulai kering dan perih pertanda akan pecah-pecah. Masyaa Allah, lagi-lagi Allah kabulkan.

Aku bahagia bukan main, sampai pondok kubagikan pada cucu-cucuku, eh pada teman-temanku, anak kamar dapat jatah satu-satu, lainnya tiap kamar kujatah satu. Pas, satu kantong buah jeruk habis. 

Paginya (hari ini), aku tetiba ingin makan jeruk lagi, tapi jeruk saja aku sudah tak punya. Dua jam kemudian melalui Mami Nadia (tetangga kamar) Allah beri lagi satu jeruk untukku.

“Mbak Hanaa, nih Mami kasih jeruk satu buatmu”, sembari senyum renyah Mami memberikannya padaku.
Sedikit tidak enak rasanya karena di hadapan dua adek kamar, hanya aku yang di beri. Ya mau bagaimana lagi. 

Siang sebelum dhuhur Si Frida dan tetangga kamar pergi belanja ke swalayan, maka sebelum berangkat kuamanahi memesan lotek terlebih dahulu.

“hoee siapa yang mau titip suket lagi, tuh ke frida”, tawarku. Jadilah empat bungkus lotek minta diracikkan.
Ketika usai wudhu menuju kamar untuk siap-siap sholat dhuhur, terdengar suara pintu terbuka, Frida teriak dari kejauhan, “Mbaaak kambi Ibu’e diwenehi tomat maning, ki nggo mbak Hana, jare Ibu’e ngono hahaha”.

“Ya Allaah, tenane?! alhamdulillaah”, jawabku.

Sesaat setelah itu jantungku berdegub kencang, “Duh Gustii, sakkabehanipun puji kagem Panjenengan”. Beberapa hari berturut-turut Allah beri buah pengganti jambu. 

Aku buru ke masjid karena sudah iqomah, usai makmum mabuk, dan tiba saatnya wirid bersama, 

“Ilaahi yaa Robbi… subhanallah, subhanallaah… dst”, mata ku terpejam, mengingat betapa Maha Sucinya Allah dengan segalaa keagunganNya.

“Alhamdulillah, Alhamdulillah, alhamdulillaah… dst”, terbayang-bayang ni’mat Allah yang sungguh-sungguh besar selama ini. Setetes air keluar dari kelopak mataku. Aku mulai seseunggukan menangis. Tak sabar kudo’akan Ibu Lotek yang sudi mengasihi wanita berlumur hina ini.

Allahu akbar, Allahu akbar, Allaahu Akbar… dst”, tak dapat kuungkapkan apa-apa. Aku tenggelam dalam syukur bersamaNya.

Usai Imam menuntaskan do’a jahrnya, seperti biasa kulayangkan fatihah untuk Kanjeng Nabi Muhammad, para Kyai, guru, dosen dan ustadz yang telah mengajariku banyak hal yang manfaatnya terasa hingga saat ini, lalu kelompok ketiga adalah keluarga besar, anak cucuku beserta suamiku kelak, lantas untuk beberapa hajatku dan spesial untuk Ibu Lotek. Kubayangkan wajahnya dalam-dalam, tanpa kata kuungkapkan pada Allah lewat bahasa batin, memohon Allah senantiasa menjaganya, memberi barokah dalam usianya dan selalu dilancarkan rizqinya. 

Aku pun berjalan kembali ke gedung pondok dengan mata basah menahan senggukan tangis tiada kira.



With tears,

Krapyak, 25th August, 2015, 14.49 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar