Wajah-wajah itu tak pernah lupa dari
ingatan. Si Tembem Devi dan Si Tukang Takjub Devi. Dua Devi. Kami jarang
bertemu, kami tak sering mengirim pesan atau telepon untuk melepas rindu. Hampir
semua kehangatan dalam pertemuan Allah yang menjadi penentu. Tak tau, sendiri
di tengah terik matahari, atau melamun sejenak usai kuliah pagi, atau sore saat
lelah melanda diri tiba-tiba saja dengan episode-Nya yang begitu indah, Allah
pertemukan kami. Makan, bercanda, hingga mengutarakan ikhtiyar bersama demi
menggapai mimpi, biasanya itu yang kami lakukan saat berkumpul.
Baik, kuperkenalkan dulu Devi
Tembem, dia adalah anak paling manja dalam keluarga kecil ini. Kami sepakat
memanggil tembem karena memang pipinya empuk bak kue bakpao. Ini juga
memudahkan kami dalam membedakan dua sosok yang memiliki nama sama, Devi. Dan yang
paling penting, Devi Tembem sangat legowo dan bahagia mendapat julukan seperti ini.
Oya, mengapa Ia paling manja? Sebab selalu saja meminta tolong disertai
rengekan, kurang percaya diri kalo sudah di hadapan dosen atau petugas administrasi.
Sudah beberapa kali Devi Tembem mengutarakan keinginannya perihal masalah
internalnya, “Mamiii, aku pokoknya harus dewasa, harus pemberani!”. Dia
memiliki panggilan khusus untuk saya, Mami. Mungkin saya terlalu sering menempa
hidupnya agar lebih dewasa, bahkan melebihi ibu kandungnya sendiri haha. “Udah
ah nggak usah sok-sok’an”, jawabku canda. “Iiihh mami jahat”, aku pun tertawa
bahagiaa. Tak jarang juga setiap gadis asli Jogja ini curhat atau bercerita
suatu hal, selalu saya respon dengan ledekan atau sesuatu yang menjatuhkan
(tentu tanpa menyakiti hatinya), berharap psikis dan emosinya semakin kuat dan
tak mudah rapuh. Sebab indahnya suatu alam tak tercipta dari air yang tenang,
pasti banyak tempaan yang ia terima sebelumnya. Selain itu saya rasa sikap yang
seperti ini malah menjadi kenangan dan bumbu terbaik dalam sebuah hubungan
(khususnya pertemanan).
Eits jangan salah, dibalik sifat
kekanak-kanakannya Devi Tembem memiliki potensi luar biasa, Ia sering membawa
nama baik Provinsi DIY dalam ajang MTQ melalui bakat suaranya. Di pondok
pesantren komplek tahfidz Hindun, Krapyak, Jogjakarta, ia juga dikenal
santriwati yang baik, tak jarang Bu Nyai nya sering mengajak Devi untuk sekedar
nderekke dalam berbagai acara. Sebagai vokalis hadroh juga, Devi Tembem sudah
mengisi puluhan acara dari khitan hingga walimahan. Bahkan sempat dia mengajak
saya membuat grup music positive dengan salah satu pemegang alat music (piano) Teh
Icha, salah satu putri Aa’ Gim yang kebetulan sama-sama mondok di Hindun. Konsep
sudah matang, beberapa hari sebelum rencana meet up dengan Teh Icha, Devi
Tembem lagi-lagi merengek, “Mamiiii, kabar buruk. Teh Icha udah boyong, dia mau
nikah”. “Oya?! Alhamdulillah dong”, jawabku. “iiih Mamii, kita nggak jadi bikin
grup musik dong”, gayanya persis anak kelas 3 SD, bikin gemes.
Lain lagi dengan Devi yang satunya,
Devi bukan tembem. Dia anak yang suka takjub dan nggumunan. Tapi bukan
sembarang nggumunan. Karena setiap yang ia dengar atau lihat, jika itu adalah
cerita atau kabar yang membahagiakan, kalimat yang pertama kali ia lontarkan
adalah kalimat thoyyibah, sekalipun itu bagi orang awam biasa saja, menurut Ia
semua ni’mat adalah luar biasa. Devi paling senang jika saya berhasil mengerjai
Devi Tembem, dia akan tertawa terbahak-bahak dan berkata “kalian itu Masya
Allaah, lucu bangeet hahaha. Lagi Han, lagi..”.
Gadis kelahiran Brebes ini adalah
anak Muhammadyah tulen, sekarang Ia tinggal di mu’allimat (salah satu lembaga tahfidz
milik Muhammadyah) sebagai musyrifah. Namun dari awal bertemu hingga saat ini
tak pernah kami risau atau berdebat kecil untuk masalah-masalah seperti ini. Karena
memang persaudaraan ini terbentuk murni karena atas izin Allah, atas nama cinta
*ciyee. Bahkan pernah Devi mendesak ingin sekali tidur bergiliran di pondokku
dan di pondok Devi Tembem. Karena kebetulan pula pondok saya dan Devi Tembem
hanya berjarak 3-4 rumah. Padahal ia tahu betul pondok kami adalah pondok NU
yang didirikan oleh almarhum Kyai Munawwir –semoga Allah merohmatinya- dan menantu
beliau, almarhum Kyai Ali Maksum –semoga Allah merohmatinya- jadi antara NU
maupun Muhammadyah, kami saling mengisi saling menguatkan. Masya Allah.
Dari ketiga keluarga kecil kami,
Devi ini yang paling sibuk. Ngajar sana-sini, pengurus kopma (koperasi
mahasiswa) sejati, hingga bisnis mudhorobah atau usaha milik sendiri. Dan sekali
lagi, di tengah kesibukan masing-masing selalu saja Allah pertemukan kami tanpa
rencana dan tak terduga.
Dalam pertemuan tak terduga, makan
atau sekedar minum es, biasanya kami saling menasihati, tapi bukan dengan
bahasa orang tua masa kini, tentu dengan logat dan gaya anak muda,
menggebu-gebu disertai tawa canda. Sekilas terlihat hanya sebuah percakapan
biasa, namun jika mau menghadirkan hati, pertemuan ini bisa jadi bentuk
amaliyyah ayat wa ta’awanu ‘alal birri wat taqwa.
Semoga Allah senantiasa menjaga kalian, Devi Astriyani dan Devi Kiki.
Tak terganti dengan banyaknya harta
Persahabatan tak kan terwujud tanpa kasih dan rasa cinta
Ketika tangan melingkar di pundak, terasa kasih sayang seorang
teman
Ketika tangan tergenggam, jalinan kasih melangkah bersama
Oh temanku jangan lupakan aku
Islam telah mengajarkan umatnya tentang arti seorang sahabat, saling
menolong dalam kebaikan
Persahabatan-Song special for "Dua Devi"
https://soundcloud.com/fatkhul-tsani-rohana/persahabatan
With love,
Krapyak, Yogyakarta, Kamis, 13 Agustus, 2015. 12.19 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar