“Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah...” Qatâdah, Tafsîr al-Qurthûbî

Kamis, 13 Agustus 2015

Dua Devi

Wajah-wajah itu tak pernah lupa dari ingatan. Si Tembem Devi dan Si Tukang Takjub Devi. Dua Devi. Kami jarang bertemu, kami tak sering mengirim pesan atau telepon untuk melepas rindu. Hampir semua kehangatan dalam pertemuan Allah yang menjadi penentu. Tak tau, sendiri di tengah terik matahari, atau melamun sejenak usai kuliah pagi, atau sore saat lelah melanda diri tiba-tiba saja dengan episode-Nya yang begitu indah, Allah pertemukan kami. Makan, bercanda, hingga mengutarakan ikhtiyar bersama demi menggapai mimpi, biasanya itu yang kami lakukan saat berkumpul.

Baik, kuperkenalkan dulu Devi Tembem, dia adalah anak paling manja dalam keluarga kecil ini. Kami sepakat memanggil tembem karena memang pipinya empuk bak kue bakpao. Ini juga memudahkan kami dalam membedakan dua sosok yang memiliki nama sama, Devi. Dan yang paling penting, Devi Tembem sangat legowo dan bahagia mendapat julukan seperti ini. Oya, mengapa Ia paling manja? Sebab selalu saja meminta tolong disertai rengekan, kurang percaya diri kalo sudah di hadapan dosen atau petugas administrasi. Sudah beberapa kali Devi Tembem mengutarakan keinginannya perihal masalah internalnya, “Mamiii, aku pokoknya harus dewasa, harus pemberani!”. Dia memiliki panggilan khusus untuk saya, Mami. Mungkin saya terlalu sering menempa hidupnya agar lebih dewasa, bahkan melebihi ibu kandungnya sendiri haha. “Udah ah nggak usah sok-sok’an”, jawabku canda. “Iiihh mami jahat”, aku pun tertawa bahagiaa. Tak jarang juga setiap gadis asli Jogja ini curhat atau bercerita suatu hal, selalu saya respon dengan ledekan atau sesuatu yang menjatuhkan (tentu tanpa menyakiti hatinya), berharap psikis dan emosinya semakin kuat dan tak mudah rapuh. Sebab indahnya suatu alam tak tercipta dari air yang tenang, pasti banyak tempaan yang ia terima sebelumnya. Selain itu saya rasa sikap yang seperti ini malah menjadi kenangan dan bumbu terbaik dalam sebuah hubungan (khususnya pertemanan).

Eits jangan salah, dibalik sifat kekanak-kanakannya Devi Tembem memiliki potensi luar biasa, Ia sering membawa nama baik Provinsi DIY dalam ajang MTQ melalui bakat suaranya. Di pondok pesantren komplek tahfidz Hindun, Krapyak, Jogjakarta, ia juga dikenal santriwati yang baik, tak jarang Bu Nyai nya sering mengajak Devi untuk sekedar nderekke dalam berbagai acara. Sebagai vokalis hadroh juga, Devi Tembem sudah mengisi puluhan acara dari khitan hingga walimahan. Bahkan sempat dia mengajak saya membuat grup music positive dengan salah satu pemegang alat music (piano) Teh Icha, salah satu putri Aa’ Gim yang kebetulan sama-sama mondok di Hindun. Konsep sudah matang, beberapa hari sebelum rencana meet up dengan Teh Icha, Devi Tembem lagi-lagi merengek, “Mamiiii, kabar buruk. Teh Icha udah boyong, dia mau nikah”. “Oya?! Alhamdulillah dong”, jawabku. “iiih Mamii, kita nggak jadi bikin grup musik dong”, gayanya persis anak kelas 3 SD, bikin gemes.

Lain lagi dengan Devi yang satunya, Devi bukan tembem. Dia anak yang suka takjub dan nggumunan. Tapi bukan sembarang nggumunan. Karena setiap yang ia dengar atau lihat, jika itu adalah cerita atau kabar yang membahagiakan, kalimat yang pertama kali ia lontarkan adalah kalimat thoyyibah, sekalipun itu bagi orang awam biasa saja, menurut Ia semua ni’mat adalah luar biasa. Devi paling senang jika saya berhasil mengerjai Devi Tembem, dia akan tertawa terbahak-bahak dan berkata “kalian itu Masya Allaah, lucu bangeet hahaha. Lagi Han, lagi..”.

Gadis kelahiran Brebes ini adalah anak Muhammadyah tulen, sekarang Ia tinggal di mu’allimat (salah satu lembaga tahfidz milik Muhammadyah) sebagai musyrifah. Namun dari awal bertemu hingga saat ini tak pernah kami risau atau berdebat kecil untuk masalah-masalah seperti ini. Karena memang persaudaraan ini terbentuk murni karena atas izin Allah, atas nama cinta *ciyee. Bahkan pernah Devi mendesak ingin sekali tidur bergiliran di pondokku dan di pondok Devi Tembem. Karena kebetulan pula pondok saya dan Devi Tembem hanya berjarak 3-4 rumah. Padahal ia tahu betul pondok kami adalah pondok NU yang didirikan oleh almarhum Kyai Munawwir –semoga Allah merohmatinya- dan menantu beliau, almarhum Kyai Ali Maksum –semoga Allah merohmatinya- jadi antara NU maupun Muhammadyah, kami saling mengisi saling menguatkan. Masya Allah.

Dari ketiga keluarga kecil kami, Devi ini yang paling sibuk. Ngajar sana-sini, pengurus kopma (koperasi mahasiswa) sejati, hingga bisnis mudhorobah atau usaha milik sendiri. Dan sekali lagi, di tengah kesibukan masing-masing selalu saja Allah pertemukan kami tanpa rencana dan tak terduga.

Dalam pertemuan tak terduga, makan atau sekedar minum es, biasanya kami saling menasihati, tapi bukan dengan bahasa orang tua masa kini, tentu dengan logat dan gaya anak muda, menggebu-gebu disertai tawa canda. Sekilas terlihat hanya sebuah percakapan biasa, namun jika mau menghadirkan hati, pertemuan ini bisa jadi bentuk amaliyyah ayat wa ta’awanu ‘alal birri wat taqwa.

Semoga Allah senantiasa menjaga kalian, Devi Astriyani dan Devi Kiki. 
 
Devi kiki - Devi Astriyani - Kanjeng Mami


Persahabatan itu sangat berharga
Tak terganti dengan banyaknya harta
Persahabatan tak kan terwujud tanpa kasih dan rasa cinta
Ketika tangan melingkar di pundak, terasa kasih sayang seorang teman
Ketika tangan tergenggam, jalinan kasih melangkah bersama
Oh temanku jangan lupakan aku
Islam telah mengajarkan umatnya tentang arti seorang sahabat, saling menolong dalam kebaikan

Persahabatan-Song special for "Dua Devi"
https://soundcloud.com/fatkhul-tsani-rohana/persahabatan 



With love,


Krapyak, Yogyakarta, Kamis, 13 Agustus, 2015. 12.19 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar