Bismillaah..
Ini kisah air ajaib dari Allah tentunya. Suatu hari seorang
adek pondok mendekatiku meminta ridho atau bahasa jawanya pangestu karena esok
harinya Ia akan melaksanakan ujian nasional kelulusan MAN. Mungkin karena saya
terlampau cerewet selalu mengingatkannya belajar, di samping itu tiada orang
tua sebagai tempat curahan (maklum di pondok), jadilah orang yang lebih tua di
pondok menjadi ganti sosok ayah dan ibunya.
Malam setelah shalat ‘isya, aku bertanya pada gadis dari
tanah Ngapak itu siapa nama panjangnya berapa nomor ujiannya, dan apa mata pelajaran
yang besok Ia ujiankan. Lantas Ia tuliskan pada secarik kertas mungil dan
memberikannya padaku “Besok ujianku IPS mbak, makasih yaa, love you, love youuu”,
tuturnya genit. “Hoe! Biasa aja keleus”, jawabku dengan nada meledek. Yaa...
menurutku hal semacam inilah yang malah menambah bumbu kedekatan kita, tidak
ada sakit hati di dalamnya. Jika saya pura-pura feminim terkadang malah
diledekin bahkan ada yang sedih karena lantai satu jadi terasa sepi. Ah
entahlah.
Mukena terusan yang masih kugunakan selepas shalat ‘isya
tadi sengaja tak kulepas langsung kugunakan untuk membaca do’a khusus untuk
Zakiya. Dengan alas sajadah aku menemukan satu sudut yang lumayan untuk
mujahadah, depan pintu masuk gedung. Sebab namanya hidup di pondok, tidak ada
satu pun ruangan pribadi, hampir semuanya berisik dan penuh gerumulan, kecuali
kamar mandi di atas jam delapan malam, pasti kosong, tapi tak mungkinlah aku
berdoa di atas jamban.
Tepat di depanku, sudah kusedikan seperempat air gelas berserta tutupnya, mushaf
Al-Qur’an dan tak lupa kertas bertuliskan nama dan nomor ujian Zakiya. Tak
jarang pemandangan manusia berseliweran lewat di sampingku, sesekali terdengar suara
aneh santriwati yang asik diskusi, ada juga yang sedang mengaji atau teriakan
ajakan nongkrong di koperasi. Awalnya sedikit mengganggu, tapi kucoba hadirkan
hati dalam mujahadah ini. Kubuka dengan bacaan ta’awudz berharap setan tak ikut
campur dalam do’a-do’aku. Lanjut kubaca suroh al-Fatihah, lantas satu per satu
ku kirim kemuliaan bacaan suroh pertama dalam Al-Qur’an ini. Pertama Kanjeng
Nabi Muhammad saw, Syaikh ‘Abdul Qodir Al-Jailani, Kyai-Kyai yang telah
menuntunku, Mbah Zainal Abidin Munawwir (Krapyak, Jogja), Bu Nyai Ida Fatimah
Zainal (Krapyak, Jogja), Kyai Najib Abdul Qodir sekalian (Krapyak, Jogja), Kyai
Wahid (Panekan, Magetan), dan Kyai sekaligus Mursyid Thoriqoh, Kyai Syaifuddin
Muhammad (Sumursongo, Magetan). Kedua adalah kedua orang tua Zakiya. Ketiga
adalah guru-guru Zakiya, dari TK hingga MA, ustadz-ustadzah yang telah
mengajarkan ‘ilmu agama padanya. Tak lupa pengawas ujian Zakiya khusus mata
pelajaran IPS. Dan yang terakhir, Fatihah untuk Zakiya sendiri, kusebut nama
panjangnya, nomor ujiannya. Jidatku mengkerut, mataku tertutup rapat, terlihat
wajah Zakiya dalam bayangan, memohon pada Allah semoga Ia lancar, diberi
petunjuk dan ketenangan saat mengerjakan. Saat-saat inilah dunia terasa sunyi,
hanya ada aku yang lemah dan Dia Sang Maha Segalanya. Aku menangis,
berkali-kali kumohon pada Allah agar esok Zakiya mudah dalam melewati ujian IPSnya.
“Ya Allaah njenengan paringi kelancara, ketenangan, kemudahan lan petunjuk
kagem saudari kulo Zakiya”, berkali-kali kumengemis. Lalu kubaca fatihah lagi
untuk mengawali bacaan suroh Yasin.
Usai membaca suroh Yasin, aku kembali berdo’a untuk bocah
berkulit kuning itu. Kembali menambah kekhusyu’an diri, benar-benar memohon
pada Ilahi sebab saya sadar diri hanya seonggok manusia yang berlumur dosa di
sana-sini. “Ya Allah bantu Zakiya dalam ujian IPSnya besok, hamba memohon
kepadamu , beri kelancaran pada dirinya, beri ketenangan saat mengerjakan,
berilah petunjuk dalam menjawab seluruh soal. Berikan pula hasil yang terbaik
untuk masa depannya, Al-Fatihah”. Kemudian kutiupkan dalam air mineral yang
telah tersedia di hadapanku, ku tutup rapat gelas tersebut, lalu mengusap muka
dengan kedua tanganku sebagaimana layaknya orang yang selesai berdo’a, selain
muka kuusapkan pula ke kedua lengan tanganku, menuju perut dan punggung.
Berharap barokah bacaan kalimat thoyyibah tadi juga menempel pada diriku. Ini bukan
ritual klenik, apalagi bid’ah dholalah, sekedar simbol dan kebiasaan santri. Sama
halnya ketika anda berdo’a sebelum tidur dan mengusapkannya ke seluruh tubuh. Memang
tidak bisa dilogikan, karena ini benar-benar hanya hubungan hamba dengan Tuhan,
tak terhitung, tak terdefinisi.
“Jek, ki sesuk diombe pas arep mangkat ujian, jo lali moco
Fatihah disik”, nama aslinya memang Zakiya, tapi saya memiliki panggilan sayang
tersendiri, Jekicen. Dia bahagia dan tidak pernah marah saat saya panggil
seperti itu,so why not?
“Ya Allaah, Mbak Hana baik tenan’e. Oke, oke. Love yoouu
muaach”, genitnya kumat.
“Iiih, a to the lay, alay haha”, kita berdua tertawa
bersama.
***
Terik matahari Jogja siang itu
begitu menyengat, sepanjang perjalanan dari kampus ke pondok rasanya ingin
cepat nyungsep di pojokan kamar. Setelah melewati 30 menit perjalanan, akhirnya
saya tiba, masuk pondok sudah di sambut Si Jekicen, “Mbak Haaan reneo aku arep
ceritoo”, wajahnya merah penuh minyak terlihat pulang dari ujian sekolah langsung
mampir ke kamar saya El-Choliel tanpa ganti baju, tanpa lepas tas, bahkan
jilbabnya masih terpakai meski sudah mencong sana mencong sini. Aku masuk kamar
untuk menaruh tas dan keluar lagi untuk cuci muka dan kaki.
“Mbak reneoo too”, Jekicen tak
sabar ingin menyampaikan sesuatu.
“Sek to, tak cuci muka dilut”, jawabku.
Selepas itu, saya ndoprok di
depan kamar sembari menuang segelas air mineral dari galon. “Mbak Han, aku mau pas ujian enek
siji tok, siji ndil sing isik ragu. Aku buingung antara C utowo D jawabanne.
Trus wes bismillah ae aku jawab D. Pas metu ko kelas tak cek neng LKSku
ternyata jawaban sing bener D, aku seneng jaaaan, seneeeng puoolll!!! hahaha”,
wajahnya begitu sumringah bak Si Cebol berhasil pergi ke bulan. “makasih ya
mbaak, ngko bengi dongakke maneh pokoke, titik!”, lanjutnya.
“hemmm” sengaja saya menjawab
dengan ekspresi datar. Jekicen tau saya sedang berpura-pura lalu Ia berteriak
semakin kencang “Mbak Han! Dongakke tenan lhoo”.
“iyo, iyoo”, mulutku menyonyo
berharap Jekicen puas. “Saiki ndang ganti klambi trus sinau, nek perlu ra sah
mangan, ra sah turu!! Buahahaha”, saya pun pergi meninggalkannya.
***
Jujur saya belajar
mendo’akan seperti ini dari ayah saya. Semenjak kecil, setiap kali akan ujian
kenaikan kelas atau ujian nasional selalu membuatkan air ajaib untuk
anak-anaknya. Bahkan sampai saat ini pun ketika sudah tidak tinggal satu rumah,
ayah selalu menasihati kami anak-anaknya jika ada ujian Beliau harus diberi
tahu. Hingga pernah suatu ketika saya lupa tidak memberi tahu satu ujian saat
kuliah, dan yang membuat saya menyesal dan sedih adalah betapa ‘gelo’nya ayah
saya tidak dapat mendo’akan ujian anaknya. Tak heran pula dulu jika pagi
sebelum berangkat ulangan atau ujian di sekolah saya dan kedua saudara kembar
saya sering berebut minum air paling banyak. Entah bagaimana ayah mengajarkannya
pada kami, tapi setelah minum air itu terasa lebih dekat dengan Allah, bukan merasa
minum air jampi-jampian. Di samping itu sebelum meminumnya kita membaca suroh
Fatihah, pagi petang setelah sholat shubuh kami anak-anaknya melihat Sang Ayah
di sudut ruang sholat membaca suroh pilihan dan do’a-do’a tertentu dengan
segelas air di dekatnya, proses-proses religius itu mungkin yang menambah nilai
ketauhidan kami. Semua ikhtiyar adalah perantara, yang menentukan tetaplah
Allah, hanya Allah. Selain itu, dengan diberikannya do’a khusus untuk seseorang
yang dituju, maka akan memberi kebahagiaan tersendiri bagi yang dituju,
kebahagiaan itulah yang menambah semangat serta percaya diri dalam mengerjakan
sebuah ujian atau pencapaian hajat tertentu. Hal ini juga yang saya harapkan
pada Zakiya, memberi kebahagiaan dan semangat secara personal, dari saya untuk
Zakiya. Apalagi di tanah rantau Ia jauh dari keluarga, kalau bukan dari sesama
santri, lantas darimana lagi?
Alhamdulillah, jauh sebelum tes perguruan tinggi
berlangsung, Zakiya telah diterima di Jurusan Ekonomi Universitas Negeri
Yogyakarta (UNY) tanpa tes. Melalui ikhtiyarnya berupa do’a, sholat malam,
belajar dan lainnya, Allah memberikan karunia berupa ni’mat kelulusan ini. Qul
! hadza min fadhli Robbiy !
Magetan, 7 Agustus 2015, 13.47 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar