“Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah...” Qatâdah, Tafsîr al-Qurthûbî

Jumat, 07 Agustus 2015

Air Ajaib


Bismillaah..

Ini kisah air ajaib dari Allah tentunya. Suatu hari seorang adek pondok mendekatiku meminta ridho atau bahasa jawanya pangestu karena esok harinya Ia akan melaksanakan ujian nasional kelulusan MAN. Mungkin karena saya terlampau cerewet selalu mengingatkannya belajar, di samping itu tiada orang tua sebagai tempat curahan (maklum di pondok), jadilah orang yang lebih tua di pondok menjadi ganti sosok ayah dan ibunya. 

Malam setelah shalat ‘isya, aku bertanya pada gadis dari tanah Ngapak itu siapa nama panjangnya berapa nomor ujiannya, dan apa mata pelajaran yang besok Ia ujiankan. Lantas Ia tuliskan pada secarik kertas mungil dan memberikannya padaku “Besok ujianku IPS mbak, makasih yaa, love you, love youuu”, tuturnya genit. “Hoe! Biasa aja keleus”, jawabku dengan nada meledek. Yaa... menurutku hal semacam inilah yang malah menambah bumbu kedekatan kita, tidak ada sakit hati di dalamnya. Jika saya pura-pura feminim terkadang malah diledekin bahkan ada yang sedih karena lantai satu jadi terasa sepi. Ah entahlah.

Mukena terusan yang masih kugunakan selepas shalat ‘isya tadi sengaja tak kulepas langsung kugunakan untuk membaca do’a khusus untuk Zakiya. Dengan alas sajadah aku menemukan satu sudut yang lumayan untuk mujahadah, depan pintu masuk gedung. Sebab namanya hidup di pondok, tidak ada satu pun ruangan pribadi, hampir semuanya berisik dan penuh gerumulan, kecuali kamar mandi di atas jam delapan malam, pasti kosong, tapi tak mungkinlah aku berdoa di atas jamban.

Tepat di depanku, sudah kusedikan seperempat air gelas berserta tutupnya, mushaf Al-Qur’an dan tak lupa kertas bertuliskan nama dan nomor ujian Zakiya. Tak jarang pemandangan manusia berseliweran lewat di sampingku, sesekali terdengar suara aneh santriwati yang asik diskusi, ada juga yang sedang mengaji atau teriakan ajakan nongkrong di koperasi. Awalnya sedikit mengganggu, tapi kucoba hadirkan hati dalam mujahadah ini. Kubuka dengan bacaan ta’awudz berharap setan tak ikut campur dalam do’a-do’aku. Lanjut kubaca suroh al-Fatihah, lantas satu per satu ku kirim kemuliaan bacaan suroh pertama dalam Al-Qur’an ini. Pertama Kanjeng Nabi Muhammad saw, Syaikh ‘Abdul Qodir Al-Jailani, Kyai-Kyai yang telah menuntunku, Mbah Zainal Abidin Munawwir (Krapyak, Jogja), Bu Nyai Ida Fatimah Zainal (Krapyak, Jogja), Kyai Najib Abdul Qodir sekalian (Krapyak, Jogja), Kyai Wahid (Panekan, Magetan), dan Kyai sekaligus Mursyid Thoriqoh, Kyai Syaifuddin Muhammad (Sumursongo, Magetan). Kedua adalah kedua orang tua Zakiya. Ketiga adalah guru-guru Zakiya, dari TK hingga MA, ustadz-ustadzah yang telah mengajarkan ‘ilmu agama padanya. Tak lupa pengawas ujian Zakiya khusus mata pelajaran IPS. Dan yang terakhir, Fatihah untuk Zakiya sendiri, kusebut nama panjangnya, nomor ujiannya. Jidatku mengkerut, mataku tertutup rapat, terlihat wajah Zakiya dalam bayangan, memohon pada Allah semoga Ia lancar, diberi petunjuk dan ketenangan saat mengerjakan. Saat-saat inilah dunia terasa sunyi, hanya ada aku yang lemah dan Dia Sang Maha Segalanya. Aku menangis, berkali-kali kumohon pada Allah agar esok Zakiya mudah dalam melewati ujian IPSnya. “Ya Allaah njenengan paringi kelancara, ketenangan, kemudahan lan petunjuk kagem saudari kulo Zakiya”, berkali-kali kumengemis. Lalu kubaca fatihah lagi untuk mengawali bacaan suroh Yasin. 

Usai membaca suroh Yasin, aku kembali berdo’a untuk bocah berkulit kuning itu. Kembali menambah kekhusyu’an diri, benar-benar memohon pada Ilahi sebab saya sadar diri hanya seonggok manusia yang berlumur dosa di sana-sini. “Ya Allah bantu Zakiya dalam ujian IPSnya besok, hamba memohon kepadamu , beri kelancaran pada dirinya, beri ketenangan saat mengerjakan, berilah petunjuk dalam menjawab seluruh soal. Berikan pula hasil yang terbaik untuk masa depannya, Al-Fatihah”. Kemudian kutiupkan dalam air mineral yang telah tersedia di hadapanku, ku tutup rapat gelas tersebut, lalu mengusap muka dengan kedua tanganku sebagaimana layaknya orang yang selesai berdo’a, selain muka kuusapkan pula ke kedua lengan tanganku, menuju perut dan punggung. Berharap barokah bacaan kalimat thoyyibah tadi juga menempel pada diriku. Ini bukan ritual klenik, apalagi bid’ah dholalah, sekedar simbol dan kebiasaan santri. Sama halnya ketika anda berdo’a sebelum tidur dan mengusapkannya ke seluruh tubuh. Memang tidak bisa dilogikan, karena ini benar-benar hanya hubungan hamba dengan Tuhan, tak terhitung, tak terdefinisi.

“Jek, ki sesuk diombe pas arep mangkat ujian, jo lali moco Fatihah disik”, nama aslinya memang Zakiya, tapi saya memiliki panggilan sayang tersendiri, Jekicen. Dia bahagia dan tidak pernah marah saat saya panggil seperti itu,so why not?

“Ya Allaah, Mbak Hana baik tenan’e. Oke, oke. Love yoouu muaach”, genitnya kumat.

“Iiih, a to the lay, alay haha”, kita berdua tertawa bersama.

***

Terik matahari Jogja siang itu begitu menyengat, sepanjang perjalanan dari kampus ke pondok rasanya ingin cepat nyungsep di pojokan kamar. Setelah melewati 30 menit perjalanan, akhirnya saya tiba, masuk pondok sudah di sambut Si Jekicen, “Mbak Haaan reneo aku arep ceritoo”, wajahnya merah penuh minyak terlihat pulang dari ujian sekolah langsung mampir ke kamar saya El-Choliel tanpa ganti baju, tanpa lepas tas, bahkan jilbabnya masih terpakai meski sudah mencong sana mencong sini. Aku masuk kamar untuk menaruh tas dan keluar lagi untuk cuci muka dan kaki.

“Mbak reneoo too”, Jekicen tak sabar ingin menyampaikan sesuatu.

“Sek to, tak  cuci muka dilut”, jawabku.

Selepas itu, saya ndoprok di depan kamar sembari menuang segelas air mineral dari galon. “Mbak Han, aku mau pas ujian enek siji tok, siji ndil sing isik ragu. Aku buingung antara C utowo D jawabanne. Trus wes bismillah ae aku jawab D. Pas metu ko kelas tak cek neng LKSku ternyata jawaban sing bener D, aku seneng jaaaan, seneeeng puoolll!!! hahaha”, wajahnya begitu sumringah bak Si Cebol berhasil pergi ke bulan. “makasih ya mbaak, ngko bengi dongakke maneh pokoke, titik!”, lanjutnya.

“hemmm” sengaja saya menjawab dengan ekspresi datar. Jekicen tau saya sedang berpura-pura lalu Ia berteriak semakin kencang “Mbak Han! Dongakke tenan lhoo”.

“iyo, iyoo”, mulutku menyonyo berharap Jekicen puas. “Saiki ndang ganti klambi trus sinau, nek perlu ra sah mangan, ra sah turu!! Buahahaha”, saya pun pergi meninggalkannya.

***

Jujur saya belajar mendo’akan seperti ini dari ayah saya. Semenjak kecil, setiap kali akan ujian kenaikan kelas atau ujian nasional selalu membuatkan air ajaib untuk anak-anaknya. Bahkan sampai saat ini pun ketika sudah tidak tinggal satu rumah, ayah selalu menasihati kami anak-anaknya jika ada ujian Beliau harus diberi tahu. Hingga pernah suatu ketika saya lupa tidak memberi tahu satu ujian saat kuliah, dan yang membuat saya menyesal dan sedih adalah betapa ‘gelo’nya ayah saya tidak dapat mendo’akan ujian anaknya. Tak heran pula dulu jika pagi sebelum berangkat ulangan atau ujian di sekolah saya dan kedua saudara kembar saya sering berebut minum air paling banyak. Entah bagaimana ayah mengajarkannya pada kami, tapi setelah minum air itu terasa lebih dekat dengan Allah, bukan merasa minum air jampi-jampian. Di samping itu sebelum meminumnya kita membaca suroh Fatihah, pagi petang setelah sholat shubuh kami anak-anaknya melihat Sang Ayah di sudut ruang sholat membaca suroh pilihan dan do’a-do’a tertentu dengan segelas air di dekatnya, proses-proses religius itu mungkin yang menambah nilai ketauhidan kami. Semua ikhtiyar adalah perantara, yang menentukan tetaplah Allah, hanya Allah. Selain itu, dengan diberikannya do’a khusus untuk seseorang yang dituju, maka akan memberi kebahagiaan tersendiri bagi yang dituju, kebahagiaan itulah yang menambah semangat serta percaya diri dalam mengerjakan sebuah ujian atau pencapaian hajat tertentu. Hal ini juga yang saya harapkan pada Zakiya, memberi kebahagiaan dan semangat secara personal, dari saya untuk Zakiya. Apalagi di tanah rantau Ia jauh dari keluarga, kalau bukan dari sesama santri, lantas darimana lagi?

Alhamdulillah, jauh sebelum tes perguruan tinggi berlangsung, Zakiya telah diterima di Jurusan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) tanpa tes. Melalui ikhtiyarnya berupa do’a, sholat malam, belajar dan lainnya, Allah memberikan karunia berupa ni’mat kelulusan ini. Qul ! hadza min fadhli Robbiy !


Magetan, 7 Agustus 2015, 13.47 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar