Siang ini aku menangis, bukan
tersebab berita duka atau hilangnya orang tercinta. Namun karena ni’mat Allah
yang terlalu besarnya. Sangat besar. Sungguh besar. Tak tau lagi bagaimana
mengungkapkannya. It so very hard to explain.
Beberapa hari yang lalu pagi sekali
aku ke pasar dengan seorang adek pondok mengambil pesanan kerupuk satu ball
untuk lauk sekamar. Kami anggota el-Cholil patungan tiga ribu guna membeli
kerupuk itu, tentu sangat efisien cara ini, yang biasanya keluar sore beli
lauk, sekarang tidak pernah karena sudah tersedia teman makan kriuk-kriuk. Tujuan
lain ke pasar Prawirotaman (nama pasar tsb) adalah mencari buah favorit aku
jambu biji. Bukan karena rasanya paling enak di antara buah-buah lainnya, tapi
karena termasuk buah yang mudah di dapat (bukan buah musiman), harganya sesuai
kantong dan tidak cepat busuk. Ya setidaknya dapat asupan vitamin meski hanya jambu.
Belum rejeki aku, dua penjaja buah
masing-masing memiliki stok jambu namun tak secantik biasanya. Aku pun
mengurungkan niat.
Alhamdulillah esoknya diberi dua
tomat Ibu Lotek langganan tiap hari.
“iki di gowo tomat e”, sambil
memasukkan dalam kantong plastik beserta sebungkus lotek dan kerupuk.
“mboten Buuuk, sampuuun, lah laah”,
aku ngeyel.
Pembelaanku tak berhasil, dua buah
tomat segar nan ranum harus kubawa pulang.
“alhamdulillaah hahaha”, batinku.
Keesokan harinya aku kembali lagi
membeli lotek, hampir tiap siang jika tak ada jadwal kuliah pasti aku ke sana. Bukan
hanya ramuan bumbunya yang ni’mat, Ibu Lotek selalu ramah padaku, terasa Sang
Ibu telah sukses berjualan syari’ah hingga membuat langganannya datang kembali.
Teori marketing dan semacamnya berhasil Ibu aplikasikan meski tanpa belajar
teori muluk-muluk. Aarrgh aku kalah, mahasiswi keuangan islam kalah jauuh.
Karena mengejar jama’ah dzuhur di masjid,
aku hanya memesan dan mengambilnya usai sholat. Namanya juga perempuan, pasti
mampir-mampir, selepas dari masjid aku masih menyempatkan diri ngobrol dengan
teman selantai dahulu. Setelah itu aku keluar mengambil motor menjemput pesanan
lotek yang pasti sudah jadi sedari tadi.
“Buuuk, taksih? Nambah tigo kagem
rencang kulo”, belum sempat turun dari motor aku sudah membuka percakapan ala
orang-orang di kampungku.
“walaah telas e nduk. Ki lho resik”,
aku menuju lemari kaca memeriksa sebuah baskom yang ternyata memang tinggal
beberapa potong kecambah.
“nggih pun, kalih welas nggih, niki”,
aku membayarnya kontan.
“nggowo tomat maneh ya, ki”, lagi-lagi
Ibu memindahkan 2 persediaan tomat dari lemari kacanya ke dalam kantong plastik
lotek tanpa “iya” ku.
“mpuun, setunggal mawon Buk”, aku
menawar.
“halah wes to, nyoh”, untuk kesekian
kalinya Ibu ngueyel.
“nggih pun matur suwun, monggo Buk”,
aku berbalik arah mengambil motor.
“Yo nduuk, makasih yaa”, jawab Ibu.
“Monggo Buk”, inilah orang jawa,
berpamitan kurang afdhol kalau belum lebih dari sekali. Aku hilang di telan
jalanan.
Sorenya usai dari jama’ah ashar di masjid aku
mendapat pesan dari salah seorang Mas-mas sesama asal Magetan yang sedari pagi
meminjam sepeda motorku untuk takziyah di Bantul. Kebetulan Masnya dulu pernah
jadi pimred buletin Madani dan aku bersama kedua kembaranku adalah salah tiga
tim redaksinya. Selain itu ternyata Ibunya adalah murid Ibuku semasa kuliah di
poltekes Akbid Magetan, jadilah Ia tak asing dalam keluarga kita. Si Mas bermaksud
mengembalikan motorku, ia menunggu di depan Bank BRI pinggir jalan sesuai
instruksiku. Sampainya di tempat janjian, bersama soerang lelaki tak kukenal ia
menanti di sebrang jalan.
“makasih yaa, stnk ne tak dekek neng
jok motor”, katanya.
“halah santai”, jawabku.
Langsung setelah memberikan kunci
motor padaku, ia meneruskan perjalanan kembali (mungkin) ke Magetan bersama
temannya itu.
Aku sendiri berencana menuju kantor
pos nol km Malioboro untuk mengirim pesanan majalah al-Munawwir salah satu
pelanggan dari Malang. Setelah itu mampir ke toko Joly membeli kado untuk adik
sekamar, Frida panggilannya.
Usainya jalan-jalan sore, sampai di
parkiran depan ndalem Bu Nyai kuperiksa bagasi motor, aku baru sadar ada kresek
hitam di dalamnya, Ya Allaah isinya jeruk dan buah naga.
Aku tak menyangka, dari bulan puasa
lalu ingin beli buah naga sendiri namun belum kesampaian, melalui hambaNya
Allah memberiku tanpa biaya dan usaha. Alhamdulillaah.
Sedikit terbesit juga sehari
sebelumnya ingin makan buah jeruk, karena bibir sudah mulai kering dan perih
pertanda akan pecah-pecah. Masyaa Allah, lagi-lagi Allah kabulkan.
Aku bahagia bukan main, sampai
pondok kubagikan pada cucu-cucuku, eh pada teman-temanku, anak kamar dapat
jatah satu-satu, lainnya tiap kamar kujatah satu. Pas, satu kantong buah jeruk
habis.
Paginya (hari ini), aku tetiba ingin
makan jeruk lagi, tapi jeruk saja aku sudah tak punya. Dua jam kemudian melalui
Mami Nadia (tetangga kamar) Allah beri lagi satu jeruk untukku.
“Mbak Hanaa, nih Mami kasih jeruk
satu buatmu”, sembari senyum renyah Mami memberikannya padaku.
Sedikit tidak enak rasanya karena di
hadapan dua adek kamar, hanya aku yang di beri. Ya mau bagaimana lagi.
Siang sebelum dhuhur Si Frida dan
tetangga kamar pergi belanja ke swalayan, maka sebelum berangkat kuamanahi
memesan lotek terlebih dahulu.
“hoee siapa yang mau titip suket
lagi, tuh ke frida”, tawarku. Jadilah empat bungkus lotek minta diracikkan.
Ketika usai wudhu menuju kamar untuk
siap-siap sholat dhuhur, terdengar suara pintu terbuka, Frida teriak dari
kejauhan, “Mbaaak kambi Ibu’e diwenehi tomat maning, ki nggo mbak Hana, jare
Ibu’e ngono hahaha”.
“Ya Allaah, tenane?! alhamdulillaah”,
jawabku.
Sesaat setelah itu jantungku
berdegub kencang, “Duh Gustii, sakkabehanipun puji kagem Panjenengan”. Beberapa
hari berturut-turut Allah beri buah pengganti jambu.
Aku buru ke masjid karena sudah
iqomah, usai makmum mabuk, dan tiba saatnya wirid bersama,
“Ilaahi yaa Robbi… subhanallah,
subhanallaah… dst”, mata ku terpejam, mengingat betapa Maha Sucinya Allah
dengan segalaa keagunganNya.
“Alhamdulillah, Alhamdulillah,
alhamdulillaah… dst”, terbayang-bayang ni’mat Allah yang sungguh-sungguh besar
selama ini. Setetes air keluar dari kelopak mataku. Aku mulai seseunggukan
menangis. Tak sabar kudo’akan Ibu Lotek yang sudi mengasihi wanita berlumur
hina ini.
Allahu akbar, Allahu akbar, Allaahu
Akbar… dst”, tak dapat kuungkapkan apa-apa. Aku tenggelam dalam syukur bersamaNya.
Usai Imam menuntaskan do’a jahrnya,
seperti biasa kulayangkan fatihah untuk Kanjeng Nabi Muhammad, para Kyai, guru,
dosen dan ustadz yang telah mengajariku banyak hal yang manfaatnya terasa hingga
saat ini, lalu kelompok ketiga adalah keluarga besar, anak cucuku beserta
suamiku kelak, lantas untuk beberapa hajatku dan spesial untuk Ibu Lotek. Kubayangkan
wajahnya dalam-dalam, tanpa kata kuungkapkan pada Allah lewat bahasa batin,
memohon Allah senantiasa menjaganya, memberi barokah dalam usianya dan selalu
dilancarkan rizqinya.
Aku pun berjalan kembali ke gedung pondok
dengan mata basah menahan senggukan tangis tiada kira.
With tears,
Krapyak, 25th August,
2015, 14.49 WIB