“Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah...” Qatâdah, Tafsîr al-Qurthûbî

Minggu, 01 September 2013

Suatu Senin di Bulan Agustus

        

Perjalanan Magetan-Jogja, 19 Agustus 2013


Terlukis indah langit berwarna merah saga. Masih jelas terlihat awan hitam yang siap menyambut mentari pagi di beberapa sudut angkasa. Mobil yang kutumpangi terus melaju menusuri jalan raya yang masih sepi. Tak seperti biasanya, kali ini adikku paling kecil juga ikut mengantarku ke stasiun. Rasanya banyak hal baru yang akhir-akhir ini menyergapku. Dari mulai hal terkecil, hingga hal besar dalam hidupku. Tapi sekali lagi life is choice. Sangat berat bila kumengaku, namun inilah rona kehidupan yang tak tahu kapan berhenti melaju.

Sekarang aku harus mulai menulis kembali life targetku yang 70% memang harus dirubah. Membuka lebih lebar cakrawala syukur. Mengencangkan ikat kepala yang sempat kendor bahkan lepas. Tak lupa mempersiapkan pewarna hari, agar selanjutnya hidupku lebih banyak mewarnai bukan terwarnai, agar selanjutnya hidupku lebih banyak memberi bukan menerima atau meminta. Entah rasanya aku masih menjadi makhluk paling pelit sedunia. Memang tak ada satu pun yang dapat melebihi dermawannya sang idola dunia, Rosululloh SAW. Namun setidaknya hidupku harus mampu menoreh kebermanfaatan bagi orang lain. Bukankah Allah melihat seorang hambaNya dari proses? dari usaha yang ia peluhkan untuk mencapai sesuatu? dari ikhtiyar yang ia amalkan untuk meraih surga? mau tidak mau jawabnya tetaplah "Ya". Inilah waktuku untuk melukis 'proses' itu, hasil akhir biarlah Sang Maha Adil yang menghitung dan mengumumkannya di padang mahsyar kelak.

Tiba-tiba saja ayahku telah membelokkan setir mobilnya ke suatu tempat tak asing bagiku. Pertanda aku telah sampai di stasiun Barat, Magetan. Lamunanku tentang life target, ikat kepala, sampai padang mahsyar tiba-tiba pecah. Aku bersiap-siap merapikan barang bawaan, dalam hati rasanya miris (nelongso). "Ibu, do'akan anakmu yang suka menyusahkanmu ini agar selalu dalam lindunganNya, aku akan merantau ke lautan cinta dan ilmu, do'akan ketika pulang nanti aku membawa sebongkah permata iman dan ilmu. Sekali lagi maaf aku terlalu banyak merepotkanmu", lagi-lagi perkataan ini hanya terukir di hati, berat rasanya mengolah menjadi kata-kata yang keluar dari bibir. Seketika jatuhlah setetes air mata pilu dari bola mata kiriku. Segera kuhapus air mata itu dan kubiarkan ia mengalir deras di hati saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar