“Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah...” Qatâdah, Tafsîr al-Qurthûbî

Senin, 02 September 2013

Romadhon 2013 Part I

Magetan, 27 Romadhon 1434 H

Dua hari yang lalu, teaptnya 25 Romadhon 1434 H, aku dijemput ibu, ayah, dan bude di terminal Jombang, Jawa Timur. Baru saja aku mengikuti program kursus bahasa di sebuah desa yang dikenal dengan Kampung Inggris., Pare, Kediri. Kurang lebih selama satu bulan aku mengambil program bahasa arab dan bahsa inggris.

Roda mobil terus berputar meninggalkan kota santri tersebut. Awalnya kami ingin menyempatkan ziaroh ke maqom K.H. Hasyim Asy'ari dan Gus Dur, namun karena waktu dan persiapan yang minim, akhirnya kami tunda rencana ziaroh tersebut.

Dalam perjalanan tentu saja kami saling bercerita,bercanda, ya sebagai bentuk melepas rindu.

Usai beberapa jam perjalanan, sampailah kami di tempat tujuan, rumah mbahku (orang tua dari ibu) di kota Caruban, Jawa Timur. Woww! Begitu terkesimanya aku melihat banyak perubahan interior dimana-mana. Ma'lum, semenjak kuliah aku yang paling jarang pulang kampung. Dari depan rumah kulihat seluruh cat diganti dengan warna-warna soft dan peach. "Assalamu'alaykum", salam pertamaku memasuki rumah bersejarah itu. Lagi-lagi aku harus berdecak kagum, seingatku dulu lantai ruang tamu hanya memakai tekel berwarna putih, sekarang semuanya telah dirubah menjadi keramik. Begitu juga dapur, dulu ketika harus pergi ke kamar mandi melwati dapur, aku harus memakai sandal terlebih dahulu, sekarang semua lantai telah dipasang keramik. Nampak lebih luas, bersih dan elegant. Disaat aku berbenah diri, melepas kerudung dan mengganti baju, aku sedikit tertegun, seluruh kamar ternyata juga diganti warna dindingnya menjadi hijau segar. Humm warna-warni, menyenangkan sekali pikirku. Memang kali ini sepertinya kakekku all out sekali menyambut bulan Romadhon, dan pastinya menyambut kedelapan anaknya pulang dari tanah perantauan.

 Kurebahkan sejenak badanku di atas dipan empuk dengan kaki-kaki setinggi kurang lebih enam puluh centimeter. Kutatap langit-langit kamar sembari menikmati suasana baru. Bunyi kipas angin yang menempel di dinding membuatku mengantuk. "Ya Allah aku masih memiliki banyak masalah", ucapku dalam hati. Mungkin sebahagianya aku saat ini, bayangan-bayangan negatif itu pasti tetap akan muncul. "Hah, sudahlah, aku ingin sejenak melupakan kegundahan ini, lantas aku pergi menuju kamar lain mengambil sebuah novel yang kubeli di Pare kemarin. "Tahajud Cinta di Kota New York". Setiap alur yang ditorehkan sang penulis membuatku larut dalam lautan cerita.Mungkin ini salah satu novel terfavorit selain KCB, AAC, Negeri 5 Menara dan beberapa novel lainnya. Berbagai moral value kudapat dari buku ini, tentang keistiqomahan, prinsip, cinta, dan tentu Allah Ta'ala. Aku benar-benar tak menyesal memilih novel ini. Selain itu, mahakarya ini mempunyai judul yang menarik hatiku. Kata "tahajud" yang terukir di sampul paling depan itu alasannya. Ya, aku butuh banyak referensi tentang ibadah sunnah untuk sepertiga malam ini, sebab erat kaitannya dengan program yang kulahirkan tiga tahun silam, eSTAQi (Sms Tausyiah Qiyamul-lail).


****
Allahu akbar, Allaaahu akbar!!", kumandang adzan maghrib terdenagr nyaring dari salah satu sudut desa rumah mbahku. "Adzaaaaan!", anak-anak kecil riang sekali mendengar seruan mulia itu. Seketika suasana kekeluargaan begitu kental terasa. Kali ini menu buka puasa kami adalah sea food. Sebab budeku dari Tuban 9kebetulan rumah beliau dekat dengan pantai) membawa hasil laut kepiting dan cumi-cumi. Umm ni'mat sekali. Kalo kata orang arab ladziiidz jiddan! Selain sea food ibu-ibu juga memasak sayur asem, botok, sambal dan tempe goreng. Aku jadi teringat ketika puasa di luar rumah. mungkin menu berbuka kesukaanku adalah nasi dan tempe mendoan, untuk sahurnya cukup tiga teguk air mineral. Namun sama sekali aku tak merasa terbebani, justru menu yang serba seadanya itu menambah rasa syukurku. Jika setiap hari kita makan enak, maka tidak akan ada lagi makanan yang dirasa paaling enak, right?

Sekitar pukul setengah sembilan malam kurang, kami sekeluarga berjama'ah sholat 'isya' dan tarowih. Empat puluh lima menit kemudian rangkaian ibadah itu selesai kami laksanakan. Setelah bersalaman, seluruh jama'ah sholat berhamburan, anak-anak kecil kembali ramai bermain kejar-kejaran, para ibu ada yang menonton TV, ada yang siap tertidur lelap. Ada juga yang menuju kamar mencari ketenangan lantas membaca al-Qur'an, selain itu menonton film yang sudah dipersiapkan jauh hari sebelum liburan di laptop pribadinya. Sedang aku memilih menuju ruang untuk setrika mencari ketenangan juga. Kubuka mushaf hitamku yang mulai robek di beberapa garis sampul luar. entah sudah berapa menit aku membaca ayat-ayat langit itu, aku merasa haus dan menuju lemari es meminum beberapa teguk air dingin. Haaah segarnya. Sesaat kemudian suasana mulai sepi, tak terdengar lagi suara gurauan anak-anak kecil. Lampu-lampu ruangan mulai dipadamkan, tinggal nyala lampu lima watt di ruang tengah dan lampu utama ruang setrika dimana aku berada. Kulanjutkan pembacaan ayat suci Al-Qur'an, sampai tak terasa jam dinding menunjukkan pukul setengah dua belas lewat. Beberapa menit kemudian aku berhenti membaca Al-Qur'an dan memutuskan untuk segera tidur, sebab dari pagi petang aku tak tidur sama sekali, selain itu perjalanan Kediri - Caruban membuatku lelah. Padahal biasanya aku tidak tidur atau mungkin mulai merem pukul dua dini hari.

Pandangan kubentangkan keseluruh sudut ruang keluarga, sepertinya tidak ada sisa tempat untukku tidur. Semua telah dipenuhi makhluk bernama manusia, tergeletak tidur begitu nyenyak. Persis pindang di pasar ikan. Kuperiksa kamar terdekat, aha! ada tempat biasa untuk sholat, kuambil kasur lipat di ruang setrika tadi. ada beberapa tumpuk kasur, kupilih yang paling kecil, kuangkat menuju kamar.  Usia menata kasur dan bantal sedemikian rupa, aku menyandarkan tubuh sembari memasang earphone mendengarkannasyid-nasyid lembut. Aku masih tak dapat memejamkan mata, aku beranjak dari sudur kamar itu, menuju keluar mengambil novel baruku "Tahajud Cinta di Kota New York". Kubaca kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf, hingga lembar demi lembar. Entah pada lembar keberapa aku mulai mengantuk dan terlelap.

"Bangun, bangun, sahur", terdengar ramai diluar kamar sana. Ketika kubuka mata, silau lampu utama menyorot tajam. Langsung kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Lagi-lagi antri. Padahal sudah ada tiga kamar mandi di rumah mbah, namun apa daya, ketika seluruh keluarga berkumpul seperti bukan keluarga lagi, tapi layaknya tempat pengungsian. Nah! satu pintu kamar mandi paling timur terbuka. Seorang gadis satu tahun di atasku keluar dari kamar mandi tersebut. Mbak Ajeng, begitu kami memanggilnya. Ia adalah kaka sepupuku dari Jakarta, mahasiswi semester lima prodi Kehutanan Universitas IPB. Hobinya menggambar. Karya-karyanya tidak diragukan lagi. Untuk ngomong masalah gambar, lukisan, sketsa, hingga komik jepang, aku dan dia yang paling nyambung. Sebab, kedua saudara kembarku tak ada bakat melukis seperti diriku. Bahkan kami memiliki rencana bekerjasama membuka bisnis tas lukis.

Usai membersihkan diri dan wudhu, aku segera pergi mengambil mukena di kamar tempat sholat, sekaligus tempat tidurku semalaman tadi. Ada setumpuk mukena di sana, tinggal pilih, ada yang parasit, ada yang berbahan kaos jatuh dengan lukisan sebagai corak utamanya, ada juga mukena potongan biasa berwarna putih dengan bordir di bagian baawah. Namun aku lebih memilih mukena terusan berwarna putih di salah satu tumpukan itu. Karena memang sehar-hari aku terbiasa memakai mukena terusan. Lebih terjamin dan terjaga aurotku ketika sholat nanti. Berbagai celah kosong telah terpenuhi orang-orang yang melaksanakan qiyamul-lail. Ada yang di depan TV, ada yang di depan lemari, ada yang di depan pintu kamar. Berantakan, namun terlihat menyenangkan. "Waduh, no space for me", batinku. Bahkan tempat sholat yang kugunakan untuk tidur semalam juga sudah penuh dipakai. Kasur lipatnya telah dilipat dan disingkirkan ke pojokan kamar. Aha! Ada satu yang sudah terlihat selesai melaksanakan sholat, "budee, aku di situ", segera aku menunjuk salah satu sudut ruangan bermaksud membooking tempat. "Iya, nih uda selesai", jawab salah seorang kakak perempuan ibuku itu. 

Sahur, sholat shubuh, tilawah, tak terasa matahari sudah bangun dari peraduan. Terdengar ketokan dari jendela kamar. Ketika kubuka ternyata saudara kembarku, Lana. "Oi, cepet nyuci! Ben ndang garing" (oi, cepet nyuci, biar cepet kering), perintahnya. "Iyo, iyoo, ki bar ngaji, aku tak nglempit rukuh disik" (iya, iyaa, ini selesai ngaji, aku melipat mukena dulu). sore ini khusus keluargaku akan kembali ke Magetan karena masih banyak kegiatan keluarga yang harus di kerjakan, ziaroh ke tempat keluarga Ngawi (keluarga ayah), buka bersama dengan teman-teman lama, dan lain sebagainya. 

Pagi itu agenda kami adalah ziaroh kubur. Pukul 08.00 kami berangkat menuju TPU desa menggunakan dua mobil. Seperti biasa setiap tahunnya, ziaroh kubur menjadi rutinitas wajib keluargaku. Kali ini bagian ayahku memimpin do'a, tawasul, dan pemacaan suroh Yaasin bersama. Anak kecil juga diajak, dengan harapan nantinya mereka mempunyai kesadaran untuk mendo'akan para ulama', kyai, sesepuh dan orang tuanya.

 ziaroh kubur

Sepulangnya dari ziaroh, masing-masing melanjutkan aktivitasnya. Kebanyakan duduk leyeh-leyeh di atas kasur yang terletak di depan TV ruang keluarga. Ma'lum sepertinya saat itu matahari sedang mengeluarkan panasnya, ditmabah rasa lelah usai ziaroh. Ada juga yang merengek minta membatalkan puasa, untung hal itu tak sampai terjadi. Sedang kami anak-anak muda sibuk bermain hena. Ada yang mewarnai kuku, ada yang menggambar aneh-anehdi balik punggung tangan. Sedang aku memilih menggambar bunga ala pengantin arab. Ah bukan arab juga sih, sekarang trend pengantin wanita di indonesia juga menggunakan hena. Pengalaman menggambar hena sewaktu di asrama kurasa tak sia-sia. Tak terasa tangan kiriku sudah penuh dengan lukisan bunga. Puas rasanya. Dan inilah hasil pelukis hena amatiran, haha. Not bad.


Tak terasa adzan ashar berkumandang. Aku harus siap-siap menuju Magetan. Sebab, malamnya ayahku mendapatkan amanah menjadi imam di salah satu masjid di Magetan.

****

Akhirnya kurasakan kembali atmosfir Romadhon di Magetan. Menggairahkan!!

Malam ini adalah malam ganjil 27 Romadhon 1434 H. Karena terlalu lelah akibat kegiatan seharian tadi, kuputuskan  untuk tidur lebih awal, pukul 21.00 WIB.

"Han... Han.. bangun, bangun..", hanya sekali ayahku membangunkan aku, aku langsung terbangun dan segera membersihkan diri di kamar mandi. Sebelum berangkat ke masjid, ku buka HP sekedar mengecek terkait urusan eSTAQi. Suara pintu terdengar membuka kemudian menutup. Ayahku pasti sudah berangkat ke masjid dahulu. Buru-buru kuambil sajadah dan lari keluar kamar. Sempat kulirik jam dinding di ruang keluarga, pukul 02.00 dini hari.

"Pak", kupanggil ayahku berharap beliau mengetahui kehadiranku. Kami berdua lantas berjalan menusuri gelapnya langit. Kami saling terdiam. Aku asyik menikmati hidangan malam yang disuguhkan Tuhan, udara yang tenang dan si kecil nan mempesona bernama bintang, sesekali kalimat thoyibah terukir dari lisanku. Tak tau juga apa yang ayahku pikirkan, mungkin sama denganku. Terlihat dari kejauhan seorang wanita mengenakan mukena dengan sajadah di pundak kanannya. Cara jalannya aku kenal, beliau Mbah Lami, tetangga desaku yang rajin ke masjid meski Romadhon usai. Usianya sekitar 60 tahunan. Ia hanya buruh tani yang tak tahu pasti kapan gajian. Namun hidupnya terlihat tenang dan riang. Mungkin jika kubaca matanya seolah ia berkata "tenang, semua sudah diatur Gusti Allah, gak usah mikir sampe' meriang".

Sampai juga di masjid tempat kami qiyamul-lail dan i'tikaf. Hening, gelap, sengaja semua lampu dimatikan untuk menambah kekhusyu'an. Di ruang khusus jama'ah laki-laki masih ada beberapa anak yang tertidur pulas susah dibangunkan. Setelah menunggu sekitar lima menit, terdengar suara ayahku melafadzkan niat sholat sunnah taubat lirih, suara kecil itu keluar dari mic kecil khusus imam yang dipakainya, sholat qiyamul-lail pun dimulai.

Entah apa yang membuat hatiku menjadi syahdu, linang air mata tak dapat ku tahan. Romadhon ini mental dan spiritual. 

Pukul tiga lebih qiyamul-lail usai. Aku berjalan kembali ke rumah. Tangis ini sedikit bisa kutahan, namun kembali pecah ketika sampai di kamar tidurku. Di atas sajadah yang menghadap jendela dan kiblat, "ya Robb, pantaskah hamba menerima ni'mat sebesar ini? sedang di luar sana ada ummatMu yang tak bahagia karena diriku, mungkin karena kelalaianku"

****
jepret-jepret dulu sebelum ziaroh *mbah kung (maher zain version) *mbah putri (mamah dedeh version)


jepret-jepret dulu sebelum ziaroh *twin bude ena dan bude eni
 

 baca Yaasin dan do'a

si Erda tebar bunga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar