Kala itu tiba-tiba saja aku ditempatkan di sebuah desa nan
asri. Hingar bingar kota agaknya belum tersentuh di sana. Para orang tua adalah
petani yang bahagia dan sejahtera. Anak-anak kecilnya tak kalah gembira bermain
kesana-kemari merayakan usia muda. Hingga suatu hari, muncul sebuah cerita
misteri dari mulut ke mulut bahwa goa di sudut desa angker dan telah
melenyapkan banyak korban jiwa. Hampir seluruh penduduk desa ketakutan, kecuali
si bocah-bocah mungil yang terlanjur kecanduan bermain. Tak punya rasa letih,
takut dan lapar. Yang penting kumpul dengan sebaya, berlari-lari, berteriak dan
tertawa.
Hal yang dikhawatirkan pun tiba, segerombol bocah membawa
semangat dan sumnringah menuju goa hendak petak umpet di sana. Tanpa
sepengetahuan orang tua mereka, dengan suasana riang permainan dimulai. Teriakan
emosi semangat penuh gelora meledak menyeruap.
“Hoeee tangkap akuu, aku di siniii”, teriak salah seorang
bocah dengan nafas terengah-engah di balik batu goa, kaos oblongnya basah kuyub
akibat keringat, celana selutut yang dikenakan sudah benar-benar lusuh akibat
terlalu banyak gelimpungan di tanah.
Tak disangka pintu kelam mulai terbuka, petaka menyapa,
suasana serta merta berbeda dengan semula, gelap dan menakutkan! Bahak tawa
dengan binaran air mata berganti luap tangisan jiwa. Sekencang mungkin anak - anak
kecil berlari berhampuran keluar goa menyelamatkan diri. Sosok jin ganas
terlihat ingin menangkap dan memakan mereka.
“Ibuuuuu, bapaaaak, tolooong!!!!”
“aaaaa tolooong-toolong!!!!”
“Allaaah, astaghfirullaaah, astaghfirullaaah!!!!!”
“Bismillaaaah bismilllllaaaaah bismillaaaaah!!!!!”
“jangan makan akuuuuuuu, Ya Allaaaaah!!!!”
Spontan mulut-mulut mungil itu melontarkan semua apa yang
ada di dalam pikiran.
Naas ada satu bocah laki-laki berambut cepak tertinggal di
goa. Ia tak bisa melarikan diri karena kedua kakinya kadung lemas ketakutan.
Menangis sekencang mungkin adalah usaha yang bisa dilakukan.
Usai berhasil melapor pada orang tua, mereka bersama buah
hatinya mendatangi rumahku. Entah bagaimana asal muasalnya aku didapuk menjadi
orang pintar semacam Bu Nyai kampung, tak jarang penduduk meminta saran dan
do’a padaku kala ada hajat tertentu. Seperti halnya hari itu, mereka dengan
tergopoh-gopoh sampai ke kediamanku dan mengutarakan permintaan do’a agar salah
satu anaknya dapat selamat dari makhluk penunggu goa. Lantas aku memulai
tawassul kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW, mataku terpejam, ,menajamkan pikiran
pada Allah meminta bantuan. Setelah rangkaian tawassul terlirih, dzikir pun
terlafadzkan.
“Allahumma sholli ‘ala Sayyidinaa Muhammad, Allahumma sholli
‘ala Sayyidinaa Muhammad, Allahumma sholli ‘ala Sayyidinaa Muhammad, ….”
sholawat terus kubaca tak henti-hentinya, dalam pejaman mata terlihat anak
laki-laki yang tengah berjuang keras keluar dari dunia jin tersebut. Sholawat
semakin sering kubaca, semakin berat perlawanan makhluk ghaib itu terhadapku.
Namun saat seperti inilah keyakinanku pada Allah malah bertambah kuat. Hatiku
sedikit lega sebab sepertinya anak kecil yang menjadi korban hampir saja dapat
keluar dari ruangan gelap itu. Kukerahkan seluruh energi untuk
menyelamatkannya. Tinggal sedikit lagi ia dapat keluar, tiba-tiba kulihat pada
sebuah bayangan ia terpelanting lagi masuk ke dalam lorong goa yang semakin
dalam. Tubuhnya melemah, tangisnya tak sekencang awal tadi. Kemudian ku ganti
wirid sholawat menjadi Laa ila ha illallaah.
“Laa ila ha illallaah, Laa ila ha illallaah, Laa ila ha
illallaah, Laa ila ha illallaah, Laa ila ha illallaah, …” tak lama kemudian
laki-laki kecil itu berhasil keluar dari goa. Berbeda ketika kuamalkan wirid
lafadz sholawat, hampir satu jam belum menunjukkan hasil, sedangkan dengan
kalimah Laa ila ha illallaah hanya dalam kurun waktu 5 sampai 10 menit
berhasil.
Kujelaskan pada para penduduk yang hadir bahwa sang anak
telah selamat, hal ini menyulut kegembiraan mereka serta berucap bersama
“Alhamdulillaaaaah”.
“Aaaaah”, teriakan teman-teman satu kamar seperti akhir
vokal dari lafadz alahmdulillaah terdengar sangat nyaring hingga membangunkanku
dari tidur. Ternyata aku hanya bermimpi, namun entah usai mimpi tersebut muncul
kekaguman betapa hebatnya lafadz Laa ilaha illallah.
Setelah dirasa cukup mengatur nafas dan mengumpulkan nyawa,
aku bergegas ke kamar mandi sebelum nantinya benar-benar ramai dan antri. Pagi
itu aku berencana menjenguk Mamah (Beliau adalah Mamah dari seorang kakak kelas
SMA yang terpaut dua tahun namun sudah seperti Ibu kandung bagiku dan kedua
saudara kembarku) yang sedang diuji dengan penyakit kanker. Untuk ke empat kalinya
penyakit ganas ini bergantian menyerang Mamah, yang terakhir dokter mendiagnosa
kanker telah menjalar ke selaput otak Mamah. Setiap kambuh, Mamah akan
merasakan sakit yang luar biasa di kepala hingga kejang dan mata melotot serta
terkadang diakhiri dengan muntah. Hal ini berlangsung setiap 10 sampai 20 menit sekali.
“Kalo Mamah matanya melotot berarti itu Mamah pingsan, nggak
sadar, kalo mata Mamah merem berarti Mamah sudah sadar,” jelas Mamah kepadaku.
Awal menjenguk Mamah, kondisi Beliau masih tergolong parah,
sampai kutemui kambuh pertama kali langsung kupinta ijin ke Mamah menyentuh
ubun-ubunnya sembari tawassul dan berdoa tepat di samping telinganya. Aku
semakin hanyut dalam haru saat telapak kananku menyentuh kepala Mamah yang
hanya ditumbuhi rambut satu sentimeter saja akibat efek kemo terapi. Di tengah
proses berdo’a, tiba-tiba teringat mimpi Laa ila ha illallah, lalu coba
kuucapkan berkali-kali kalimah tersebut, beberapa detik kemudian dengah
terengah-engah Mamah berkata padaku “Alhamdulillah nak, Mamah sudah sadar” lalu
wanita penuh semangat itu mencium kedua pipiku. Sebelumnya kutiup botol berisi
air mineral milik Mamah beberapa kali berharap fadhilah dari munajat tadi dapat
tersalur.
Mamah bersyukur biasanya disaat kambuh pasti muntah-muntah
dan pingsan dengan waktu lama, namun kali ini tidak. Kemarin lusa, terakhir aku
menjenguk ke Solo, Beliau bahkan sudah tidak kambuh sama sekali. Semuanya
adalah atas kehendakNya, kewajiban kita yakni berusaha dan berdo’a meminta hanya
kepada Allah, sebab Laa ila ha illallah, Tiadak Tuhan Selain Allah.
Krapyak, 8th March 2016, 11:06 am